perti belenggu. Udara malam Jakarta yang pengap terasa dingin di kulitnya, seolah ikut merasakan kehampaan yang ia bawa. Di dalam tas kecilnya, hanya ada beberapa lembar pakaian dan satu-satunya
at ini setelah "mendapat pekerjaan bagus." Kebohongan yang ia rajut kini harus diurai, namun ia belum siap mengungkapkan kebenaran p
ang yang sedikit reyot, melangkah pelan agar tidak menimbulkan suara. Namun, ibunya, Kartika, sudah terbangun. Soso
un ada nada syukur di dalamnya. Ia memeluk putrinya erat, pelukan yang te
mendadak ada lembur, jadi tidak sempat kabari Ibu." Kebohon
mpat khawatir." Ia melepaskan pelukannya, menatap Tiara dengan cerm
kerja." Ia harus memikirkan langkah selanjutnya. Bagaimana ia akan memberitahu ibunya tentang ke
ium di kamar itu kini terasa begitu menenangkan. Ia memejamkan mata, membiarkan kelelahan fi
ita kolot yang sangat menjunjung tinggi norma dan agama. Mendengar putrinya hamil di luar nikah pasti akan menj
rapan sederhana, "saya... ada yang ingin s
p putrinya dengan tatapan khawatir.
ya hamil, Bu." Suaranya nyaris tak terdengar
matanya perlahan. Kartika duduk terpaku, sendoknya terjatuh dari tangannya, m
rcekat. "Bagaimana bisa, Nak? Denga
u. Saya... saya melakukan kesalahan." Ia tak sanggup menyebut
marah, melainkan pelukan putus asa yang campur aduk. "Astaga, Nak... kenapa ini bisa ter
embalas pelukan ibunya. "Yang penting sekarang, saya haru
kekecewaan, kesedihan, namun juga kasih sayang yang tak terbatas. "Tentu saja, Nak.
ghela napas panjang. Tiara bisa merasakan beban yang ia timbulkan pada ibunya. Namun, ia juga melihat ke
" panggilnya lembut. "Ibu sudah memikirkan ini matang-matang. Kamu tidak bisa membesarkan anak ta
dah memikirkannya berulang kali. T
a sedikit ragu. "Namanya Bagus. Dia pekerja keras, baik hati, dan sangat menghormati Ibu.
memang baik, selalu membantu jika ada kerusakan di rumah mereka. Ia memang pernah mendengar selentingan bahwa B
kepala, terkejut. "Tapi, B
idak berani berbohong. Dan dia... dia mau menerimamu, Nak. Di
gguh mengejutkan. Apakah ini solusi yang terbaik? Menikah dengan pria yang tidak ia cintai, pria yang menerima diri
alistis. Ia tidak bisa egois. Ia h
a penuh harap. "Pikirkan baik-baik. Ini
yangkan hidupnya sendirian, membesarkan seorang anak tanpa dukungan siapa pun. Lalu ia me
erucap, suaranya lemah. "Saya..
kelegaan membasahi pipinya. "Terima kasih, N
dekat dan tetangga. Tiara mengenakan kebaya sederhana, wajahnya terlihat pucat di balik riasan tipis. Bagus, di sisi lain, te
Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk mencoba menjadi istr
ih dan rapi. Bagus adalah pria pekerja keras. Ia selalu pulang malam, membawa sedikit uang dari hasil reparasi
at Rafan, hati Tiara luluh. Semua rasa sakit, semua pengorbanan, terasa sepadan. Rafan adalah segalanya baginya. Wajahnya yang
ayah yang baik. Ia bekerja keras untuk menafkahi keluarga, dan sesekali ia menggendong Rafan. Namun, Tiara bisa merasakan, ada se
tranya. Jika Rafan menangis di malam hari, Bagus seringkali menggerutu, menyuruh Tiara untuk segera menenangkan anak itu. Ia tidak per
atu malam setelah Rafan tertidur. "Rafan anakmu ju
Tiara. Lagipula, dia anak kecil. Kamu saja
sendiri? Tiara tahu, Bagus tidak mencintai Rafan seperti ayahnya sendiri. Mungkin karena Rafan bukan darah dagingny
la-sela mengurus rumah dan Rafan. Dari mencuci baju tetangga, membuat kue untuk dijual di pasar, hingga menjadi buruh cuci piring di
atian dari Bagus yang dingin. Tiara selalu berusaha mengisi kekosongan itu dengan kasi
a Rafan suatu sore, saat usianya menginjak lima
g Rafan, kok. Ayah Bagus cuma sibuk bekerja untuk kita.
Rafan seperti Mama," Rafan m
an laki-laki, Nak. Laki-laki memang begitu
kuras, hatinya terkadang hancur. Namun, melihat senyum Rafan, mendengar tawa Rafan, semua lel
enasihati Tiara. "Kamu terlalu keras pada dirimu sendir
Bu?" jawab Tiara lirih. Ia tida
sepeda saat bermain di depan rumah, lututnya berdarah. Tiara panik, segera membopong Rafan masuk
Nak?" Tiara membersihkan
Sakit, Ma... Ayah
li fokus pada korannya. "Bagus, bisakah kamu bantu ambilkan oba
Kamu saja, Tiara.
Rafan. Ia bangkit, mengambil kotak P3K sendiri, dan mengobati luka Rafan. Rafan hanya mena
a mendekati Bagus yang sedang menonton
galihkan pandangannya dari laya
ia sudah tidak bisa menahan diri. "Kamu hanya mau menikahiku karena
"Apa yang kamu harapkan, Tiara? Dia bukan darah dagingku. Aku
an telak. "Kamu berjanji, Bagus! Kamu berjan
ha menolong. Tapi aku tidak bisa memaksakan perasaanku. Lagipula, dia
mata mulai menetes. "Jangan ungkit
itu salahmu! Salahmu yang sudah hamil di luar nikah
a untuk menjadi istri yang baik, berusaha untuk melupakan masa lalu yang kelam, dan berusaha men
telah mengorbankan segalanya, namun tetap saja, ia dan putranya tak pernah benar-benar diterima. Ia merasa bod
n ceria di sekolah. Tiara selalu memastikan Rafan tidak pernah kekurangan kasih sayang darinya. Ia bekerja lebih keras, mengambil pe
tempat ia bekerja, Rafan tiba-tiba demam tinggi. Tubuhnya menggigil, dan ia
. Tiara merasakan dunianya runtuh. Ia tidak punya uang sebanyak itu. Tabungannya sangat sedikit,
ka segera datang, wajahnya pucat pasi. "Bagaima
panas. "Saya akan mencari pinjaman
tan masing-masing. Ia mencoba meminta tolong pada tetangga, namun mereka juga tidak
m: Adrian Wiratama. Ia memaki dirinya sendiri karena memikirkan pria itu lagi. Pria yang telah mencampakkannya, pria yan
nnya, entah mengapa. Ia menemukan kartu itu, sedikit lusuh, namun masih terbaca jelas. Nomor ponsel Adrian. Ia menatap kartu itu, ragerengah-engah, Tiara tahu ia tidak punya pilihan.
sendiri sudah kehabisan pulsa. Jari-jarinya menekan nomor Adrian, nomor yan ketegangan menjalar di sekujur tubuhnya. Apakah Adrian akan mengangkatnya?
ahut dari ujung telepon. "Halo?" Sua
a." Suara Tiara ser
amu meneleponku." Nada suara Adrian terdengar dingin, tak ada lagi
"Anak saya... Rafan... dia sakit parah. Demam berdarah. Dia butuh pera
menunggu dengan napas tertahan. Ia bisa mende
ya terdengar... aneh. Ada sedikit nada terkejut,
tap Rafan yang terbaring lemah. "Tolong, Adrian.
rubah menjadi lebih tegas dan cepat. "Aku akan segera
uan ini pasti akan rumit. Tapi ia tak punya pilihan. Demi Rafan, ia akan menghadapi apa pun. Ia hanya berharap Ad
di samping Rafan, mengusap dahi putranya, dan berdoa dalam hati. Semoga kali ini, ada kead