Mae langsung menggendong anak perempuannya yang baru berusia tujuh tahun itu. Tubuh Gia panas seperti setrika. Tangisnya menggigil, napasnya pendek-pendek.
"Mama, Gia takut..." bisik Gia pelan.
"Jangan takut, sayang. Jangan takut..."
Tangan Mae gemetar membuka dompet bututnya. Isinya: satu lembar dua ribuan, dua koin lima ratus. Ia mengedarkan pandang. Meja penuh sisa dagangan yang basi. Kulkas kosong, listrik tinggal berkedip merah.
Mae menggigit bibir. Lalu, dengan langkah tergesa, masih menggendong Gia, ia lari keluar rumah, menyusuri gang kecil gelap menuju rumah Bu Darmi, ibu mertuanya.
Rumah itu hanya berjarak dua puluh meter. Tapi saat Mae berlari, jarak itu terasa seperti kilometer.
Rumah dua lantai bercat kuning gading itu berdiri angkuh dengan pagar tinggi dan lampu taman yang masih menyala. Mae menendang-nendang gerbangnya.
"Ma! Ma! Ma! Bukain, Ma! Tolong! Ma!"
Tak lama kemudian, pagar dibuka oleh Yaya, adik iparnya. Rambutnya acak-acakan, masih pakai masker wajah, mata ngantuk.
"Eh, Gendut! Malam-malam ngapain?! Mau maling?!"
"Gia... Gia mimisan! Kayaknya dia kesakitan banget! Tolong... aku nggak ada uang...."
Bu Darmi muncul di balik tirai jendela lantai satu, membuka pintu sambil bersungut.
"Apa sih ini malam-malam teriak-teriak kayak kesurupan!"
"Gia sakit, Ma. Tolong, pinjam uang sebentar aja. Aku mau bawa dia ke IGD..."
Bu Darmi mendengus.
"Pinjam uang? Kamu kira kita mesin ATM? Lagian suami kamu mana?Bastian kamana?"
Mae menunduk. Nafasnya masih berat menahan tangis.
"Udah tiga hari nggak pulang, Ma..."
Yaya menyambar, "Wah! Suami nggak pulang, malah minta-minta di sini. Astaga. Coba intropeksi diri deh. Kamu tuh ngapain aja di rumah?! Dagang kagak laku, suami pergi, anak sakit, eh malah nyeret-nyeret anak tengah malam! Kasian banget tuh anak, punya emak nggak becus!"
Mae gemetar. Pipinya panas. Tapi Gia terus menggeliat dalam gendongannya.
"Aku cuma... mau pinjam sedikit aja, Ma. Buat bawa Gia ke dokter."
Bu Darmi nyalain rok*k.
"Udah, udah, gak usah drama. Nih rumah bukan tempat minta-minta. Besok aja, pagi-pagi, ke puskesmas. Ngapain juga jam segini ke rumah sakit? Kamu pikir kamj siapa?"
"Ma... tolong..."
"Udah pulang sana. Gua capek. Gua juga butuh tidur!"
Gerbang ditutup.
Draaakkk!
Mae terpaku. Tangisnya pecah, basah di pundak Gia. Ia peluk tubuh anaknya erat-erat.
Lalu, seperti robot, dengan sisa tenaga dan jemari gemetar, Mae mengeluarkan ponsel retaknya. Layar berkedip. Ia tekan satu nama.
ECI
"Hallo? Mae? Ada apa, sayang?"
"Ci... Gia... mimisan... badannya panas banget... aku nggak tahu harus gimana. Aku... aku nggak punya uang, Ci..."
Sunyi.
"Transferin aku, ya... berapa aja. Aku mau bawa dia ke rumah sakit. Tolong..."
Eci di ujung sana tercekat.
"Tenang, sayang. Aku kirim sekarang. Kamu kuat, ya. Gia juga... kuat."
Mae mengangguk sendiri dalam gelap, meski air matanya membanjir tanpa suara. Gia mengerang lemah.
Begitu sambungan telepon dari Eci terputus, Mae langsung bangkit dari duduknya. Gak sempat nangis. Gak sempat mikir. Gak sempat pakai alas kaki.
"Gia..." desahnya, separuh napas, separuh doa.
Dia buka pintu rumah. Angin malam menyambut seperti menampar. Rumahnya gelap, tapi Mae udah hafal arah.
Dia buru-buru masuk ke kamar. Tarik jaket lusuh warna coklat buat Gia. Kupluk usang yang udah buluk, diceplokin ke kepala anaknya.
Kain panjang, diselipin ke pinggang Gia, dililit kuat ke badannya sendiri. Buat pengaman.
Jilbab? Nggak diganti. Masih jilbab belel bau gorengan sisa dagangan pagi.
Dompet, berkas BPJS, surat keterangan disabilitas, semua dilempar asal ke dalam tas kain. Tangannya gemetaran.
