/0/25494/coverbig.jpg?v=f405a8de1f0d4aa7299c613cd801b645)
Khusus Dewasa
Khusus Dewasa
Perkenalkan Namaku Reggie, biasa dpanggilnya Egi. Dulu aku ini anak baik-baik. Paling bandel cuma nonton bokep. Pacaran ga berani ga ada nyali. Main game kesukaanku. Tapi hobiku sebenarnya adalah belajar.
Aneh gak? Itulah yang sebenarnya. Sampai pada kisah ini, pada waktu aku telah lulus SMA waktu umur 18 tahun.
Kisah ini bermula ketika aku hendak daftar ulang kuliah di salah satu universitas kota Bandung. Karena aku masih belum berpengalaman pergi-pergi sendirian dan karena Mama Papaku sibuk, mereka meminta Pamanku yang mengantar aku. Pas nya lagi, ternyata Pamanku memang sedang berada disana di kota B, sedang bertugas untuk LSM besar tempat dia bernaung.
Karena berbagai hal, sesampainya aku di kota B hari sudah gelap. Aku menelpon Pamanku untuk meminta jemputan di terminal. Rencananya aku menginap di kosan Pamanku saja, besok baru mendaftar ulangnya.
Kami bertemu di sebuah warung di terminal, rupanya ia sudah semenjak sore menunggu disitu. Ia tidak sendirian pula. Ada gadis yang menarik mata pria disebelahnya. Pamanku mengenalkanku padanya.
Tangan lentik gadis cantik itu mengulur padaku.
"Reggie...," kataku kaku.
Perempuan berkulit putih dengan rambut hitam lurus sebahu itu tersenyum ramah, ia tidak menyebutkan namanya.
"Ini temen Mamang, Gi....' kata Pamanku. "Evi namanya... Tante Evi lah kalo kamu manggilnya"
"Ih... masa Tante... emang aku udah tua..." ia tersenyum. "Panggilnya Teteh aja....' sambungnya lagi.
Aku mengangguk mengiyakan saja. Dalam hati aku masih bingung, siapakah dia ini? Apa Pamanku punya istri lagi? menjijikan... bi Nur istri Paman Cahya yang sah kemana. pikirku.
Tapi tak mau kupikirkan lagi. Ditawari makan aku langsung memesan soto. Bodo amat ah, aku tak mau campuri urusan, kataku dalam hati sambil makan.
Setelah aku makan, pamanku berbisik padaku.
"Mana ada ga titipan si Papa buat Mamang?"
Aku termenung dulu, mengingat ingat.
"Oh, iya lupa Egi...."
Aku mengeluarkan amplop dari tasku. Pamanku merebut begitu saja. Dibukanya isinya, ia menghitung. Lalu setengah diberikannya pada Evi.
"Nih, itu sama ongkosnya ya sekalian?"
Teh Evi tersenyum mengangguk.
"Makasih," jawabnya.
Aku melihat setidaknya 500 ribu dipegang perempuan itu lalu masuk kedalam saku celana jeannya, sementara sisanya 500 ribu masuk ke kantung saku seragam LSM milik pamanku.
"Hayu Gi... kita cao...," sahut Pamanku bersemangat.
Didalam mobil sedan butut tahun jebot milik pamanku mereka mengobrol seru didepan. Aku menghabiskan waktu dengan melihat-lihat sekitar, mencoba mengingat-ingat jalan yang kami lalui. Biar hafal nanti kalau kesini sendirian.
"Oh... jadi ini teh anak dokter Linda...' Teh Evi menoleh padaku.
'Iyaah...." jawab pamanku.
Aku mengangguk ramah.
"Kenapa emangnya?" tanya Mang Cahya.
"Gapapa, hihi ganteng... hahahaha...." Teh Evi tertawa sambil menutup mulutnya.
"Mirip Mamangnya ya?"
"Ih... ini mah mirip Mamanya atuh putih... si Akang mah mirip Papanya... item hahaha."
"Iiya kan memang Kakak saya."
Mereka membicarakan Papaku yang kakaknya Mang Cahya. Papaku juga Dokter sama dengan Mamaku. Pada saat itu Papaku menjabat sebagai Kepala di RSUD di kota kami.
"Si Mama teh orang Tionghoa bukan A Egi?" tanya Teh Evi.
