atan yang asing memeluknya. Ia membuka mata perlahan, dan jantungnya serasa berhenti berdetak. Ia berada dalam pelukan seseorang. Arkan Stevanno Orlando. Lengan kek
ya, ia terlihat lebih damai, bahkan sedikit rapuh. Ingatan tentang apa yang terjadi semalam menyerbu benaknya, membuat pipinya memanas. Perasaan campur aduk antara jijik, malu, dan s
Arabella. Ia mengerutkan kening sejenak, seolah berusaha mengingat kejadian semalam. Kemudian, kesadaran penuh menghantamnya. Arkan segera melepaska
Arabella. Ada jeda hening yang canggung di antara mer
h kesunyian. Ia tidak menoleh ke arah Arabella. "Apa pun yang terjadi se
kannya pada kenyataan. Tentu saja, ini hanya transaksi. Tidak lebih. Ia mengangguk, meskip
ngangguk tipis. "
tinya. Tidak ada basa-basi, tidak ada pertanyaan pribadi. Hanya transaksi murni.
engetik, melakukan transfer. Arabella bisa mendengar suara ketukan keypad yang cepat. Beberapa detik kemudian,
kan di lantai-kemeja, celana panjang, dan pakaian dalamnya-dengan gerakan gesit dan rapi. Dalam sek
amar. Ia membuka pintu dan keluar, meninggalkannya begitu saja, sendirian di kam
elnya yang tergeletak di samping bantal. Notifikasi dari bank muncul di
.000.
luh jut
jumlah yang sangat besar. Lima puluh juta. Untuk satu malam. Otaknya berputar cepat. Dengan uang sebanyak ini, ia bisa membayar seb
a untuk pria ini, pria yang bahkan tidak meliriknya setelah semuanya selesai, pria yang hanya memandangnya sebagai
menatap pantulan dirinya. Matanya sedikit bengkak, sisa-sisa riasan semalam masih menempel di wajahnya. Ia menyalakan keran, membiarkan a
ya, lalu kembali ke kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia harus sege
memadukannya dengan heels hitam dan tas tangan kecil. Arabella tahu bagaimana memadukan penampilannya agar terlihat menarik, bahkan setelah malam yang panjang. Ia memole
ksi online, kini terjebak di tengah lautan mobil yang tak bergerak. Jarum jam terus berputar, dan ia tahu ia akan terlambat
ri taksi, bahkan sebelum taksi berhenti sempurna, dan berlari secepat kilat menuju gedung fakultas hukum. Napasnya terengah-eng
an materi. Mahasiswa-mahasiswi lain duduk rapi di kursi mereka, mencatat dengan saks
terbuka. Suara engsel yang berderit menarik perhatian seisitevanno
annya, lelaki yang memberinya lima puluh juta rupiah, kini berdiri di hadapan kelasnya sebagai dosen! Rambutnya yang tertata rapi, kemeja putihny
ia ada d
a. Ia merasa seperti sedang berada dalam mim
atan pengakuan, tidak ada emosi apa pun di matanya. Ia bahkan tidak menunjukkan sedikit pun tanda bahwa
an tegas, bergema di seluruh ruangan yang men
dan bingung bercampur aduk. Ia tidak bisa menerima ini. Diperlakuk
tertahan. "Tadi saya telat karena terjebak macet. Saya tidak sengaja." Ia b
. "Saya tidak peduli dengan alasanmu," katanya dengan nada dingin, suaranya menusuk. "Aturan adalah
. Ia hanya telat beberapa menit, dan ia adalah seorang wanita. Terl
han amarahnya lagi. Suaranya sedikit meninggi. "S
au mengikuti hukuman, atau nilai mata kuliahku akan berkurang?" Ancamannya jelas,
bisa terancam, dan mimpi kuliahnya akan pupus. Ia tidak punya pilihan lain. Harga dirinya kembali t
mendalam. Arkan balas menatapnya tanpa ekspresi, seolah ia hanya
langkah terasa berat, membawa beban penghinaan dan amarah yang membara. Ia tahu, hidupnya baru saja menjadi jauh lebih rumit, dan Arkan Stevanno Orlando adalah penyebab utamanya. Di bawah ter