Di luar, motor Astrea-nya ngambek. Bunyi klotak-klotak pas distarter. Mesin batuk, kayak males bangun. Mae jongkok di sampingnya, nyenderin kening di tangki.
"Ayo dong, tolong... Tolonglah, aku mohon, Gia harus ke rumah sakit... Malem ini... sekarang..."
Tangannya gemetar ngelus-ngelus bodi motor yang udah kebas debu. Gigi rontoknya Gia ngintip dari balik senyum lelah. "Mama... baca bismillah, Ma..."
"Bismillah... Bismillah..."
Dan seolah dengar doanya, mesin motor mendadak nyala. Mae langsung naik, kunci gas, dan melesat.
Jam 12 malam. Jalan sepi. Angin menusuk dada. Bibir itu selalu melamar doa. Tak mengapa sendirian pikirnya.
Di rumah sakit, rem motornya nyekit keras. Mae loncat turun. Gendong Gia yang udah mulai panas dan lemes. Keringat dingin membasahi keningnya. Kakinya nyeret masuk IGD.
"Maaf, Bu. Antrenya banyak."
"Anak saya demam tinggi, dia disabilitas, tolong duluan."
"Ya semua juga bilang gitu, Bu."
"Mas, ini anak Down Syndrome. Udah gak sadar."
Petugas cowok berdiri dari balik meja. "Ibu jangan emosi ya. Kita semua kerja sesuai prosedur."
"PROSEDUR APA? Anak saya panas 40 derajat!"
"Ibu bisa lapor ke bagian informasi kalau merasa keberatan."
"LAPOR? Sekarang? Anak saya bisa kejang di sini, Mas!"
Perawat cewek dateng, ngedumel. "Banyak yang sok darurat. Semua juga pingin dilayanin duluan."
Mae hampir meledak. Nafasnya udah di ubun-ubun. Tapi Gia mulai menggigil.
"Gia, tahan ya... tahan, Naak!"
Akhirnya seorang dokter jaga mendengar ribut-ribut itu, keluar dari ruangan, dan mendekat.
"Ada apa ini?"
"Dok, anak saya panas tinggi. Tolong periksa sekarang. Tolong."
Dokter itu ngelirik sekilas. Mungkin kasihan. Mungkin juga risih sama ribut-ributnya. Tapi dia manggil perawatnya.
"Masukin ke ruang observasi dulu. Ukur suhu, kasih oksigen. Cepat."
Perawatnya masih manyun, tapi ngelangkah juga.
Mae peluk Gia erat. Tangannya gemetar, matanya panas. Tapi dia gak nangis.
Perawat kaget, langsung lari mengambil kursi roda kecil. Mae hampir tidak bisa berdiri, tapi saat dua petugas membantu memindahkan Gia
dari pelukannya ke atas kursi roda, ia langsung ikut menggenggam tangan anaknya. Genggaman yang nyaris seperti pegangan antara hidup dan mati.
Ruang observasi itu kecil, tapi terang. Bau antiseptik menusuk. Dindingnya putih kusam, dan suara monitor detak jantung dari ruangan sebelah membentuk irama yang bikin sesak.
Gia diletakkan di atas ranjang, tabung oksigen langsung disambungkan, dan dua perawat sibuk mencatat suhu serta memasang sensor ke ujung jarinya.
Dokter berdiri di samping, menatap layar monitor sambil sesekali melirik wajah anak itu.
Wajah Gia... khas. Wajah malaikat yang Tuhan turunkan dengan kriteria-Nya sendiri.
Hidung kecil, mata sedikit sipit dengan kelopak atas yang lebih berat, telinga seperti daun perak, manis, unik, seperti anak dari negeri dongeng yang sedang singgah di dunia manusia. Wajah yang pasti akan diingat orang yang pernah menatapnya.
Mae berdiri terpaku di ujung ranjang, tangan menutup mulut. Baru sekarang air matanya jatuh.
"Gia... Gia tolong, sayang... jangan tidur... jangan tinggalin Mama..."
Dan di antara detik-detik hening, di bawah tabung oksigen dan mesin pemantau, mungkin, entah mimpi atau nyata, Gia bicara dalam hatinya.
"Mama... kenapa Mama nangis? Aku kan cuma ngantuk... tapi kok dingin banget di sini, ya? Di mana lampu pelangi yang biasanya Mama nyalain sebelum aku tidur?"
"Aku capek, Ma... tanganku dingin, badanku sakit... Tapi aku denger Mama tadi manggil-manggil aku. Maaf ya Ma, aku nggak bisa jawab... Bibir aku kaku. Tapi aku denger kok, Ma. Mama jangan nangis lagi."
"Mama, boleh nggak aku tidur sebentar aja? Tapi Mama janji ya... nanti bangunin aku lagi. Aku janji, habis ini aku nggak akan maksa naik motor lagi. Aku nggak akan marah-marah lagi kalo dilarang makan es. Aku janji dengerin kata Mama."
"Tapi sekarang, boleh aku peluk Mama di mimpi dulu?"
---