Perjodohan ini bagai petir di siang bolong bagi Safira. Ia mengenal Danu hanya sebatas teman keluarga, itupun hanya sesekali bertemu dalam acara-acara besar. Danu adalah sosok yang selalu terlihat matang, serius, dan tak banyak bicara. Aura dinginnya selalu menyelimuti, membuat siapa pun enggan mendekat. Jauh dari gambaran pria idaman Safira yang hangat dan humoris.
"Safira, kamu harus menikah dengan Danu," suara ibunya, Bu Rina, terdengar tegas kala itu. Tidak ada nada pertanyaan, apalagi permohonan. Itu adalah sebuah titah.
Safira terpaku di sofa ruang tamu. Air matanya sudah kering setelah semalaman menangis. Ia mencoba mencari alasan, memohon, bahkan memberontak, namun semua sia-sia. "Tapi kenapa, Bu? Aku tidak mengenalnya dengan baik. Aku tidak mencintainya."
Bu Rina menatap putrinya dengan pandangan yang sulit diartikan, campuran antara rasa bersalah dan tekad bulat. "Ini demi kebaikan kita semua, Safira. Keluarga Danu akan membantu kita melunasi utang-utang perusahaan ayahmu. Kalau tidak, kita bisa kehilangan segalanya."
Mendengar nama ayahnya disebut, hati Safira mencelos. Ia tahu betapa terpuruknya sang ayah setelah bisnisnya mengalami kebangkrutan. Rumah mereka terancam disita, aset-aset berharga satu per satu dijual, dan tekanan hidup mencekik leher keluarga mereka. Safira adalah anak tunggal. Ia merasa bertanggung jawab. Tanggung jawab yang begitu berat untuk pundak gadis muda sepertinya.
Sejak hari itu, hidup Safira berubah menjadi abu-abu. Persiapan pernikahan dilakukan dengan cepat, nyaris tanpa ada sentuhan pribadi Safira. Gaun pengantin yang dipilihkan, cincin yang disematkan, bahkan dekorasi pesta, semuanya terasa asing dan hambar. Danu tidak pernah menunjukkan minat. Ia hadir dalam setiap pertemuan persiapan dengan ekspresi datar, sesekali mengangguk, seolah semua ini hanya formalitas belaka. Dingin. Ketus. Begitulah Danu.
Safira seringkali bertanya-tanya, apakah Danu juga merasakan hal yang sama dengannya? Apakah ia juga terpaksa? Namun, Danu tak pernah menyinggung perasaannya. Obrolan mereka sebatas hal-hal praktis, itupun sangat minim. Danu hanya akan berbicara jika ditanya, dan jawabannya selalu singkat, padat, dan tanpa emosi.
"Kamu mau tema apa untuk resepsi?" tanya perencana pernikahan suatu sore.
"Terserah," jawab Danu singkat tanpa menoleh.
"Warna bunga favoritmu, Safira?"
"Pink muda," jawab Safira lirih.
"Danu?"
"Apa saja," Danu menimpali, sambil fokus pada ponselnya.
Safira merasakan ngilu di hatinya setiap kali percakapan seperti itu terjadi. Ia tahu, pernikahannya bukan didasari cinta, apalagi kasih sayang. Ini murni transaksi. Transaksi yang mengorbankan kebahagiaan dan masa mudanya.
Hari pernikahan tiba. Safira mengenakan gaun putih yang indah, namun rasanya seperti kain kafan yang membungkus jiwanya. Ia tersenyum, menyalami tamu, berpose untuk foto, semua dilakukan seperti boneka yang digerakkan benang tak kasat mata. Di sampingnya, Danu berdiri tegak, dengan wajah yang tak menunjukkan emosi apa pun. Senyumnya tipis, lebih seperti formalitas daripada kebahagiaan.
