Sebuah tangan tiba-tiba mencekal tangan Xenia. Menyebabkan Xenia harus beringsut menghadapkan tubuhnya pada tangan yang telah menariknya. Xenia mengerutkan kening begitu tahu siapa yang telah menariknya.
"Aduh. Apa-apaan ini. Lepaskan aku, Juan!" kata Xenia.
"Lepaskan, lepaskan. Enak saja kalau bicara," kata pria yang mencengkram tangan Xenia.
Diketahui bila pria itu adalah teman baik dari Xenia Gentarini. Namanya adalah Juan Tigor. Panggil saja Juan. Sejak dulu Juan memang tidak suka dengan kelakuan Xenia yang sering seenaknya.
Namun apa boleh buat, Xenia juga adalah sahabatnya. Mana bisa dia membenci kelakukan sahabatnya sendiri.
"Juan! Sakit. Lepaskan aku," kata Xenia memohon.
Dia memberot dan minta untuk dilepaskan tangannya oleh Juan. Tidak kalah sengitnya, Juan masih menggenggam tangan Xenia dengan kuat. Hal itu membuat Xenia meronta dan merengek agar dilepaskan.
"Juan! Aku mohon. Aku mau belanja. Jangan ganggu aku," kata Xenia.
Tak lama kemudian, Xenia mencemberutkan mukanya. Setetes air mata bening jatuh dari sudut mata kirinya. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa itu adalah air mata buaya yang sering Xenia teteskan untuk merayu Juan.
"Aku mohon. Jangan halangi aku," kata Xenia memelas.
Juan langsung menengok ke arah sekitar. Dia merasa malu karena dilihat oleh banyak orang. Juan segera melepaskan genggaman tangannya. Xenia bisa bernapas lega sekarang.
Tanpa banyak bicara lagi, Xenia langsung membalikkan tubuhnya. Dia ngeloyor pergi begitu saja. Suara derap sepatu stilettonya terdengar menggema di ruangan.
Hal itu membuat Juan menggelengkan kepala. Dia memegangi kepalanya yang tidak sakit. Dia merasa malu karena kelakuan Xenia.
Jika bukan karena Xenia adalah temannya, mungkin Juan tidak akan mau menemani Xenia berbelanja. Juan merasa bodoh karena mau menerima ajakan Xenia untuk menemaninya berbelanja.
Xenia telah berada jauh di depan. Dia tampak asyik melihat-lihat deretan perhiasan di meja kaca. Tak lama kemudian, Xenia memanggil salah seorang pelayan. Terjadi cengkrama di antara mereka.
Merasa penasaran, Juan langsung berjalan mendekati Xenia. Juan beberapa kali melewati orang yang mendesuskan kelakuan Xenia. Mereka tampak kasak-kusuk membahas sikap Xenia yang tampak sok kaya.
Aduh. Ini anak bikin malu saja. Batin Juan.
Juan masih terus berjalan hingga akhirnya sampai di dekat Xenia. Juan memperhatikan wajah Xenia yang terlihat ceria. Matanya berbinar dengan cerah.
"Ada apa kamu melihatku seperti itu," kata Xenia galak.
"Buset. Galak banget," kata Juan.
Xenia hanya tersenyum miring begitu mendengar perkataan Juan. Dia merasa senang dan puas karena bisa menang dari Juan. Xenia seperti mendapatkan angin sekarang.
"Oh iya. Kalau sudah tidak mau menemani, kamu boleh pulang sekarang," kata Xenia seenaknya.
Juan langsung menepuk dahi Xenia dengan keras. Seketika itu juga Xenia langsung mengerang kesakitan.
"Nyuruh orang pulang seenak jidat. Tadi siapa yang suruh temani ke sini," kata Juan marah.
"Oh iya. Aku lupa kalau aku yang menyuruh kamu ke sini," kata Xenia sambil mengusap-usap dahinya yang ditepuk oleh Juan.
"Permisi, Nyonya. Ini barang yang Nyonya pesan," kata pelayan wanita.
Pelayan wanita itu datang sambil membawa sekotak perhiasan berwarna merah. Pelayan wanita tersebut langsung menyodorkan kotak merah kepada Xenia.
"Nyonya, nyonya. Saya masih muda. Umur saya masih dua puluh lima tahun. Panggil saya Nona," kata Xenia marah.
