mar ayah tiba-tiba terbuka. Mama Vena muncul, dan
lnya yang semula tertutup jilbab kini terurai, menyingkap leher jenjang, bahu, da
mah syari yang tadi saat pertama datang. Sesaat, aku t
l mengambil nampan dari tanganku. Suaranya lembut, manja,
ku bisa merasakan hawa hangat dari kulitnya. Wangi parfumnya yang manis menus
ai, sambil meletakkan nampan dan gelas kotor di wastafel. Aku hanya bisa me
is, menatapku dengan sorot m
gini. Habis, gerah banget
n berlari menjauh, namun tubuhku sepertinya malah ingin lebih berl
mbantuku. Gerakannya tampak biasa, tapi sesekali tangannya
piring di tanganku, tapi semakin lama semakin sulit. Sesuatu di balik celana kolorku makin
ak menyimpan gelas basah di rak.
henti. Matanya terbelalak menatap selangkanganku
ada bara yang tak bisa padam. Dengan tergesa, kutaruh nampan dan langsung lari ke kamar. Pintu kut
kenapa b
ah... ujian apa lagi ini. Godaan ini bahkan lebih g
tubuhku masih bergetar oleh bayangan tadi. Demi menenangkan diri, aku segera berganti pa
pasku sedikit lega. Langkahku terasa lebih ri
enang. Ayah dan Mama Vena mungkin sudah tidur, sehingga aku bisa m
salah satu tempat kami nongkrong, kadang sambil mancing ikan kecil. Kami ngobrol ngalor ngidul seper
sama Tante Meta?" tanya
leng pelan. "Belum, gue... masi
a, kelebihan lu banyak banget. Wajah tampan, postur tinggi besar,
cangkang rokok ke ar
emua modal, tapi mentalnya belum kelihatan. Ingat, rasa takut cuma
, meski dengan gaya sok dewasa ya
kenal dunia dewasa sejak kelas satu SMA. Jadi percaya
an rahasia yang tak akan aku ceritakan saat ini. Aku punya ibu tiri yang justru jauh lebih gila
ta udah ketuaa
ubuhnya, suaranya men
atau gaya, bisa manfaatin binor atau tante-tante kesepian. Mereka tuh... kayak ATM berjalan. Prin
omong kayak gitu ent
bukan anak orang kaya. Tapi gue bisa kuliah? bisa hidup lebih dari cukup? Ya, salah sa
ku. Kata-katanya terdengar gila, tapi di wajah
ih sukses dari gue karena punya segalanyua buat modal. Gue yakin
akin me
omunitas. Di sana nggak ada yang kenal
unitas? Komunitas apaan?
Ada yang nyari kepuasan, cari duit, ada yang sekadar iseng. Di san
olo?" tan
os. Kalau mau tau dunia lebih luas, ikutlah sama gue, biar bisa kenalan sama tante-tante
. Ada sesuatu dalam cara bicaranya ya
. "Tenang, Bro. Semua awalnya juga canggung dan g
pnya dalam-dalam, lalu menatapku de
patnya biasa aja, kelihatan normal. Kita nongkrong bareng, ng
tanyaku ragu. "Emang di s
a. Jangan takut, kita nggak bakal saling usik, apalagi merendahkan.
anya, tapi justru itu yang
gak bakal ketahuan
g di kafe. Dari luar kelihatan normal, orang pa
masuk akal, tapi hatiku
adanya lebih rendah, seolah me
. Lu jadi penonton dulu, kalau cocok, kita ngobrol lagi.
ku merasa seperti sedang membuka banyak pintu rahasia yang menuju ke dunia
e, oke. Gue cabut dulu Ka, ada
ta Veron terus menggantung di kepala: "Anggep a
ampai malam gabung nongkron
*