Saat mengucapkan janji suci, suara Danu terdengar mantap, namun tatapannya kosong. Tidak ada binar cinta, tidak ada kehangatan. Hanya sepasang mata gelap yang memantulkan bayangan Safira yang buram. Safira sendiri hampir tak bisa menahan air matanya agar tak tumpah. Ia berjanji di depan Tuhan, pada seorang pria yang tak mencintainya, dan ia pun tak mencintai pria itu. Ironi yang menyakitkan.
Malam pertama pernikahan terasa mencekam. Setelah semua tamu pulang dan keluarga berpamitan, Safira dan Danu masuk ke kamar pengantin yang sudah dihias indah. Lilin-lilin berkedip lembut, menebarkan aroma melati yang menenangkan. Namun, suasana di antara mereka justru kaku dan tegang.
Safira berdiri di dekat jendela, menatap ke luar. Ia mendengar Danu bergerak di belakangnya. Lalu, suara kasur berderit. Safira menoleh pelan. Danu sudah berbaring memunggunginya, dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya. Seolah-olah Safira tidak ada di sana.
Hati Safira mencelos. Rasa perih itu kembali menyengat. Ia tahu Danu tidak menginginkannya, tapi perlakuan acuh tak acuh itu tetap saja menyakitkan. Perlahan, Safira berjalan ke sisi ranjang yang lain, berbaring membelakangi Danu. Ia menarik selimut hingga menutupi dagunya. Air mata yang selama ini ia tahan, akhirnya luruh tanpa suara. Ia menangis dalam diam, menyesali nasibnya, meratapi masa depannya yang entah akan seperti apa.
Keesokan paginya, Safira terbangun lebih dulu. Danu masih terlelap, napasnya teratur. Wajahnya yang tertidur terlihat sedikit lebih lembut, namun aura dinginnya tetap terasa. Safira bangkit dari ranjang, menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri, ia mengenakan pakaian yang sudah disiapkan ibunya.
Saat keluar dari kamar mandi, Danu sudah bangun dan duduk di tepi ranjang, merapikan rambutnya. Ia menoleh sekilas ke arah Safira, lalu bangkit dan mengambil handuk. "Saya mandi dulu," ucapnya datar, lalu masuk ke kamar mandi.
Tidak ada "selamat pagi", tidak ada senyum tipis, apalagi sentuhan. Safira hanya mengangguk kaku. Ia duduk di meja rias, menyisir rambutnya yang panjang. Bayangannya di cermin terlihat kuyu, matanya sedikit bengkak. Ia berusaha tersenyum, namun senyum itu tidak sampai ke matanya.
Setelah Danu selesai mandi dan berpakaian, mereka turun ke meja makan. Di sana sudah ada Bu Rina dan Pak Hadi, orang tua Danu. Serta seorang anak laki-laki berusia lima tahun dengan mata bulat dan rambut hitam legam.
"Selamat pagi, pengantin baru!" sapa Bu Rina, ibu Danu, dengan senyum lebar. Ia adalah wanita paruh baya yang ramah dan hangat. Berbanding terbalik dengan putranya.
"Pagi, Bu," jawab Safira lirih. Danu hanya mengangguk.
Anak laki-laki itu menatap Safira dengan rasa ingin tahu. "Mama baru?" tanyanya polos pada Bu Rina.
Safira tersentak. Ia lupa. Danu punya anak. Seorang anak laki-laki bernama Raihan. Ia akan menjadi ibu sambung. Sebuah peran yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan.
Bu Rina tersenyum lembut. "Iya, sayang. Ini Tante Safira. Mulai sekarang Tante Safira akan jadi Mama Raihan juga."
Raihan kecil hanya mengangguk-angguk, lalu kembali fokus pada sereal di hadapannya.
Selama sarapan, suasana terasa canggung. Safira berusaha berbasa-basi dengan Bu Rina dan Pak Hadi, namun Danu hanya diam, sesekali menyahut singkat jika ditanya. Ia tampak fokus pada sarapannya, sesekali membantu Raihan yang kesulitan memotong sosis. Melihat interaksi Danu dengan Raihan, Safira merasa ada sedikit kehangatan dalam diri Danu, sebuah sisi yang tidak pernah ia tunjukkan padanya.
