Becky berada di kantor Rory selama kurang dari sepuluh detik. Melihatnya berjalan pergi, ekspresi di wajah Rory menjadi murung.
Dia kemudian meraih dokumen yang tergeletak di atas meja dan membukanya. Di satu sisi, Becky telah menandatangani namanya, sementara ruang lainnya dibiarkan kosong untuk ditandatangani olehnya.
Surat perjanjian perceraian itu terlihat sangat sederhana, hanya terdiri dari selembar kertas. Persyaratannya juga tertulis dengan sangat jelas—dia sama sekali tidak menginginkan properti apa pun atas namanya.
Setelah membaca surat perjanjian perceraian tersebut, Rory tidak bisa menahan tawanya. Wanita itu sama sekali tidak menginginkan satu sen pun dari propertinya. Dia bertanya-tanya dalam benaknya bagaimana Becky bisa begitu sombong.
"Mari kita lihat apakah kamu akan tetap melanjutkan perceraian ini besok," gumam Rory dengan nada sinis. Tanpa berpikir lebih banyak lagi, dia merobek dokumen itu hingga menjadi dua.
Ketika Lowell masuk, dia menemukan Rory sedang berdiri di depan jendela besar setinggi langit-langit sambil merokok. Dalam balutan setelan berwarna hitamnya, dia tampak sangat dingin dan tidak bisa didekati.
Lowell tiba-tiba kehilangan keberaniannya untuk berbicara. Tapi masalah ini terlalu penting untuk dibiarkan. Jadi, Lowell mau tak mau harus berbicara dengannya.
"Tuan Arsenio, rapatnya sudah dimulai."
Pria yang sedang berdiri di depan jendela itu kemudian menoleh dengan perlahan. Matanya yang dalam sedingin es, setajam belati, dan membuat tulang punggung Lowell merinding.
"Aku mengerti."
Sambil sedikit mengernyit, Rory mematikan rokoknya dan membuangnya ke tempat sampah. Kemudian, dia keluar dari ruangannya dan berjalan melewati Lowell seolah-olah dia tidak ada di sana.
Sudah jelas terlihat bahwa suasana hati Rory sedang buruk hari ini. Memikirkan rapat yang akan diikuti Rory, Lowell tiba-tiba merasa kasihan pada orang yang akan melakukan presentasi di rapat pertemuan itu.
Becky hanya membutuhkan waktu sekitar tujuh menit untuk masuk dan keluar dari gedung itu. Selama seluruh proses yang dijalaninya, dia tetap tenang. Dia sama sekali tidak merasakan satu inci pun rasa sakit atau perjuangan, semua ini tidak sulit seperti yang dia bayangkan.
Benar saja, karena semua kekecewaan yang sudah lama menumpuk di dalam hatinya, semua harapannya kini seketika pupus dan dia sama sekali tidak ingin berhubungan lagi dengan pria itu.
Ketika dia melangkah keluar dari gedung Crowbar Technologies, dia mengangkat kepalanya dan menatap pada langit yang mendung. Dia merasa sedikit sedih, tapi sekarang dia tidak lagi merasa tercekik.
Apa yang dikatakan oleh Jessie benar, dia harus menceraikan Rory sesegera mungkin.
Becky menarik napas dalam-dalam dan kemudian berjalan menuju ke mobil Jessie, lalu mengetuk jendelanya.
Jessie sedang menelepon ketika Becky berjalan mendekat. Dia langsung membukakan pintu segera setelah Becky mengetuk jendelanya.
Becky masuk ke dalam mobil dengan tenang dan tidak mengatakan apa pun agar tidak mengganggu panggilan telepon Jessie.
Segera setelah dia mengencangkan sabuk pengaman, dia kemudian mengangkat kepalanya dan mendapati Jessie sedang menyodorkan ponselnya padanya.
Becky lalu mengangkat alisnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Siapa itu?"
"Ayahmu."
Tubuh Becky seketika membeku setelah mendengarnya. Setelah berdiam diri selama sekitar dua detik, dia kemudian mengambil ponsel itu dari tangan Jessie dan menempelkannya di telinganya. "Ayah."
"Kamu sudah bermain-main selama tiga tahun terakhir ini. Bukankah kamu sudah harus pulang sekarang?"
Pada malam itu, ketika Rory memaksanya untuk berlutut, Becky tidak menangis. Dia bahkan juga tidak menangis ketika dia memberikannya surat perjanjian perceraian itu.
Namun sekarang, ketika ayahnya, Steve Ravindra, memintanya untuk kembali pulang, dia sama sekali tidak bisa menahan air matanya lebih lama lagi.
Tiga tahun yang lalu, ketika dia hendak menikahi Rory, semua orang yang ada di sekitarnya, termasuk orang tuanya, sangat menentang pernikahan itu. Saat itu, dia bersikap begitu impulsif dan keras kepala, dia sangat percaya bahwa Rory mempunyai perasaan terhadapnya karena dia juga bersedia untuk menikahinya.
Namun, dibutuhkan tiga tahun baginya untuk akhirnya bisa menyadari betapa salahnya dirinya sebenarnya. Ternyata, seorang pria bisa tetap menikahi seorang wanita yang tidak dicintainya.
Rory bisa menikahi wanita yang sangat mencintainya dan tidak membalas perasaan cinta itu demi wanita lain. Pria itu hanya menginginkan dirinya terlibat di dalam hubungan mereka yang sungguh berantakan.
Orang yang dicintai Rory adalah Berline. Konyol sekali, bukan? Dia jatuh cinta pada istri kakaknya.
Rory hanya menikahi Becky untuk menggunakannya sebagai sebuah kedok untuk menyembunyikan hubungan rahasia mereka.
Becky merasa sangat bodoh karena telah menentang seluruh dunia demi bisa bersama dengan pria seperti itu. Bahkan ayahnya, yang dari dulu selalu menyayangi Becky, mengatakan bahwa dia tidak akan mengakuinya sebagai putrinya jika dia tetap bersikeras untuk menikahi Rory.
Karena tidak dapat menahannya lebih lama lagi, Becky akhrinya meledak dalam tangis. Khawatir ayahnya akan mendengar suara tangisnya, dia berusaha untuk menahan isak tangisnya. Namun, bahunya tetap bergetar dengan menyedihkan dan air mata jatuh mengalir di pipinya dengan tak terkendali.
"Becky ...."
Hati Jessie terasa sangat sakit ketika melihatnya. Dia dan Becky sudah saling mengenal sejak kecil. Dia belum pernah melihat Becky, Nona Ravindra yang terhormat dan dimanjakan, menangis sampai seperti ini. Dan semua ini karena Rory si bajingan itu!