"Iya setengah...." jawabku, "Dari si Kakek yang Tionghoa mah, nenek asli urang sunda...."
"Ooooh sama atuh yah sama Teteh.... Teteh juga kan Papa Teteh orang Tionghoa...."
"Cuma beda nasiib..." sela Pamanku.
"Hahaha...." kami semua tertawa bersama.
"Ko Teteh bisa kenal sama Mama saya. emang orang mana aslinya?" tanyaku penasaran.
Teteh dan Pamanku tertawa.
"Iya sama... orang sana juga Egi... tadi baru datang juga pake bis... cuma dia mah sore, kalo kamu janjina sore, datang-datang udah Isya.... huuuh..." jawab Pamanku.
Aku cengengesan, Teh Evi tertawa, kini tak lagi sambil menutup mulutnya. Ia membalik untuk melihat wajahku. Dimatanya terlihat pula senyumnya padaku.
Dia cantik, pake kaos u can see ketat, dimasukin kedalam celana jean yang menampilkan lekuk pantat, membentuk bodi ramping, ukuran dadanya pas. Rambutnya digerai sebahu lebih dikit. pakai poni untuk tirai wajahnya. 'Haduuuh... lumayan buat bahan coli nih....' kataku dalam hati.
'Dimana Pamanku yang begajulan bisa menemukan perempuan seperti ini', pikirku
Mobil memasuki pelataran sebuah cafe yang didekorasi dengan batang bambu.
"Mau kemana kita Mang?" tanyaku.
"Sebentar Gi ketemu temen... cuma sebentar... kamu makan lagi atuh.... atau nyanyi-nyanyi karaoke tuh sambil nunggu, si Evi seneng tah nyanyi... kalo ke kosan dulu jauh Gi muter...."
Aku sedang tak tertarik untuk bernyanyi, padahal aku ini vokalis band kacangan, aku lelah sebenernya pengen tidur. Tapi malas untuk protes sama Mang Cahya.
Aku memilih memisah menjauh dari meja mereka. Segera saja teman-teman pamanku berdatangan. Mereka memesan minuman beralkohol dan kacang-kacangan. Mereka mulai mengambil mic dan bernyanyi. Aku memesan kopi susu, dan mengambil hapeku mengabari orang tuaku bahwa aku sudah samapai dan bertemu Mang Cahya, kubalasi pesan-pesan kawan-kawanku pada hapeku.
Malam semakin larut, pesta di meja pamanku sudah mulai berkurang. Kini tinggal Teh Evi yang sedang bernyanyi. Pamanku yang sudah setengah teler tengah berbisik-bisik dengan rekannya. Ia kelihatannya sudah lupa kalau aku sekarang ini ikut bersamanya. Teh Evi melirik ke arahku, kelihatannya kasihan dengan keadaanku yang kelihatan bosan, ia mengangkat 1 botol bir yang masih penuh bermaksud menawarkan padaku.
Ternyata efek bir sebotol itu lumayan buatku. Aku terlelap di mejaku. Bukan tak sadarkan diri. Cuma hawa alkohol memang berhasil menambah kantukku. Pamanku membangunkanku ketika mereka semua bersiap untuk bubar. Di mobil aku lanjut tidur. Sesampai di kosanpun aku langsung menggoler tiduran lagi diatas karpet, aku memilih diatas karpet karena kulihat kasur cuma ada satu.
Aku terbangun sesaat di gelap malam, terganggu oleh suara yang konstan berulang, aku sayup mendengar suara kain bergesek berulang-ulang suara pria yang sedang ngos-ngosan, dan suara perempuan yang sedang merintih seperti menahan sakit. Mataku mencari-cari, masih buram karena belum terbiasa dengan gelapnya ruangan.
Setelah jelas barulah aku melihat tubuh pamanku yang telanjang tengah menindih tubuh Teh Evi yang bersuara lirih. Tidak terlihat seluruh tubuh bawahnya, karena terhalang pantat paman yang aktif naik turun memompa. Mata Teh Evi terpejam, ia kelihatan berusaha menahan suaranya sepelan mungkin. Desahannya terdngar, 'aang....
Seumur hidupku baru dua kali memergoki orang sedang bersetubuh, kedua orangtuaku sewaktu aku kecil, sekarang pamanku dan Teh Evi yang entah siapanya. Kejadiannya hampir sama, terbangun seperti ini.