Setelah sarapan, Bu Rina mengajak Safira untuk berkeliling rumah. Rumah Danu besar, modern, dan tertata rapi. Namun, ada semacam kekosongan yang Safira rasakan. Mungkin karena terlalu rapi, terlalu bersih, nyaris tanpa sentuhan personal.
"Danu memang begitu, Safira. Dia tidak banyak bicara. Tapi hatinya baik kok," ucap Bu Rina seolah bisa membaca pikiran Safira. "Dia sangat menyayangi Raihan. Sejak istrinya meninggal tiga tahun lalu, dia jadi lebih pendiam."
Safira hanya mengangguk, mencerna informasi itu. Istri Danu meninggal tiga tahun lalu. Berarti Danu sudah menjanda cukup lama. Apakah Danu masih mencintai istrinya? Apakah itu sebabnya ia begitu dingin pada Safira? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk dalam benak Safira, namun ia tak berani menyuarakannya.
Hari-hari awal pernikahan Safira dan Danu berjalan lambat, seperti putaran film tanpa suara. Mereka tinggal di rumah Danu yang besar, yang kini terasa semakin besar dan hampa. Danu sibuk dengan pekerjaannya, seringkali pulang larut malam. Jika tidak ada pekerjaan, ia akan menghabiskan waktunya di ruang kerjanya, entah membaca buku atau di depan laptop. Komunikasi di antara mereka sangat minim.
Safira berusaha mengisi waktunya. Ia membantu Bu Rina mengurus rumah, bermain dengan Raihan, atau membaca buku di kamar. Raihan adalah satu-satunya sumber kebahagiaan kecil bagi Safira. Anak itu polos dan ceria, seringkali membuat Safira tertawa dengan tingkah lucunya. Raihan dengan cepat dekat dengan Safira, memanggilnya "Mama Safira" dengan logat cadelnya yang menggemaskan.
Kehadiran Raihan sedikit melunakkan hati Safira. Ia melihat bagaimana Danu, yang begitu dingin padanya, bisa berubah menjadi sosok ayah yang lembut dan penuh perhatian di depan putranya. Danu akan sabar mendengarkan cerita Raihan tentang sekolah, menemaninya bermain, atau membacakan dongeng sebelum tidur. Pemandangan itu seringkali membuat Safira merasa iri sekaligus kagum. Iri karena Danu tidak pernah menunjukkan kelembutan itu padanya, namun kagum melihat sisi lain dari suaminya yang selama ini tersembunyi.
Suatu malam, Safira duduk di ruang keluarga, membaca buku. Danu baru saja pulang dari kantor. Ia melepas jasnya, meletakkannya di sofa, lalu menuju dapur untuk mengambil air minum.
"Sudah makan, Danu?" tanya Safira, mencoba memecah keheningan.
Danu menoleh. "Sudah di kantor." Suaranya datar seperti biasa. Ia minum segelas air, lalu beranjak menuju ruang kerjanya.
Safira menghela napas. Setiap usahanya untuk memulai percakapan selalu berakhir seperti ini. Ia merasa seperti hidup berdampingan dengan patung. Patung yang tampan, sukses, tapi tanpa jiwa yang terhubung dengannya.
Pernah suatu kali, Safira mencoba berbicara serius dengan Danu.
"Danu, bisakah kita bicara sebentar?" tanya Safira saat Danu sedang duduk di ruang kerjanya.
Danu mengangkat kepalanya dari laptop, menatap Safira dengan alis terangkat. "Ada apa?"
"Tentang kita," Safira memulai dengan hati-hati. "Aku tahu pernikahan ini terjadi karena paksaan. Tapi, kita sudah menikah. Bisakah kita mencoba untuk... setidaknya berteman? Berusaha untuk saling mengenal?"
