mpak lelah namun tetap menjaga senyumnya, dan hanya sempat menepuk lenganku pelan sebelum aku melangk
kit... berbeda. "Ngopi dulu ke rumah, dong. Sekalian nunggu Isya. Masih awal juga," katanya. Nada suarany
Seolah aku dan Midah memang melakukannya dengan nyata. Dan entah kenapa
bih mengejutkan, tiba-tiba saja aku justru mulai merasa tertantang. Sejauh a
m sumringah. Ia tidak mengenakan kerudung, meski pakaiannya masih terbilang sopan. Tapi bagi sese
i justru terlihat jelas. Namun itu hanya mimpi, apakah sama dengan aslinya, entahlah aku tidak
dengan tangan ringan, dan meletakkannya di hadapanku dengan hati-h
mimpi. Seakan-akan sedang bermain dengan batas yang samar. Dan yang paling membuatku tak nyaman: Hasto duduk tak
kan suasana. Ia hanya menyeruput kopi dan memuji pisang goreng buatan istrinya sambil sesekali melempar senyum tenang k
yang kini bahkan tak lagi malu-malu? Atau... apakah ia memang sengaja membiarkan semua
kopi terlalu dalam, tatapan Midah terlalu de
a, tapi tak tahu naskahnya. Hanya bisa menebak-n
mos, tapi tak sekalipun Hasto menoleh atau mengomentarinya. Aku menyesap kopi hanya beberapa t
amun sorot matanya seolah mengatakan, tunggu saja di sini aman kok
kami tak sampai satu meter, namun udara di antara kami terasa se
but yang entah kenapa justru terdengar lebih intim dari biasanya. Kalimat yang sederhana, tapi getaran n
rsenyum sekilas. "Baik... Alh
osongan atau harapan. Ia tampak berbeda. Lebih diam, tapi justru itulah yang membuatnya lebih berbahaya. Diamnya buka
beda ya. Gimana enak nggak, Pak?" tanyanya lagi, lebih sebagai basa-basi daripada pertanyaan sungguhan. T
adahal seluruh saraf di tubuhku tegang seperti senar gitar yang siap putu
a suara nyamuk di luar jendela, dan detak
sananya seperti mimpi yang belum selesai? Apakah Midah tahu mimpi itu? Tidak mungkin. Itu hanya mimpiku. Tapi ka
ngan posisi yang sedikit lebih dekat. Tangannya memegang cangk
nya tiba-tiba, sambil menatap l
ku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Ya, aku capek. Tapi bukan karena aktivitas hari ini.
ni dada, akhirnya aku berdiri dan berkata lirih,
, dan menunjuk kamar mandi yang terletak di pojok belakang rumahnya. Aku mengikutinya dalam diam. Kami melangka
g mulai memudar warnanya. Matanya sekilas menatapku, memastikan aku tak
tru semakin tegang dan sulit untuk diredakan. Aku hanya ingin menjauh sebentar untuk melemaskannya, malu kalau sampai kelihatan kain sarungku
kan erotisnya saat tadi dalam mimpiku, serta cara dia menatapku barusan, semuanya masih berkelebat dal
sedikit dingin bisa menenangkan hati. Tapi nyatanya, air pun terasa hangat oleh
ngalami keadaan seperti bocah remaja yang apel perta
sih di tempat yang sama, tidak berpindah sedikit pun sejak aku masuk. Seolah-olah menungguku untuk memastikan aku keluar dari
ar, lalu mencoba terseny
iku kembali ke ruang tengah. Aku mengikutinya, s
isa setengah, pisang goreng mulai dingin. Aku merasa semua k
it. Suara langkah kaki menyusul, dan detik beri
dua tersangka yang baru saja hendak merencanakan kejaha
sahan untuk momen yang tidak sampai terjadi. Tapi tatapan sebuah janji. A
ri kecanggungan yang nyaris tak tertahankan. Aku segera bangkit dan berpamitan. Kataku
saja aku merasa perlu mengatakannya, semacam ala
kalimat menahanku. Tapi tatapan matanya berkata lain. Ada kesan tak rela, ada jeda ya
ergi untuk memberi ruang padaku dan Midah untuk lebih bisa berduaan, seperti saat lari pagi. Sengaja menciptakan momen aga
kmati permainan yang tak sepenuhnya bisa
saran, seperti apa ujung dari kekonyolan Hasto ini. Aku
ahl
*
a kisah-kisah yang se
R BESAN D
MANKU
RAHI A
AS PARA
NAKAL AYA
tersebut di penc