"Aw... aw," Tiba-tiba Teh Evi mengaduh. Aku buru-buru menutup mataku lagi.
"Aduh jangan neken ke situ atuh Kang, kena tulang ih... sakit...."
"Oh, iya maaf...."
Pompaan itu kembali terdengar. Aku mengintip lagi. Kini kulihat Teh Evi tak lagi memejamkan mata, tak lagi mendesah kenikmatan, wajahnya bolak balik menatap ke arah sana sini. Ia seperti sedang melayani pamanku saja, menunggu selesai.
Tiba-tiba pandangan matanya beradu dengan intipan mataku. Aku terkejut, sontak kututup buru-buru. Teh Evi kelihatannya masih memperhatikanku untuk memastikan
"Kang... eh eh Kang... itu Egi bangun kali....?"
Pamanku berhenti sejenak, ia berpaling menatap ke arahku. Aku tegang, berusaha sebaiknya di luar kemampuanku berakting pura-pura tidur. 'Mampus... jangan sampe ketawan....' Nafasku kuatur semirip orang yang tidur. Sampai kukeluarkan sedikit suara kerongkongan orang tidur.
Terdengar kembali suara kain bergesekan, walau perlahan. Lagi enak kayaknya si Paman, tanggung kalau mau lepas.
"Bukan ah... tidur dia sih... ngga.... ga apa-apa...."
Pamanku melanjut ijut lagi Teh Evi, lebih semangat kedngrannya sekarang. Suara plak plak kulit beradu pun terdengar.
"Aaaach...." Teh Evi menjerit kecil. Akupun penasaran, kubuka lagi mataku.
Pamanku menahan badannya dengan tangannya, hentakan pada tubuh bawahnya jadi lebih kencang. Plak plak.... Teh Evi memejamkan kembali matanya. Kedua tangnnya ada di dada Mang Cahya.
"Sssshhh... aaah... jangan keluar di dalam," seru Teh Evi.
"Iiyaaa aaaaaaarghh...." Pamanku mencabut kontolnya pas ketika spermanya muncrat di perut Teh Evi.
"Aaaaaaargh... ah hah hah hah...."
Teh Evi memperhatikan tiap crotnya yang keluar. Tak terlalu banyak seperti yang di film bokep. Cepat ia mengambil celana pendek pamanku dan mengelapnya seketika. Sempat ia melirik ke arahku. Pandangan kami beradu lagi sekilas. Terkejut lagi aku, otomatis pula kututup matak. u.
"Aaahh..." Pamanku terdengar menggelesoh ke sebelah Teh Evi.
Deg! Inilah kesempatanku melihat memeknya. Sebelum ditutup yang punya. Aku membuka mataku lagi.
'Wew...! Kusaksikan Teh Evi menutupi tubuhnya dan memeknya yang ditumbuhi bulu hitam itu perlahan dengan selimut. Aku terpana. Selimut itu terus ditariknya sampai dada yang masih memakai u can see tadi. Kutangkap matanya menatap kepadaku, bibirnya agak mengulum senyum. Aku langsung terkena sihir, terutama si tititku yang perjaka, si titit tegang luarbiasa.
Tapi ku tak berani apa-apa, setidaknya harus menunggu mandi pagi agar bisa kucolikan ketegangan ini.
Pamanku langsung mengorok. Teh Evi beranjak duduk sambil berselimut rapat. Aku membalikan badanku. Akupun berusaha tidur.
Sebelum tertidur kudengar Teh Evi pergi kekamar mandi cukup lama.
Udara dingin menerpa wajahku. Aku masih bisa bertahan, tapi kemudian suara bising mobil sedan butut dan bau knalpot membangunkanku. Setelah sepenuhnya sadar, barulah aku tahu, pamanku sudah berada dalam mobil hendak memacunya pergi. Kulihat Teh Evi berdiri dekat jendela mobil berbicara dengan pamanku.
Aku duduk kebingungan menatap Teh Evi yang masuk kembali ke kamar sambil menutup pintu.
"Apa A, hehe udah bangun?" tanyanya duduk diatas kasur sambil menyulut sebatang rokok.
"Itu si Mamang dipanggil ketua Kota Bandung, disuruhnya mah kemarin setelah dari café itu. Tapi malah ketiduran dianya...."