"Maaf, Nona," kata pelayan wanita tersebut.
Xenia langsung menerima kotak merah yang disodorkan oleh pelayan wanita tersebut. Xenia segera membuka kotak dan melihat isinya. Tak lama kemudian, Xenia langsung tersenyum puas.
"Saya bayar cash aja," kata Xenia.
"Baik, Nona. Silakan pergi ke kasir," kata pelayan wanita tersebut masih dengan sabar dan keramahan yang luar biasa.
Xenia langsung berjalan menuju ke kasir. Selang tak lama kemudian, kakinya terkilir. Dia hampir jatuh ke bawah, untung saja Juan segera menahan tangannya. Dia memegangi tubuh Xenia agar tidak terjungkal.
"Makanya kalau jalan hati-hati," kata Juan.
"Iya. Ini juga sudah hati-hati. Salah lantainya yang licin," kata Xenia.
Dia kemudian bergegas bangkit berdiri. Xenia menatap ke arah wajah Juan yang sedang menahan tawa sekaligus prihatin pada Xenia.
"Kamu yang salah kok lantainya yang disalahkan," kata Juan.
"Sudahlah. Jangan membantah," kata Xenia.
Xenia lalu mengalihkan pandangannya ke arah kasir. Pelayan wanita yang membawa kotak merah pesanannya sudah berada di sana.
"Kamu tunggu di sini. Nanti kita ke kafe bareng. Ada banyak yang mau aku omongin sama kamu," kata Xenia sambil menunjuk tepat ke arah muka Juan.
"Baiklah. Baiklah. Awas jatuh lagi. Jalannya pelan-pelan saja," kata Juan.
"It's okey!" balas Xenia.
Xenia langsung bergegas. Dia melangkahkan kaki menuju ke kasir. Dia langsung membayar semua harga yang ditawarkan oleh kasir secara tunai.
Xenia tidak merasa menyesal karena menghabiskan banyak uang. Dia malah terlihat puas sekali bisa membeli perhiasan sore ini. Xenia memperhatikan ke arah para pelayan yang tengah mengurusi pesanannya.
Kotak merah berisi perhiasan tersebut langsung dimasukkan ke dalam kantung belanja. Setelah itu, kantung belanja tersebut diberikan kepada Xenia. Xenia dengan senang hati menerimanya.
"Terima kasih sudah berbelanja di sini," kata pelayan kasir.
"Sama-sama," kata Xenia.
Xenia kemudian membalikkan badannya. Dia mencari sosok Juan. Namun tidak dia temukan. Rupanya Juan membandel. Dia tidak menunggu di tempat semula.
Melihat kejadian tersebut, Xenia langsung berdecak. Dia sebal karena Juan sekarang jadi seenaknya. Xenia memutuskan untuk mencari keberadaan Juan.
Setelah lama mencari, namun Xenia tidak jua menemukan Juan. Dia mengembuskan napas. Dia lalu merogoh dompet dan mendapati ponselnya.
Dia segera mengoperasikan ponselnya dan mencari nomor telepon Juan. Setelah ketemu, dia langsung memencetnya. Dia menempelkan ponsel ke telinganya. Terdengar nada sambung.
Xenia menunggu sampai nada sambung tersebut diangkat oleh Juan. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Juan memutus sambungan telepon tersebut.
Jangan ditanya lagi. Luar biasanya Xenia marah. Xenia kesal. Dia memaki dalam hati. Dia langsung pulang begitu saja. Dia menuruni lift dan bergegas keluar dari dalam mall.
Dalam hati dia keki sekali. Dia hanya belanja satu perhiasan. Padahal dia sudah menghabiskan waktu dua jam untuk berdandan meski dandanannya tidak heboh.
Bagi seorang Xenia, persiapan dan hasilnya tidak berjalan seimbang. Dia merasa kurang untuk berbelanja. Hasratnya masih belum terpuaskan. Namun moodnya berkata lain. Suasana pun tidak mendukung.
Xenia menatap ke arah langit. Langit sore kali ini sudah gelap. Sepertinya mendung. Xenia menghela napas. Dia berjalan menuju ke arah mobil dan segera masuk ke dalam. Dia berhenti sejenak di dalam mobil. Dia menghela napas panjang dan lalu melajukan mobilnya menuju ke arah kafe.