at di pagi hari yang dingin, atau bisikan angin sore di jendela kamarnya – semua itu adalah kekayaan baginya. Kecantikannya bukan jenis yang menuntut perhatian, melainkan memancar lembut dari s
enjadi pusat perhatian, dengan aura percaya diri yang terpancar dari setiap gerak-geriknya. Senyumnya mudah menular, dan matanya yang tajam selalu terlihat berpikir. Alana tidak pernah menyangka akan menjadi target perhatian seorang Raihan Wijaya. Mereka jarang berinteraksi lang
an atau evaluasi mendadak. Namun, Raihan justru mengajaknya makan malam di sebuah restoran mewah yang tak pernah terbayang akan ia masuki. Suasana romantis, cahaya remang, dan alunan musik lembut, s
gar mantap, meski ada sedikit getaran yang
agiaan, dan sedikit ketidakpercayaan, ia hanya bisa mengangguk, air mata haru mulai membasahi pipinya. Raihan tersenyum lega, memakaikan cincin itu di jari manis Alana, dan mencium punggung tanga
merasa beruntung mendapatkan menantu seperti Raihan. Ia sopan, ramah, dan selalu memperlakukan mereka dengan hormat. Namun, Alana merasakan dinding tak kasat mata di antara mereka. Raihan jarang sekali membicarakan masa depannya, atau bahkan perasaannya. Obrolan mereka lebih sering ber
, tampak gagah. Ia tersenyum tipis padanya saat mereka berdiri di altar, mengucap janji suci di hadapan penghulu dan sedikit kerabat dekat. Ya, pernikahan itu memang sederhana, hanya dihadiri oleh kel
ana. Di kamar hotel yang mewah, di mana seharusnya cinta mereka bersemi, Raihan justru menunjukkan sisi lain dari dirinya. Ia dud
?" panggil
dan dingin. "Alana," ucapnya pelan, s
kening, bingung.
n berjalan mondar-mandir di kamar. "Pernikahan
selama ini ia coba tepis, kini menerkamnya dengan
langsung. "Aku... aku mencintai wanita lain, Alana. Aku mencintai dia sejak lam
ruangan itu tersedot habis. "Lalu... lalu mengapa kau
ingin dia cemburu. Aku ingin dia tahu bahwa aku bisa bahagia tanpanya, bahwa
telah mempercayai dongeng yang disajikan Raihan. Selama ini, ia hanyalah alat, sebuah pion dalam permainan Raihan untuk membal
lampiasan?" tanya Alana, s
ku tahu ini tidak adil bagimu. Aku tidak bermaksu
kannya. "Kau menghancurkan hidupku karena kepu
pisnya. "Jangan sentuh aku!" bentaknya, suaranya penuh luka. "
g terperangkap dalam sebuah sandiwara. Raihan tidak pernah menyentuh Alana sedikit pun. Mereka tidur di ranjang yang sama, namun ada sekat tak terlihat yang memisahkan me
tor, mereka tetap profesional, menjaga jarak, seolah tak ada ikatan pernikahan di antara mereka. Namun, setiap malam, ketika ia sendirian di kamar, ta
tahu bagaimana caranya. Perceraian bukanlah pilihan mudah bagi Alana. Ia tahu bagaimana pandangan masyarakat terhadap janda di usianya yang masih muda, apalagi jika ia harus menjelaskan alasan yang begitu menyakitkan. Selain itu,
diam di rumah, meskipun di kantor ia tetap menunjukkan profesionalismenya. Alana sering bertanya-tanya, apakah Raihan menyesali keputusannya? Atau apa
beberapa rekan kerja berbisik-bisik. "Kudengar mantan kekasih Raihan Wija
ang arsitek itu?" sahut yan
najam. "Ya, Sasha Amanda. Kudengar dia baru putus dari suaminya dan kembali ke Jakarta
tan kekasih Raihan, yang pergi dan menikah dengan pria lain. Ia tidak tahu nama lengkapnya, at
alu buru-buru menyembunyikannya ketika ada yang lewat. Pertemuan-pertemuan mendadak di luar jam kerja, alasan-alasan yang kurang meyakinkan untuk pulang larut malam – s
nya tahu bahwa hatinya terasa semakin beku, mati rasa terhadap apa pun yang akan terjadi selanjutnya. Ia adalah istri Ra
wa dan kecerdasan, dengan senyum yang hangat dan mata yang tajam namun meneduhkan. Ia selalu ramah pada semua orang, dan Alana sering berinteraksi dengannya dalam berbagai proyek. Daniel selalu memperlakukan Alana dengan hormat, bahkan memberinya perhatia
tapannya lebih lama, senyumnya lebih sering terarah padanya. Sua
kabar?" tany
ggung. "Baik, Pak D
h akhir-akhir ini," Daniel mengatakannya denga
nya. Ia mencoba menutupi kegundahannya dengan senyuman paksa.
an. "Jika ada sesuatu yang ingin Anda bicarakan, atau sekada
peduli. Alana hanya mengangguk, mengucapkan terima kasih, dan melanjutkan langkahnya. Namun, perkataan Daniel terus terngiang di benaknya. Ia tida
beban di pundaknya. Daniel telah memperhatikan perubahan pada diri Alana sejak Raihan Wijaya menikahinya. Ia melihat senyum Alana semakin jarang, matanya semakin sering terlihat sendu, dan auranya yang dulu ceria kini sedikit meredup. Sebagai s
en, atau tiba-tiba menghilang di tengah jam kerja. Ada percakapan telepon yang tersembunyi, ada senyum-senyum simpul yang tiba-tiba muncul di wajah Raihan setel
asa sakit, kekecewaan, dan kehampaan yang mendalam. Ia adalah istri yang tidak diinginkan, alat untuk membalas dendam, dan sekarang, ia akan menjadi sa
mulai. Babak di mana ia harus memutuskan, apakah ia akan terus menjadi bayangan, ataukah ia akan menemukan kekuatan untuk bangkit, bahkan jika itu berarti harus merobek semua ikatan yang telah menyakitinya. Ia tidak tahu bagaimana nasib rumah tangga Raihan akan berlanjut setelah kedatangan Sasha, mantan keka