di apartemen Bara, di kamar tamu yang nyaman, terasa seperti sebuah pelukan hangat setelah badai. Ia mandi, men
nakan kaus rumahan dan celana pendek, rambutnya sedikit acak-acakan, terlihat begitu sant
yenyak?" sapa Bara, meno
pipinya sedikit merona. Sudah lama ia tidak sarapan di
an roti panggang," ucap Bara,
. Ada perasaan aneh yang tumbuh di hatinya, perasaan nyaman yang
antor hari ini?
ara, tanpa menoleh, fokus menuangkan kopi ke dua cangkir. "Lagipula, pertem
"Terima kasih, Bara. M
kir kopi di depan Kirana, disusul dengan sepiring roti panggang dan selai.
Kirana, memastikan ia makan dengan baik. Kirana merasa diperhatika
menikmati sisa kopi. Cahaya matahari pagi masuk mela
utnya, Kirana?" Bara memula
aktu untuk memikirkan semuanya. Mengurus perceraian, mungkin." K
adi proses yang panjang dan mel
tidak bisa lagi melanjutkan sandiwara ini. Rasanya... menjijikka
kan di sofa. Sentuhan itu memberikan kehangatan dan kekuatan. "Kau bisa
keberatan?" Kirana mend
Aku senang kau ada di sini. Sudah lama aku t
ya terasa menghangat. "Terima kasi
kan?" Bara mengedipkan mata, mengin
rana, tawa yang sudah lama tida
tu Bara menyiapkan sarapan atau makan malam saat Bara pulang dari kantor. Mereka sering berbagi cerita, tentang hari-hari Bara di ka
Kirana menceritakan itu jika ia siap. Dan saat Kirana bercerita, Bara akan mendengar
a mendapati Kirana duduk di balkon, menatap
" tanya Bara, dud
, Bara. Melihatmu begitu sukses, begitu mandiri.
kening. "Kenapa k
rana bergetar. "Pernikahanku hancur, karierku d
rius. "Kau bukan pecundang. Kau adalah wanita yang kuat. Kau melewat
egitu rapuh, Bara,
ngat berharga." Bara menggenggam tangan Kirana. "Dengar, aku tahu ini sulit. Tapi k
arus mulai dari m
nyum. "Dulu kau suka sekali melukis, kan? Ba
a-kaca. Melukis. Hobi yang sudah lama ia tinggalkan, terkubu
ah melukiskan wajahku dengan hi
gan itu begitu jernih, mem
anmu. Bukankah dulu kau ingin mengambil mas
uaku," Kirana menggelengkan
pnya lekat. "Ini kesempatanmu untuk membangun hidup yang bena
ng-bayang orang tuanya, dan kemudian, di bawah bayang-bayang
dari mana," ulangnya lagi, kali i
meyakinkan. "Aku akan ada di sini un
nnya. Ia mulai mencoba melukis lagi, awalnya hanya sketsa-sketsa sederhana, namun perlahan, warna-warna mulai kembali ke kanvas
an sebagai tempat bermain, tapi sebagai tempat untuk merenung dan mencari ketenangan.
i dipaksakan. Ada cahaya baru di matanya. Bara
nal, ponsel Kirana berdering. Nama Revan tertera di layar. Jantung Kira
mengangkatnya," ucap K
. "Jawablah. Ha
s dalam-dalam, lalu
al
ng?" Suara Revan terdengar dingin, namun ad
Revan," jawab Kirana teg
i ujung telepon. "Yogyakar
a Kirana. "Aku ingin kita
Kirana?" Ada sedikit kete
emarahan kembali membuncah. "Setelah semua yang
k saat kau kembali ke Jakarta
i pengacaraku. Dan aku tidak akan kembali ke rumah itu. Aku akan t
baik-baik. Ini bukan keputusan yan
berbahagia dengan Sekar." Kirana memutuskan
dengan prihatin. "
ya... sedikit lelah. Tapi a
gkah awal yang baik. Sekarang, ma
irana merasa ada beban yang terangkat dari p
secara otodidak, sebuah minat yang sudah lama ia pendam. Bara sering membantunya, memberikan buku-buku referensi dan mengaj
idak pernah menuntut apa pun, hanya memberikan kebaikan yang tulus. Kirana mulai menyadari bahwa perasaan yang ia miliki untu
ebar setiap kali Bara pulang. Ia menyukai cara Bara tertawa, car
menonton film bersama di ruang k
ra.
eh, matanya masih
rana pelan. "Kau... kau sudah melakuka
menoleh sepenuhnya ke ar
elewati ini semua," Kirana menatap mata Bara. "Ak
ku melakukan ini karena a
n Bara. "Tapi... aku merasa ada ya
lam-dalam. Ada ketegangan di antara mereka,
Bara mengakui, suaranya pelan. "Sejak dulu. Bahkan s
Bara membuat pipinya memanas. "Aku juga..
na dengan lembut. "Aku tidak ingin mengambil ke
Kirana menggelengkan kepalanya. "Kau... kau adal
n kemudian, bibir Bara menyentuh bibirnya. Ciuman itu lembut, penuh kehati-hatian, namun juga dipenuhi k
ara Mahendra. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, proses perceraiannya masih panjang, dan jalan di depannya masih berliku. Nam