Danu menatapnya lama, tatapan kosong yang membuat Safira merasa kecil. "Apa yang ingin kamu kenal dari saya, Safira?" tanyanya dengan suara rendah, nyaris tanpa intonasi. "Saya sudah bilang, saya menerima pernikahan ini karena Mama. Tidak lebih."
Kata-kata itu bagai belati yang menusuk hati Safira. Begitu lugas, begitu jujur, dan begitu menyakitkan. Tidak ada harapan sama sekali.
"Tapi... apa kamu tidak merasa canggung? Kita tinggal serumah, tapi seperti orang asing," Safira mencoba lagi, suaranya bergetar.
Danu menghela napas panjang. "Saya sibuk. Saya tidak punya waktu untuk hal-hal seperti itu. Kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau di rumah ini, asalkan tidak mengganggu saya dan Raihan."
Hancur. Hati Safira benar-benar hancur. Ia bangkit dari duduknya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Air matanya sudah siap tumpah. Ia berjalan cepat menuju kamar, mengunci pintu, dan menangis sejadi-jadinya di balik selimut.
Sejak saat itu, Safira berhenti mencoba. Ia memutuskan untuk menerima kenyataan pahit ini. Danu tidak akan pernah mencintainya. Danu tidak akan pernah peduli padanya. Ia hanyalah sebuah komoditas, sebuah kesepakatan bisnis yang mengikatnya dalam sangkar emas.
Ia mulai membangun dinding di sekeliling hatinya. Menutup diri dari Danu, dari harapannya yang sia-sia. Ia akan fokus pada Raihan, pada kegiatan sehari-harinya, pada segala sesuatu yang bisa mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit.
Namun, hidup di bawah satu atap dengan seseorang yang menganggapmu tidak ada, adalah siksaan yang tak berkesudahan. Setiap pagi, saat mereka berpapasan di meja makan, Danu hanya akan melirik sekilas, lalu kembali fokus pada sarapannya. Setiap malam, ia akan masuk ke kamar lebih dulu, dan ketika Safira masuk, Danu sudah memunggunginya, terlelap atau pura-pura terlelap.
Terkadang, Safira bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia akan sanggup menjalani hidup seperti ini selamanya? Bisakah ia benar-benar bahagia? Atau akankah ia terus terperangkap dalam pernikahan tanpa cinta ini, mengorbankan seluruh masa mudanya?
Suatu sore, Raihan sakit demam. Safira panik. Ia langsung mengukur suhu tubuh Raihan yang ternyata cukup tinggi. Dengan tergesa-gesa, ia mencari obat penurun panas di kotak P3K. Danu belum pulang dari kantor.
Safira menghubungi Danu, namun ponselnya tidak aktif. Ia mencoba menghubungi Bu Rina, namun ibunda Danu sedang berada di luar kota. Dalam kepanikan, Safira memutuskan untuk membawa Raihan ke rumah sakit terdekat. Ia memanggil taksi daring, menggendong Raihan yang lemas, dan bergegas pergi.
Di rumah sakit, Raihan langsung ditangani dokter. Safira menunggu dengan cemas di luar ruangan. Air matanya menetes tanpa bisa ia tahan. Ia merasa begitu sendirian. Ia adalah seorang istri, namun tidak punya suami yang bisa diandalkan dalam situasi darurat seperti ini. Ia adalah seorang ibu sambung, namun belum sepenuhnya bisa mengemban peran itu sendirian.
Beberapa jam kemudian, Danu tiba di rumah sakit. Wajahnya terlihat tegang dan khawatir. Ia baru mengetahui kabar Raihan dari asistennya yang dihubungi oleh Bu Rina.
"Bagaimana Raihan?" tanya Danu dengan suara serak, langsung menghampiri Safira.
