dulu. Selalu ada gelisah yang mengambang, rasa hampa yang membayangi, bahkan dalam mimpi sekalipun. Di sampingnya, Danu masih terlelap. Punggungnya meng
g dulunya ceria, kini terlihat sedikit layu. Lingkar hitam di bawah matanya adalah bukti malam-malam tanpa tidur nyenyak.
a, sudah sibuk di sana, menyiapkan sarapan. Sejak Safira tinggal di sini, Bu Rina sering datang untuk membantu, entah sekadar me
Safira, mencoba
ngat. Wanita paruh baya itu selalu menyiratkan
n masih tidur." Ia mengambil tempat d
engan rambut sedikit acak-acakan dan mata setengah terbuka
engan suara khas anak-an
Safira" dari Raihan adalah obat penawar paling mujarab untuk setiap kesedihan yang ia ra
jawab Raihan sambil m
an semakin lengket saja dengan Safira," ucapnya saat Danu akhi
uduk di kursinya. "Pagi, Bu. Pagi, Raihan." Matanya melirik
. Safira berusaha terlibat dalam percakapan dengan Bu Rina, menceritakan kegiatan hariannya, atau sekadar bertanya resep masakan. Ia merasa
u berpamitan. "Saya
, Nak," uj
ati-hati," t
Danu pun berlalu, pintu depan tertutup
akan pulang ke rumahnya sendiri, menyisakan Safira sendirian dengan para asisten rumah tangga. Safira mencoba mengisi waktunya de
basan jiwanya terenggut. Ia merindukan masa kuliahnya, saat ia bisa bebas berkumpul dengan teman-teman, sibuk dengan tug
yang sama. Perusahaan ayah Safira perlahan bangkit kembali berkat bantuan modal dari keluarga Danu. Danu sendiri tidak pernah menyinggung masalah itu. Ia hanya memberikan
kotak kecil di bawah tempat tidur. Kotak itu terbuat dari kayu, diukir
sti almarhumah istri Danu, ibu kandung Raihan. Ada juga foto Raihan kecil dalam gendongan wanita itu, dan foto kelua
kebahagiaan yang terpancar dari senyum mereka. Safira sadar, ia tidak akan pernah bisa mengisi tem
afira bertanya tentang kotak
otak kenangan, Mama Safira. Isinya foto-foto Mama Nia." Ma
gaimana, sayang?" Saf
i. Mama Nia suka masakin kue. Mama Nia cantik!" Raihan bercerita d
bersaing dengan bayangan masa lalu. Ia tidak bisa memaksa Danu melupakannya. Tapi, ba
u kamar mereka. Semua kenangan itu seolah terkunci rapat di hati Danu, dan mungkin, di dalam kotak kecil Raiha
njungi perpustakaan umum, mencari buku-buku baru, atau bahkan mencoba mengikuti kursus
ih terjaga di ruang keluarga, membaca buku tebal. Danu, yang
ya sedikit lebih lembut dari bi
ingkat, menoleh padanya
atap buku yang dipegang
gguk. "Iya. C
suka s
reka miliki di luar konteks Raihan atau Bu Rina. "Lumayan
. Safira menunggu, bertanya-tanya apa
anu akhirnya, lalu berbalik
rap. Ia kira obrolan mereka akan berlanjut. Tapi ter
t membuat hatinya berdesir. Apakah ada secercah harapan? Atau ini hanya halusinasinya saja? Ia t
apkan sarapan untuk Raihan, dan tanpa sengaja, ia menjatuhkan gela
di meja makan, langsung menole
, langsung berjongkok unt
s. Ia beranjak dari kursinya, mengambil sapu d
uh pecahan kaca terhenti. Danu dengan sigap menyapu
u, tanpa menatap Safira. Ia membuang pecahan kaca
hati. Danu tidak memarahinya, bahkan membantunya. Ini adalah sisi Danu y
brolan ringan. Ia akan menanyakan tentang hari Danu di kantor, atau menawarkan untuk membuatkan kopi. Respons Danu tetap s
gi ke sebuah panti asuhan. "Kita jenguk anak-anak di sana
sa senang bisa melakukan sesuatu yang positif. Mereka menghabiskan waktu di pa
da di ruang keluarga. Ia melihat Safira dan R
, seru?" tanya
a teman baru di sana," j
an, lalu pandangannya beralih
anu. Bu Rina yang men
uslah kalau begitu. K
eberatan. Bahkan, ia terdengar sedikit... sen
Safira tak sengaja mendengar percakapan antara Danu dan Bu Rina di ruang
ira," suara Danu terdengar tegas, nadanya dingin. "Aku hanya me
yang dalam. Ia membeku di tempat, napasnya tertahan. Ia mendengar suara Bu Rina yang membujuk,
ara Danu terdengar jengah. "Aku sudah bilang, hati
a gontai, kembali ke kamarnya. Air mata yang selama ini ia tahan, kini men
k satu orang. Sela
u. Almarhumah istri Danu. Mama Nia. Danu masih mencintai istrinya. Dan it
ksi singkat, semua bantuan kecil, semua obrolan yang sempat membuat hatinya berdebar
ap. Ia terlalu naif. Danu sudah mengatakan sejak awal bahwa ia menikah ka
memunggunginya. Atau setidaknya, ia berpura-pura terlelap. Ia tidak sanggup
ingkat, dan menjaga jarak. Ia tidak ingin lagi terluka. Ia tidak ingin lagi berharap. Ia harus
ira dengan tatapan aneh, seolah bertanya ada apa. Namun, Safira selalu me
sehari-hari, pada buku-buku yang ia baca. Ia berusaha sebisa mungkin tidak b
di antara Safira dan Danu. Ia seringkali mencoba mencairkan suasana, na
masuk rumah sakit. Ayahnya menelepon dengan suara panik.
dang membaca koran di ruang tamu, Dan
au menjenguknya," jawab Safir
dari duduknya
"Tidak perlu. Say
tar saja," ucap Danu, nad
anan ke rumah sakit, keheningan menyelimuti mereka. Safira menat
amar rawat inap ibu Safira. Ibu Safira tampak lemah,
.." Ibu Safira b
ondisi Ibu Safira, dan menawarkan bantuan jika dibutuhkan. Sikapnya
ik, menantu yang bertanggung jawab. Ia tampil sempurna di depan publik.
a, Danu mengajak Safira pulang. "Sudah laru
sangat lelah. Ia menyandarkan kepala
k saja?" suara
ata. "Tidak apa-
" ucap
rena tidak mencintainya? Maaf karena menya
?" tanya S
," jawab Danu,
natap Danu, mencoba membaca ekspresinya. N
t Danu, tanpa menatap Safira. Ia fokus pada jalan
anya. Mendengar Danu mengakui itu, rasanya camp
" Safira tidak melanjutkan kali
kan, Safira. Aku tidak bisa memberimu cintaku. Tapi aku akan berusaha menj
nji untuk dijaga, meskipun tanpa rasa. Ia tahu itu tidak akan mudah. Ia tahu hatinya akan terus
isa terus menjalani, hari demi hari, dalam sangkar emas yang sunyi ini. Masa mudanya memang telah hilang, namun ia harus mencari