Ia duduk mencari-cari sesuatu. Mataku pun ikut mencari. Sama-sama kami tertumbuk pada sesuatu, celana dalam perempuan Teh Evi. Ditariknya kain kecil berenda tersebut kedalam selimutnya. Ia tiduran sebentar sambil berusaha memakainya, masih didalam selimut rapat.
"Eh maaf ya A, pakai ini dulu... hihi males mau ke kamar mandi...."
Barulah disitu aku ingat kejadian semalam. Terbayang kembali keseruannya. Kontolku bergerak sedikt demi sedikit.
'Aduh.... aku coliin dulu aja apa ya?' pikirku dalam hati.
"Mau ngopi A?" tanya Teh Evi.
Ia kini setengah menelungkup menghadapku, bertumpu pada siku sambil merokok.
"Teteh mau?"
"Eh, malah balik nanya, Teteh bikin satu gelas untuk berdua aja ya?"
Aku mengangguk. Ia berdiri mengikatkan selimut pada pinggangnya, diatasnya ia tetap memakai U can see, tapi tanpa beha kulihat.
^*^
PEMUAS BIRAHI SETENGAH BAYA Ketika usia tak lagi muda, tetapi hati justru mulai berani jujur pada rasa dan birahi yang kian bergelora. Di balik kehidupan yang tampak mapan dan tenang, tersimpan riak-riak kerindua yang tak pernah terucap. Ada mereka yang telah menjalani usia setengah baya dengan peran mulia-sebagai istri, suami, orang tua-namun menyimpan ruang kosong yang lama dibiarkan hampa. Hingga sebuah pertemuan, sebuah sentuhan, atau sekadar perhatian kecil membuka kembali pintu-pintu perasaan yang terkunci. Hasrat yang dulu terpendam kini menyala, tak peduli usia, status, atau norma yang mengikat. Ini bukan kisah cinta remaja yang manis dan polos. Ini adalah cerita tentang mereka yang belajar mencintai-dengan luka, dengan keberanian, dengan kejujuran yang menyesakkan. Panas membara. Hasrat Setengah Baya mengajak kita menyelami cinta yang terlambat, hubungan yang tak terduga, dan pilihan-pilihan yang tak selalu hitam-putih.
Blurb : Adult 21+ Orang bilang cinta itu indah tetapi akankah tetap indah kalau merasakan cinta terhadap milik orang lain. Milik seseorang yang kita sayangi
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?
"Dapatkan wanita itu untukku. Malam ini dia akan menjadi milikku!" ujar Leo De Vana kala mata glasialnya menangkap mangsa yang menarik malam ini. ••• Leo De Vana ketua mafia Cosa Nostra yang terkenal bengis dan kejam akan musuh- musuhnya. Menduda selama 5 tahun tidak membuat Leo merasa kesepian. Dia sangat anti dan benci dengan sesuatu yang berurusan dengan wanita. Hingga Leo merasakan jatuh cinta kali pandangan pertama pada gadis SMA yang mampu meluluhlantahkan hatinya yang sudah lama mati sejak perselingkuhan istri dan sahabatnya. Demi bisa mendapatkan gadis tersebut, Leo merebut kehormatannya demi bisa menjerat gadis tersebut untuk menjadi milik Leo De Vana seutuhnya.
Akibat memiliki masalah ekonomi, Gusti memutuskan bekerja sebagai pemuas. Mengingat kelebihan yang dimilikinya adalah berparas rupawan. Gusti yang tadinya pemuda kampung yang kolot, berubah menjadi cowok kota super keren. Selama menjadi Pemuas, Gusti mengenal banyak wanita silih berganti. bahkan, Dia membuat beberapa wanita jatuh cinta padanya. Hingga semakin lama, Gusti jatuh ke dalam sisi gelap kehidupan ibukota. Ketakutan mulai muncul, ketika teman masa kecil dari kampungnya datang. "Hiruk pikuknya ibu kota, memang lebih kejam dibanding ibu tiri! Aku tak punya pilihan selain mengambil jalan ini."
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Kebutuhan biologis adalah manusiawi. Tak perduli dia berprofesi apa dalam dunianya, namun nagkah batin jelas tak mengenal tahta, kasta maupun harta.
© 2018-now Bakisah
TOP