lah check-in di sebuah hotel di pusat kota, ia segera merencanakan langkah selanjutnya. Menghubungi Bara secara langsung terasa terlalu mendadak setelah bertahun-tahun tanpa kabar. Kirana
sekretarisnya
yang sangat menarik, seolah-olah kami tertarik untuk menggunakan jasa mereka dalam proyek penge
yang mana yang harus saya
ng berjalan, jadi tidak akan terlalu mencurigakan jika kita mengajukan kerja sama arsitektur
siapkan. Siapa yang harus saya
u dengannya secara pribadi untuk membahas potensi kerja sama ini." Kirana sengaja me
Nona. A
hubungi saya jika sudah ada kab
uah perjudian. Bagaimana jika Bara tidak mengingatnya? Bagaimana jika ia sudah sangat berbeda? Atau lebih b
kopi di kafe hotel, ponselnya berdering. Nama Ibu R
," suara Ibu Rina terdengar antusias. "Pak Bara Mahendra bersed
gelombang kegugupan melandanya. "Baik, Ibu Rina. Terima
a email, Nona. Ada lagi
rima kasih
n alamat kantor Adiwangsa Arsitek. Ia akan bertemu Bara. Setelah bertahun
akan? Apa yang harus ia katakan? Apakah Bara akan mengenali dirinya yang sekarang? Ia bukan lagi Kirana kecil yang p
sisa dari malam-malam tanpa tidur dan tangisan. Wajahnya terlihat lebih tirus, dan senyumnya... se
mun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa ini lebih dari sekadar bisnis. Ini adalah upaya terakhirnya
rapi. Ia berusaha tampil sesempurna mungkin, menutupi jejak-jejak luka di hatinya.
gunan tua peninggalan Belanda, menciptakan pemandangan yang unik. Kirana merasa sedikit t
rn minimalis. Plakat bertuliskan "Adiwangsa Arsitek" terpampang jelas di
ng elegan dan kesan profesional. Seorang
Ibu. Ada yang b
ya. Saya ada janji dengan Bapak
ai tiga. Ruangan Bapak Bara ada di sana. Anda bisa langsung masu
ft. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, namun juga penuh anti
ngan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota. Kir
itektur. Punggungnya tegap, rambutnya hitam, dan siluetnya terasa begitu famili
hu it
Mah
berani melangkah lebih jauh. Ia takut. Takut akan kecewa, takut Bara sudah melup
majalahnya, meletakkanny
ereka
ngan. Rahang tegasnya, hidung mancung, bibir yang tipis, semua sama seperti yang Kirana ingat, namun
rak, namun begitu familiar. Sebuah perta
g menetes. Tanpa sadar,
rana lekat-lekat, seolah ingin memastikan bahwa yang di depannya ini adalah Kirana
Bara bertanya lagi, se
awab Kirana, suaranya t
g ke dalam pelukan Bara. Pelukan itu terasa hangat, menenangkan, dan penuh kerinduan yang mendalam
am akhirnya pecah. Rasa sakit karena pengkhianatan Revan, kebingungan akan mas
idak bertanya apa pun, hanya memeluknya erat, seolah ingin meyakin
Bara berbisik, suara
ya di dada Bara. "Tidak, Bar
up wajah Kirana dengan kedua tangannya, ibu jar
ang Sekar, tentang pernikahan palsu itu. Tapi ia tidak
ya lembut. Ia menggenggam tangan Kirana, menuntunnya
da beberapa maket bangunan di meja, sketsa-sketsa arsitektur di dinding, dan
m apa?" t
ima kasih," jawab Kirana,
na meminumnya perlahan, mencoba mengendalikan emosinya. Ia menatap Bara
Bara, nadanya lembut. "Ada apa? Kau tidak dat
idak bisa berbohong pada Bara. Ia t
." Kirana mengakui, suaranya masih serak.
g usahanya yang sia-sia untuk mengambil hati Revan. Dan kemudian, tentang kenyataan p
menjadi kemarahan yang samar saat Kirana menceritakan tentang Revan d
kangmu dengan sepupumu sendiri?" Bara be
"Mereka... mereka sudah lama, Bara. Aku tidak
n Kirana erat-erat. "Kau tidak bodoh, Kirana.
ancur. Sebuah kehangatan merambat dari gengga
" Kirana berbisik. "Rumah tanggaku hancur. Aku tidak b
n, Kirana," kata Bara, tatapannya tegas
nji yang kini terasa jauh lebih berarti. Ba
ara," ucap Kirana, ragu. "Aku tidak ingin mere
Aku tidak pernah melupakanmu. Aku selalu mencari cara untuk menghubungimu. Tap
a. Ia merasa bersalah. "Maafkan aku, Bara.
ini sekarang." Bara menghela napas, sorot matanya
hanya ingin menjauh dari Jakarta sebentar. Menenangka
arkan, nadanya mantap. "Kau bisa menginap di apartemenku. Ada kama
t. "Apartemenmu? Tidak, Bara
bersikeras. "Anggap saja ini balasan karena kau
a tidak bisa menolak. Ia merasa aman di dekat Bara
matanya kembali mengalir, kali ini ai
Kirana. "Sama-sama, Kirana. Sekarang, j
i perlindungan yang selama ini ia rindukan. Yogyakarta, kota yang dulunya hanya sekadar tujuan pencarian, kini terasa seperti tempat singgah, tempat di mana ia bisa mulai menyembuhka