img Pemuas Birahi Setengah Baya  /  Bab 6 PBSB | 100.00%
Unduh aplikasi
Riwayat Membaca

Bab 6 PBSB

Jumlah Kata:1561    |    Dirilis Pada: 16/06/2025

mpak lelah namun tetap menjaga senyumnya, dan hanya sempat menepuk lenganku pelan sebelum aku melangk

kit... berbeda. "Ngopi dulu ke rumah, dong. Sekalian nunggu Isya. Masih awal juga," katanya. Nada suarany

Seolah aku dan Midah memang melakukannya dengan nyata. Dan entah kenapa

bih mengejutkan, tiba-tiba saja aku justru mulai merasa tertantang. Sejauh a

m sumringah. Ia tidak mengenakan kerudung, meski pakaiannya masih terbilang sopan. Tapi bagi sese

i justru terlihat jelas. Namun itu hanya mimpi, apakah sama dengan aslinya, entahlah aku tidak

dengan tangan ringan, dan meletakkannya di hadapanku dengan hati-h

mimpi. Seakan-akan sedang bermain dengan batas yang samar. Dan yang paling membuatku tak nyaman: Hasto duduk tak

kan suasana. Ia hanya menyeruput kopi dan memuji pisang goreng buatan istrinya sambil sesekali melempar senyum tenang k

yang kini bahkan tak lagi malu-malu? Atau... apakah ia memang sengaja membiarkan semua

kopi terlalu dalam, tatapan Midah terlalu de

a, tapi tak tahu naskahnya. Hanya bisa menebak-n

mos, tapi tak sekalipun Hasto menoleh atau mengomentarinya. Aku menyesap kopi hanya beberapa t

amun sorot matanya seolah mengatakan, tunggu saja di sini aman kok

kami tak sampai satu meter, namun udara di antara kami terasa se

but yang entah kenapa justru terdengar lebih intim dari biasanya. Kalimat yang sederhana, tapi getaran n

rsenyum sekilas. "Baik... Alh

osongan atau harapan. Ia tampak berbeda. Lebih diam, tapi justru itulah yang membuatnya lebih berbahaya. Diamnya buka

beda ya. Gimana enak nggak, Pak?" tanyanya lagi, lebih sebagai basa-basi daripada pertanyaan sungguhan. T

adahal seluruh saraf di tubuhku tegang seperti senar gitar yang siap putu

a suara nyamuk di luar jendela, dan detak

sananya seperti mimpi yang belum selesai? Apakah Midah tahu mimpi itu? Tidak mungkin. Itu hanya mimpiku. Tapi ka

ngan posisi yang sedikit lebih dekat. Tangannya memegang cangk

nya tiba-tiba, sambil menatap l

ku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Ya, aku capek. Tapi bukan karena aktivitas hari ini.

ni dada, akhirnya aku berdiri dan berkata lirih,

, dan menunjuk kamar mandi yang terletak di pojok belakang rumahnya. Aku mengikutinya dalam diam. Kami melangka

g mulai memudar warnanya. Matanya sekilas menatapku, memastikan aku tak

tru semakin tegang dan sulit untuk diredakan. Aku hanya ingin menjauh sebentar untuk melemaskannya, malu kalau sampai kelihatan kain sarungku

kan erotisnya saat tadi dalam mimpiku, serta cara dia menatapku barusan, semuanya masih berkelebat dal

sedikit dingin bisa menenangkan hati. Tapi nyatanya, air pun terasa hangat oleh

ngalami keadaan seperti bocah remaja yang apel perta

sih di tempat yang sama, tidak berpindah sedikit pun sejak aku masuk. Seolah-olah menungguku untuk memastikan aku keluar dari

ar, lalu mencoba terseny

iku kembali ke ruang tengah. Aku mengikutinya, s

isa setengah, pisang goreng mulai dingin. Aku merasa semua k

it. Suara langkah kaki menyusul, dan detik beri

dua tersangka yang baru saja hendak merencanakan kejaha

sahan untuk momen yang tidak sampai terjadi. Tapi tatapan sebuah janji. A

ri kecanggungan yang nyaris tak tertahankan. Aku segera bangkit dan berpamitan. Kataku

saja aku merasa perlu mengatakannya, semacam ala

kalimat menahanku. Tapi tatapan matanya berkata lain. Ada kesan tak rela, ada jeda ya

ergi untuk memberi ruang padaku dan Midah untuk lebih bisa berduaan, seperti saat lari pagi. Sengaja menciptakan momen aga

kmati permainan yang tak sepenuhnya bisa

saran, seperti apa ujung dari kekonyolan Hasto ini. Aku

ahl

*

a kisah-kisah yang se

R BESAN D

MANKU

RAHI A

AS PARA

NAKAL AYA

tersebut di penc

Sebelumnya
Selanjutnya
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY