g sudah terasa lengket. Kemana ia harus pergi? Rumah ini, rumah orang tuanya yang dulu terasa begitu hangat, kini terasa asing. Ia tak ingin menambah beban pikiran kedua orang tuanya ya
tar, senyum Sekar yang licik, tawa mereka yang dulu ia anggap persahabatan, kini menjelma menjadi belati yang
mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, berharap oksigen bisa membersihkan pa
ap, kali ini bukan desahan, mela
s. Sahabat masa kecilnya yang paling setia, yang selalu melindunginya dari kenakalan anak-anak lain. Kirana ingat betul bagaima
n seiring berjalannya waktu, kesibukan sekolah menengah membuat komunikasi mereka merenggang, hingga akhirnya terputus sama sekali. Kirana pernah mencoba menca
apan. Ia tidak tahu mengapa, tapi ada dorongan kuat untuk menemukan Bara. Mungkin hanya untuk sekadar n
alam-dalam, mengaktifkan GPS di ponselnya. Tujuannya adalah sebuah kota kecil di Jawa Tengah, tempat di mana Bara d
erasa spontan, namun juga tak terelakkan. Kirana merasa ini adalah satu-satunya
am diam, sesekali air mata kembali membasahi pipinya. Pikirannya
pasar favorit Kirana. Mereka akan bermain petak umpet di taman belakang, atau membangun istana pasir di k
menangis. Bara, meskipun lebih kecil darinya, langsung menghampiri, mengobat
unya seolah-olah ia adalah pahlawan super. Kirana saat itu hanya tertawa, menganggapnya sebagai janji kekanak-kanakan. Tapi sekarang,
ang sudah lama tidak muncul di wajahnya. Namun, senyum itu
aimana Sekar akan datang ke rumah mereka, tersenyum manis, memuji Kirana. "Kak Kirana cantik sekali hari ini," atau "Gaun
inginnya Revan, betapa sulitnya meluluhkan hati suaminya. Dan Sekar akan mendengarkan dengan penuh perhatian, me
ar," kata Sekar kala itu. "Pria mem
ban pikiran, Kak. Coba
yang membara di hatinya. Betapa bodohnya ia tidak melihat kebenaran yang terpampang jelas di depan matanya. Seka
k dan segar menyambutnya, jauh berbeda dengan udara Jakarta yang selalu panas dan bising. Pemandangan pedesaan yang
lnya perlahan, mencoba mengingat jalan-jalan kecil yang dulu sering ia lalui bersama Bara
ya menyapu sekeliling. Toko itu, warnanya yang pudar, papan nama yang hampir usang, semua terasa familiar. Di seberang jalan, ada sebu
-rempah langsung menyeruak, aroma yang sama seperti dulu. Seorang wanita
a yang bisa saya bantu?
elamat pagi, Bu. Maaf, saya...
saya kenal," jawab w
eka tinggal di daerah sini." Kirana mencoba m
"Mahendra... Oh, keluarga Pak Budi Mahendra yang
Betul sekali! Pak Budi dan istrinya
u sering bantu ibunya belanja di sini." Wanita itu terdiam sejenak, sorot matanya ber
gi. "Tidak tinggal lagi? Lalu
t Bara pindah ke Yogyakarta. Katanya Bara bekerja di sana, di bidang arsitek," jelas
lah kota besar, bahkan lebih besar dari Magelang. Mencari seseorang bernama Bara Mahendra di
panjangnya seolah sia-sia. Ia duduk di bangku di bawah pohon beringin, menatap jalanan yang masih sep
alu berlari dari satu kek
ir dari Revan. Pesan yang penuh pengkhianatan. Ia ingin melempar ponse
ia yang ia kenal. Keluarga Wijaya, keluarganya sendiri, memiliki banyak proyek properti. Mungki
n luka-luka hatinya. Ia mencari penginapan terdekat, sebuah hotel kecil yang tenang, dan memutuskan untuk mengha
impan kenangan masa kecilnya bersama Bara. Candi Borobudur, yang dulu selalu menjadi tempat favorit mereka untuk bermain petak umpet di antara stupa-stu
angan Revan dan Sekar, menghancurkan ketenangan yang baru s
, memintanya untuk mencari informasi tentang arsitek bernama Bara Mahendra di Yogyakarta. Ia ta
a, jurusan arsitektur," Kirana memberikan informasi yang ia ingat dari
it terkejut dengan permintaan mendadak ini, namun ia profesional dan tidak banyak ber
tidaknya, ia sudah melakukan sesuatu. Ia tidak
nya menatap siluet senja yang memudar di balik gunung. Ponselnya berde
rsitektur UGM. Tapi yang paling menonjol adalah seorang Bara Mahendra yang kini menjabat sebagai direktur utama di sebuah firma ar
ng di telinganya. Firma itu memang cukup dikenal di kalangan pengemb
Rina?" Kirana bertanya, suaranya sedikit
us web perusahaan, Nona. S
an, Bu Rina. S
ngar. Kirana dengan cepat membuka tautan yang dikirim
yang teduh. Senyum tipisnya, meskipun dewasa, masih menyisakan jejak senyum lebar yang Kirana kenal dulu. Ada ke
erinduan yang mendalam. Ia masih sama. Bara-nya. Pahlawan masa kec
disi hancur seperti ini? Kirana merasa ragu. Ia adalah putri dari keluarga Wijaya, seorang wanita yang seharusnya
tikan oleh dorongan yang lebih kuat. Ia
u Rina," ucap Kirana, s
. Ada lagi yang
ntang pencarian ini, ya," pinta Kirana, teringat bahwa ia masi
aya mengerti,"
a mungkin, dengan kembalinya Bara Mahendra, ia bisa menemukan kembali potongan-potongan dirinya yang hancur. Mungkin, ia bisa m