n, bukan cerita
saat kamu masuk lebih dalam, kamu akan tahu, ini benar-benar
lam. Tentang cinta, keraguan, dan cara memah
o,' tapi juga merupakan cermin untuk lebih bersikap terbuka, penuh perh
erenung di setiap bab
*
belakang rumah, berbagi segelas kopi dan dua batang rokok kretek. Angin bertiup
batang pohon, lalu menatap R
atanya ringan. "Wajahnya cerah terus. Senyumnya itu
. "Mungkin karena kerja di t
dandan, toko mainan sama. Tapi istrimu memang beda. Cantikny
sekilas. "Kamu nak
Lagian bukan cuma aku yang bilang, semua orang juga bilang begitu, Jat. Kamu j
lit ditebak apakah ram
yang awalnya cuma kagum,
tangga dan sahabatmu walau usiaku jauh lebih tua. Masa iya aku mau ganggu rumah t
situ, Ndri. Kadang rumput tetang
mu, Jat. Hebat bisa dapat istri yang bahk
ketinggian memuji
berdiri. "Udahlah, Jat. Nanti
inggal puntung, tapi pikirannya belum habis terbakar. Kata-kata Andri baru
ja. Rijat tahu betul sifat Andri-pandai bicara, percaya diri, dan... menarik. Beberapa bula
na pernah kerja di pelabuhan. Sekarang kerja serabutan: ojek, bangunan, atau bertani
ah berpikir hal yang
h. Ia belum tahu apakah ini wajar, atau awal dari sesuatu yang tak bisa ia hentikan. Tapi ia sadar, akhir-a
i senja, dan
warung Bude Sus, mertuanya Andri. Tapi langkahnya terhenti di dekat pos ronda. Dari
tertawa. "Tapi aku yakin istrinya itu kurang puas. Lihat aja cara senyumnya
t itu penuh gelora. Cara dia megang tas, lirikan matanya-itu
beda? Hahaha..." Duduy terp
Bukan takut, tapi malu. Karena sebagian kata-kata mereka memang terasa seper
unya anak. Tapi ya, tahu sendiri si Rijat gimana. Istrinya penuh gairah dan se
Rijat minta bantuan kita buat...
Duy. Jangankan satu anak? Sepuluh kali j
a sesak. Ingin rasanya menerobos semak, memaki, memukuli mereka, tapi tubuhnya
n pos ronda, tapi lagi dan lagi bukti kebenaran yang nyata. Refleksi dari bun
urgensinya. Yang lebih mendesak adalah menjawab satu per
ta-kata Andri dan Duduy terngiang berulang-ulang di benaknya. Sepert
r. Di sana, Vina, istrinya, duduk santai di atas ranjang, ponsel di tangan, senyum-s
am. Ingin bertanya, "Sedang chat sama siapa?" Tapi lidahnya kelu
pelan, tapi sang istri tak menoleh. Jemarinya tetap si
at serak, "Boleh a
nci ponsel. "Apa, M
lalu mengusa
uduy, mereka sering gan
namanya juga lelaki. Kadang celetuk, go
Tapi kamu... ngga
angan diladenin, tapi juga jangan bikin m
ligus menusuk. Rijat memaksa
pa nanyanya aneh-an
Gak apa-apa. Cuma..
dan Duduy: godaan, tawa, bisikan tentang gairah istrinya. Ia menatap ponsel Vina-kosong
tapi di dalam dada masing‑masing masih bergolak: Rijat dibelit curiga dan malu; sementara V
belum juga dikaruniai anak. Di luar, gosip tetap beredar, katanya sa
t dari jauh. Rijat tahu siapa istri dan dirinya, dan Vina pun tahu siapa suaminya. Mereka saling me
awal dua puluhan-kulitnya bersih, gayanya anggun, dan tutur katanya lembut. Ia memang perempuan kota,
rah hidup. Vina hadir seperti bayangan indah yang sulit digapai. Vina
at jadi tempat tinggal mereka. Ayahnya kini tinggal bersama anak perempuannya di kota
ndangi istrinya dengan cara yang tak pantas. Tapi ia perc
luas, tanahnya subur, Vina pun punya kerja sampingan memabntu usaha Bude
h hidup dan berwarna, walau godaan justru semkin hebat. Semua dilakukan Vina dengan senang hati, t
Vina terlalu cantik untuk ukuran perempuan kampung, sementara Rijat terlalu sederhana untuk me
tanya: bagaimana bisa wanita secan
rdampingan. Tak pernah membalas cemooh, tak juga membanggakan diri. Karena mereka tahu, perbedaan
a mereka sadari, badai kecil mulai berdatangan. Tak dengan teriakan ata
yang suatu saat mu
*