"Dia sudah ditangani dokter. Sepertinya cuma demam biasa. Tadi saya coba hubungi kamu, tapi tidak aktif," jawab Safira, berusaha menahan emosinya.
Danu tidak berkomentar. Ia hanya menghela napas lega, lalu berjalan masuk ke ruang pemeriksaan. Safira mengikutinya dari belakang.
Di dalam, Raihan sudah sadar dan tampak lebih baik. Danu langsung memeluk putranya erat. "Anak Papa kenapa bisa sakit begini, Nak?" tanyanya lembut.
Raihan menunjuk Safira dengan jari kecilnya. "Mama Safira tadi panik."
Danu melirik Safira sekilas. "Terima kasih sudah membawa Raihan," ucapnya datar. Tidak ada nada terima kasih yang tulus, hanya sebuah formalitas yang membuat Safira merasa seperti orang asing yang kebetulan membantu.
Malam itu, mereka menginap di rumah sakit bersama Raihan. Safira duduk di sofa, memejamkan mata, lelah fisik dan batin. Danu duduk di kursi di samping ranjang Raihan, menatap putranya yang terlelap. Suasana hening, hanya ada suara monitor detak jantung Raihan.
Safira membuka mata dan melihat Danu. Dalam gelap, wajah Danu terlihat lelah, namun sorot matanya yang menatap Raihan begitu penuh kasih sayang. Safira menyadari, di balik topeng dinginnya, Danu adalah seorang ayah yang sangat mencintai anaknya. Mungkin, itu adalah satu-satunya sisi hangat yang dimiliki Danu.
"Kamu istirahat saja, Safira," suara Danu memecah keheningan. "Saya akan menjaga Raihan."
Safira terkejut. Itu adalah kalimat terpanjang yang Danu ucapkan padanya di luar konteks formalitas. Ia mengangguk pelan. "Baiklah."
Ia berbaring di sofa yang sempit, mencoba memejamkan mata. Namun pikirannya terus berputar. Ia tidak bisa tidak memikirkan Danu, pernikahannya, dan masa depannya. Bagaimana ia bisa bertahan di tengah kekosongan ini?
Sejak kejadian Raihan sakit, ada sedikit perubahan kecil dalam interaksi Danu dan Safira. Danu tidak lagi sepenuhnya mengabaikan Safira. Ia sesekali akan bertanya tentang Raihan, atau menanyakan apakah Safira membutuhkan sesuatu. Namun, percakapan mereka tetap terbatas dan formal. Dinding es di antara mereka belum mencair sepenuhnya.
Safira tahu ia tidak bisa mengharapkan banyak. Cinta tidak bisa dipaksakan. Ia hanya berharap suatu saat nanti, Danu bisa melihatnya bukan hanya sebagai istri paksaan, tetapi sebagai seseorang yang layak untuk dihormati dan dihargai. Ia berharap suatu saat nanti, ia bisa menemukan kebahagiaannya sendiri, meskipun itu bukan dari Danu.
Ia akan mencoba menjadi istri yang baik, ibu sambung yang penuh kasih sayang untuk Raihan. Ia akan melakukan tugasnya, memenuhi perannya dalam pernikahan ini. Demi Raihan, demi orang tuanya yang sudah berkorban untuknya, dan demi dirinya sendiri yang ingin menemukan kedamaian dalam situasi yang sulit ini.
Masa mudanya memang telah sirna, direnggut oleh sebuah janji suci tanpa cinta. Namun, Safira tahu, hidup harus terus berjalan. Ia harus kuat, harus tegar. Ia akan mencari makna di balik semua ini, mencari kebahagiaan kecil di tengah badai besar yang melandanya. Ia tidak akan menyerah pada nasib. Ia akan belajar untuk menerima, dan perlahan-lahan, membangun kembali puing-puing hatinya yang hancur.
Ia menatap langit-langit kamar yang gelap. Dalam keheningan malam, ia berbisik pada dirinya sendiri, "Aku akan bertahan. Aku harus bertahan."