terbaring lemah di dalam. Ibunya, Kartika, duduk di sampingnya, terus melafalkan doa-doa. Tiara mencoba menenangkan dirinya, namun cemas yang mendalam mencengk
i dan kemewahan masih terpancar kuat darinya, seolah waktu tak mampu mengikisnya sedikit pun. Ia mengenakan setelan jas bisnis yang rapi, rambutnya
akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Adrian menatapnya, tatapan matanya menyiratkan keterkejutan, mungkin juga sebuah per
a Kartika sopan, s
dari Tiara. "Tiara, anakmu yang mana?" tanyany
g tirainya sedikit terbuka. "Di dalam,
afan terbaring di ranjang, wajahnya pucat pasi, bibirnya kering, dan napasnya pendek-pendek. Se
eksama. Ada kerutan di dahinya, seolah ia sedang memprose
jawab Tia
a terdengar tegas dan cepat, memerintahkan sesuatu yang Tiara tak bisa dengar jelas. B
er itu dengan hormat. "A
kter terbaik di rumah sakit ini. Lakukan semua yang diperlukan, tanpa memikirkan b
h. "Baik, Tuan. Kami a
elepon, situasi Rafan langsung ditangani dengan prioritas tinggi. Rasa syukur memenuh
. "Kamu tunggu di luar. Aku a
Adrian keluar, raut wajahnya tetap tegar. "Dia akan baik-bai
ata tulus. "Saya... saya tidak tah
ang, kita perlu bicara." Ia menatap Kartika. "Maaf,
an beranjak pergi. Tiara dan Adrian kin
nnya lekat pada Tiara. "Anak i
takan bukan. Tapi, melihat bagaimana Adrian telah bertindak cepat demi Rafan, dan juga menyadari kemiripan wajah Raf
menjawab, suaranya gu yang lain, yang tak bisa Tiara identifikasi. "Kenapa kamu tidak memberitahu
iri, nada suaranya berubah pahit. "Kamu pikir aku mau meminta belas kasihan darimu? Aku pergi karena aku tidak ingin menjadi
.. aku hanya harus menikahi tunanganku. Itu sudah menjadi komitmen sejak l
dan membiarkan anak ini tumbuh tanpa sosok ayah? Atau kamu akan menikah denganku d
asa lalu. Yang penting sekarang adalah Rafan.
rang! Aku yang membesarkannya sendirian, Adrian. Aku yang berjuang mati-matian agar dia bisa
nggi, ia bangkit dari duduknya. "Dan ak
ompat berdiri, matanya membelalak tak percaya. "Tidak! Tidak
ak punya pekerjaan tetap. Bagaimana kamu bisa menjamin masa depan anakku? Aku bisa memberikan seg
ipinya. "Tapi aku memberinya cinta! Aku memberinya kasih sayang! Sesuatu
ersikeras. "Dia berhak mendapatkan yang terbaik. Dan itu b
ak peduli. Hatinya sakit, marah, dan takut menjadi satu. Ia tidak akan p
an," Tiara berkata tegas, suaranya penuh tekad. "A
lihat saja, Tiara. Ingat, aku punya
memastikan Rafan mendapatkan penanganan terbaik. Tiara hanya bisa m
wa makanan enak, mainan baru, dan buku cerita untuk Rafan. Ia berbicara dengan Rafan, mencoba membangun ikatan. Rafan, yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dari sosok ayah, t
baik. Ia bahkan seringkali membicarakan masa depan Rafan di depan Tiara, tentang sekolah-sekolah elit, tentang kursus-kursus yang m
yang duduk di samping ranjang Rafan. "Aku sudah bicara dengan pengaca
rdesir dingin. "Kamu tidak
memiliki pekerjaan tetap, tidak punya aset, dan hidup dalam kemiskinan. Sem
nya serak. "Aku ibunya! Aku yang mengan
isa memberinya kehidupan yang layak," Adrian berkata tanpa empati. "Pikirkan masa depan Rafan
punya uang, kekuasaan, dan pengacara yang handal. Sementara Tiara hanya memiliki
