na dan Raihan. Alana melihat perubahannya pada Raihan, perlahan tapi pasti. Awalnya hanya sering melamun, kini lebih sering absen tanpa pemberitahua
baru kembali larut malam, dengan alasan rapat dadaka
pertama" itu, meskipun ia sudah berstatus suami orang. Ironisnya, Alana adalah istri yang dinikahi justru untuk tujuan yang s
di, dan Alana, yang sudah terbangun dari tidurnya yang gelisah, mendengar Raihan bersenandung pelan. Itu adalah hal yang sangat jarang terjadi. Suara Raihan yang bersenandung, seperti Raihan yang
sembab, atau membaca kekecewaan di wajahnya. Ia tidak ingin menghadapi Raihan, apalagi menuntut penjelasan. Buat ap
ana berbinar. Wajahnya tampak familier, seolah Alana pernah melihatnya di majalah atau media sosial. Raihan terlihat sangat bahagia. Ia tertawa lepas, menyentuh lengan wanita itu dengan gestur akrab, dan pandangan matanya begi
ercekat. Ia buru-buru membalikkan badan, bersembunyi di balik pilar, tidak ingin mereka melihatnya. Alana merasa seperti penguntit, sep
bersama terus berputar di kepalanya. Ia merasa bodoh karena masih berharap, karena masih merasa sakit.
au baik-b
hatin. Daniel adalah CEO dari perusahaan rekanan, ia sering berada di kantor mereka untuk urusan bisnis. Hari ini, ia d
ab Alana, mencoba tersenyum sealami mungkin. N
nelusuri wajah Alana. "Wajahmu pucat. Apakah ada mas
asah sedang menyembunyikan kesedihan. Namun, ia tidak bisa bercerita. Bagaimana ia bisa menceritakan bahwa suaminya, Raihan Wijaya, pria ya
erima kasih atas perhatiannya," A
a. Ia juga menyadari perubahan pada Alana sejak pernikahannya dengan Raihan. Senyumnya semakin jarang, sorot matanya seringkali murung, dan ada semacam beban yang terpan
kata Daniel lembut, suaranya meyakinkan. "Tapi ingat, kau tidak sen
rian," terus terngiang di telinganya. Di tengah kesendirian yang pahit dalam pernikahannya, ucapa
engalihkan pikirannya dari Raihan dan Sasha. Namun, setiap kali ada notifikasi masuk di ponsel Raihan yang tergeletak di meja kantornya, Ala
nya. Raihan sudah pulang, duduk di sofa ruang keluarga, sibuk
nya Alana, mencoba
r. "Hm," gumamnya, kemba
anan kesukaan Raihan, meskipun ia tahu Raihan mungkin tidak akan menghargainya. Ini adalah r
k dan garpu yang terdengar. Alana mencoba memulai pe
imu di kantor?
at, matanya sesekali melirik ke ara
yek baru?" Alan
idak perlu khawatir," Raih
at, Raihan selalu membangun dinding di antara mereka. Ia merasa lelah. Lelah
ai sering tidur di kamar tamu, dengan alasan butuh ruang privasi untuk bekerja. Alana tahu itu bohong. Ia tahu Raihan
is, pikirannya melayang jauh. Ia bertanya-tanya, apakah Raihan bahagia sekarang? Apakah ia mendapatkan apa yang
kan melihat mereka di sebuah kafe sepulang kerja, tampak akrab dan mesra. Hati Alana terasa seperti diremas setiap kali mendengar kabar itu. Ia tahu ia harus melakukan
u, seperti seberkas cahaya di kegelapan. Ia sering mencari alasan untuk berbicara dengan Alana, menanyakan pendapatnya tentang berbagai hal, bahkan hal-
kan siang sendirian di kantin, Da
ergabung?" tanyanya
ut, namun mengangguk
"Kita kan sering berinteraksi. Terlal
m canggung. "B
l tidak memaksakan percakapan, ia hanya sesekali melir
antai hari ini," Daniel a
n karena makan siangnya enak
lain." Ia menatap Alana lekat-lekat. "Alana, saya tahu ini
aan itu terlalu langsung, terlalu menusuk. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Bagaimana ia bisa menga
saja," jawab Alana, suar
jutkan, "Saya tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam hidup Anda, dan Anda tidak perlu menceritakannya jika tidak mau. Tapi saya hanya ingin Anda ta
g selama ini ia rasakan dari Raihan, Daniel justru melihatnya, mengakui keberadaannya, bahkan peduli pada
" Alana berbisik, suar
ang, habiskan makananmu. Setelah itu, kita
l, perhatiannya yang tulus, meskipun hanya sebatas itu, memberinya sedikit kekuatan. Ia mulai menya
dak pernah pulang ke kamar utama lagi. Malam-malam Alana dipenuhi kesendirian dan pikiran yang kalut. Ia mendengar suara Raihan terkadang berbicara di telepon
a masih terjaga, duduk di ruang tamu, membaca buku, mencoba mengalihkan perhatian. Ketika Raihan masuk, Al
atap Raihan, yang terlihat sedikit
a Raihan, suaranya
. "Ada bau parfum wan
jadi tegang, lalu defensif. "Apa maksud
nya, suaranya tenang namun menusuk. "Atau kl
ap wajahnya dengan kasar. "Al
inggi. "Lelah dengan semua kebohongan ini. Lelah dengan sem
lat marah. "Memangnya kenapa kalau aku bersama
nya. "Aku tahu aku hanya pelampiasan! Tapi bisakah kau setidaknya menghormati perni
kunjung mereda. "Kau tidak tahu apa-apa, Alana. Kau tidak tahu bagaimana rasanya m
r di pipinya. "Aku tahu bagaimana rasanya mencintai, Raihan.
ng tamu yang dingin. Malam itu, ia tidak bisa tidur. Hatinya hancur berkeping-keping. Raihan bahkan tidak berusa
nta, tak ada perhatian, tak ada kehangatan. Ia hanya ada sebagai saksi bisu kehancuran hatinya sendiri.
ertas di meja makan: "Aku ada urusan di luar kota selama dua hari." Tidak ada kata maaf, tidak ada
uatan lagi untuk menahan air mata. Ia hanya ingin semua ini berakhir. Ia bertanya-tanya, apakah Tuh
enangkan. Daniel adalah satu-satunya orang yang melihat Alana, yang benar-benar melihatnya di tengah kegelapan ini. Apakah Daniel bis
ah itu berani menghadapi Raihan, atau mencari jalan lain yang lebih pasti, meskipun penuh ketidakpastian. Kehidupan Alana Putri Pratama, sang gadis sederhana yang kini terperangkap dalam labirin cin