tor stabil tapi lambat. Dokter
di antara isak. Tangannya me
n saturasi dalam 15 menit, kita bawa ke IC
nya. Dunia se
ambil aku aja... ambil nyawaku, jangan Gia...
dak jadi ruang pengadilan a
or berdetik seperti palu sida
ilnya. Matanya tak tertutup rapat, bola matanya setengah terbu
tu. Jemari Gia dingin, seperti
sepenuhnya sempat dibersihkan perawat. Kul
rin suara Mama, ya, sayang... Jangan t
Napasnya berat, dadan
s 90, kita harus bawa dia ke ICU, Bu," ucapnya pelan. Tegas tapi tak menggertak.
"Apa pun. Tolong. Apa pun. Sebungi suaminya. Menyampaikan
telpon. Suara laki-laki. Terlalu nyaring untuk situ
"Anak kita, Gia, lagi kritis
n bikin panik! Anak kita kuat, dia bi
okter bilang bisa masuk ICU, bisa pakai
eras. Terdengar suara perempuan te
nak kamu butuh kamu! Jangan pura-pu
ambung
mema
at seperti tertabrak. Ia ingin menjerit
yang ia hapal saat kecil, karena kini tak tahu l
, saturasinya turun ke 78. Kami
Mae harus melepaskan pelukannya. Tapi tangan Gia
a sadar... Dia takut ditingg
nggalin dia, Bu. Ta
observasi yang tadinya sunyi berubah menjadi
putrinya yang mungil, menuju pintu ICU... di
-
a, tapi karena ada banyak nyawa yang digantungkan di balik pintu-pintu sunyi.
jang dorong dengan selimut t
detak yang lambat dan berat. Dua perawat sigap menyambut, seorang dokter muda langsung
erindikasi infeksi paru berat. Duga pneumonia berat. Tindak lanjut antibiotik IV dan cek
tapi dia tahu tempatnya bukan lagi di sana. Ada kaca pembatas yang
r perlahan, keluar
u besi dekat ruang tunggu ICU. Masjid ke
ra air keran wudhu yang menetes dan azan dari ponsel oran
langka
seperti ustaz-ustaz yang ia dengar di YouTube. Hanya kal
Alla
semua bahagiaku, ambill
rja di tempat paling hina pun, aku mau. Tapi jang
ena rumah sakit basah, pipinya sem
h menit
i di dekat pintu masjid. M
B
uru-buru, me
ana,
nggi dan antibiotik, hasil lab awal me
plikasi jantungnya juga terpicu. Ini memang
seperti peluru tajam: komplikasi
biaya kecil. Saya paham ini berat, tapi kami butuh persetujuan untuk rawat inten
eperti menyorot satu titik: angka rupi
apa,
tar delapan sampai sepuluh juta
ar, ponsel dikeluarkan dari saku.
an ters
musik dan tawa ramai t
al
rop. Aku butuh uang buat rawat di
ekarang. Aku lag
t, Mas. Kamu bila
lebay, Mae. Udah
ut
ngan
el. Tangannya mengepal
i luar. Gia masih di dalam. Tubuh kecilnya
ICU itu bukan lagi s
ra cinta seorang ibu melaw
alam, lalu berkata p
u. Meski harus jadi ap
, ponselnya berdering.
an Gia? Kerjaan aku udah selesai. Aku m
muanya. Hanya gumaman pendek
ngosan. Ia menerobos pintu IGD, lalu lorong ICU, dan saat melihat Mae
" ser
hana. Tapi membuat tangi
dulu, ya. Mana suami
"Nggak ada yang datang. Mereka semu
panjang, lalu mend
gerin aku. Ada aku di sini. Ada
h Gia tertutup masker oksigen, dadanya naik turun pela
nya me
ekecil
ngkeram l
au minta tol
, Ma
aku ker
g. "Kerja? Kamu tahu
u di tempat itu.
u se
ajahnya hancur ta
unya modal lagi. Sekarang dokter bilang dia bisa butuh banyak uan
engan wajah anta
u kerja, G
kan memang nggak boleh ditunggui terus. Aku bisa datang siang. Aku kerja malam. Aku
a lagi, kali
gak sendirian. Jangan pik
gguk sambi
meski harus jadi apapu
ngan suara: suara tekad, suara doa, suara cinta paling liar dari seorang i
-