ka semua mengatakan kasusnya akan sangat sulit dimenangkan mengingat kondisi finansialnya. Beberapa
rkan Tiara membawa Rafan pulang ke rumahnya. Ia mengirimkan pengacara yang datang dengan perintah pe
on. Ia memeluk Rafan erat-erat, tak ingin melepaskannya. Rafan, y
afan mau sama Mama!" teriak Rafan
kamu!" Tiara mencium putranya berkali-
reka menarik Rafan paksa dari pelukan Tiara. Tiara menjerit, mencoba meraih put
bawa masuk ke dalam mobil mewah Adrian, mata putranya yang ketakutan menatapnya dar
Putranya telah direbut. Ia merasa kosong, hampa, seolah sebagian jiwanya telah ikut pergi bersama
ya gemetar tak terkendali. "Mereka merebut
encoba menenangkannya, namun ia sendir
rbaring lemah. Setiap kali ia memejamkan mata, wajah Rafan yang ketakutan dan panggilannya yang pilu selalu memba
gan semangat hidup. Dunia terasa gelap tanpa kehadiran Rafan. Rumah kecil
kum hak asuh. Setiap surat itu datang, Tiara merasa seperti disiram air dingin.
banknya, aset-asetnya, semua hal yang menunjukkan bahwa ia mampu memberikan masa depan terbaik bagi Rafan. Sementara Tiara, hanya bisa bersaksi de
tidak menunjukkan perhatian yang cukup pada Rafan. Mereka menggali semua "kekurangan" Tiara, bahkan mengungkit masa l
esar persidangan, dan ketika ia datang, kesaksiannya terdengar datar, nyaris tanpa emosi. Bahkan, ia sempat keceplosan m
jarang berinteraksi dengan Tua
begitu, Pak. Saya kan sibuk kerja
gi pengacara Adrian untuk
tidak berniat jahat, ia hanya mengatakan apa adanya. Nam
npa alasan, terkadang menangis tanpa henti. Ingatannya mulai kacau. Ia sering lupa di mana ia meletakkan
menolak. Ia tidak mau mengakui bahwa ia gila. Ia hanya ingin
, Tiara menerima kunjungan dari seorang psikolog yang ditunjuk oleh pengadil
nda, Bu Tiara?" tanya
aik-baik saja. Saya hanya... merindukan anak saya. Rafan. Di
g Tiara dengan tatapan prihatin. Kartika hanya bi
ental Tiara tidak stabil, dan ia tidak mampu merawat Rafan dengan baik. Laporan itu juga menduku
hak asuh Rafan sepenuhnya diberikan kepada Adrian Wiratama. Tiara dinyatakan tidak layak m
secara paksa, dan ia tak bisa berbuat apa-apa. Suara hakim yang membacakan putusan i
ira Kartika adalah Adrian. Ia seringkali berbicara tentang Rafan seolah-olah putranya masih bersamanya, sedang bermain di kamar,
tersenyum dan melambaikan tangan pada anak-anak kecil yang lewat, mengira mereka adalah R
erbaik: sekolah elit, guru privat, mainan terbaru, dan semua kemewahan yang dulu tak pernah bisa Rafan bayangkan. Namun, Rafan, meskipun
a ia beli dengan uang: kasih sayang seorang ibu. Rafan seringkali menolak makanan, tidak bersemangat untuk
tersenyum kosong, memanggil nama Rafan dengan nada aneh, atau bahkan menatap Rafan dengan tatapan orang asing. Pemandangan itu selalu menyakitkan hati Rafan, m
u mungkin, hanya penyesalan samar. Ia telah mendapatkan Rafan, putranya, namun ia telah menghancurkan T
a, kini hanya bisa meracau dan melamun. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain merawatnya, memandikannya, memberinya makan, d
Kartika seringkali bertanya pada dirinya send
erperangkap dalam dunianya sendiri yang hampa? Apaka
udara, tanpa jawaban pasti. Tiara mungkin telah kehilangan akal sehatnya, namun luka di hatinya terlalu dalam untuk sembuh