"Dam, kita udah sepakat. Kita bahkan sudah sering bahas hal ini. Kamu tau sendiri kalau apa yang aku lakukan ini semua karena memang tanggung jawab aku," balas Elena yang mencoba menekan amarahnya agar tidak meledak. Melawan Damar yang sedang marah dengan kemarahan tidak alam berujung baik.
"Sepakat apa? Aku setuju kamu kerja asal kenal waktu. Kamu sadar gak sih kesibukan kamu itu membuat kita makin berjarak? Sebenarnya apa yang kamu cari, Len? Uang? Aku bisa kasih."
Elena menggeleng pelan. Bukan. Bukan itu alasan Elena bekerja saat ini. Ia hanya ingin hidup mandiri tanpa bergantung pada siapapun.
"Kalau kita nikah kamu gak perlu sibuk kayak gini. Apa pun yang kamu minta akan aku kasih. Aku punya banyak uang kalau kamu lupa. Kamu tinggal bilang dan aku akan kasih dengan sukarela. Kamu pernah pikirin itu gak, sih?" tanya Damar dengan emosi yang sudah meluap.
"Dam. Jangan kayak gini. Aku tau kamu kesal. Aku minta maaf. Tapi jangan merembet kemana-mana gini."
"Ini bukan masalah maaf, Len. Aku sedang bertanya apa yang kamu kejar sampai kerja kayak gini. Kamu tinggal bilang kamu mau apa. Kamu tinggal jadi istriku dan duduk dengan manis, semua yang kamu inginkan bisa aku kasih," lanjut Damar kembali meluapkan kekesalannya.
"Kamu hanya cukup jawab iya. Sekarang aku tanya. Semua akan mudah kalau kamu gak mempersulitnya dengan menggantungkan hubungan kita. Bahkan sampai saat ini lamarku pun belum kamu jawab, Len. Aku butuh kepastian, Len. Bunda bahkan sudah gak sabar supaya kita cepat menikah. Tetapi apa? Kamu sampai saat ini bahkan belum memperkenalkan aku pada keluargamu. Kamu anggap aku apa? Kamu anggap hubungan kita apa?"
Elena menelan salivanya susah payah. Damar lagi-lagi membahas masalah itu. Masalahnya sampai saat ini Elena belum bisa menjawab lamaran Damar.
"Kenapa kamu diam? Jangan bilang memang kamu gak mau jawab? Atau... ada pria lain yang kamu sukai?" tuduh Damar karena sedari tadi Elena memilih bungkam.
"Gak seperti itu. Aku hanya... belum siap," balas Elena dengan nada pelan di akhir kalimat. Sejujurnya ia bukan tidak mau. Hanya saja ia merasa belum begitu yakin untuk menikah. Ia belum begitu yakin bisa menjalani pernikahan saat ini.
Kekehan mengejek terdengar di telinga Elena. Pasti Damar saat ini tengah mencemooh jawabannya. "Belum siap? Butuh berapa tahun lagi hubungan kita supaya kamu siap?" tanya pria itu dengan nada dingin.
"Jujur sama aku. Apa yang buat kamu gak siap menikah denganku?" tanya Damar dengan nada mengintinidasi. Membuat Elena takut karena masalahnya ada di dalam dirinya sendiri. Maaf, Dam. Aku gak bisa bilang. Aku malu. Aku juga takut kalau kamu tahu hal ini akan buat kamu pergi tinggalkan aku.
"Kasih aku waktu," pinta Elena akhirnya.
"Waktu? Berapa lama lagi? Berapa tahun lagi? Kadang aku penasaran, sebenarnya kamu cinta gak sih sama aku?" tanya Damar dengan tatapan menyelidik yang membuat bibir Elena kembali mengatup.
Sebelah bibir Damar tampak naik. Pria itu tampaknya tidak suka dengan pembicaraan mereka kali ini. "Aku kasih kamu waktu untuk merenungkan hubungan kita. Coba kamu pikirkan mau dibawa kemana hubungan ini. Apa kurangnya aku sampai kamu gak yakin untuk jalani hubungan ke jenjang selanjutnya sama aku." Kalimat terakhir yang diucapkan Damar seakan menjadi penutup pertengkaran mereka malam itu. Karena sesudahnya, pria itu menutup panggilannya.
"Berengsek!" umpat Damar sambil melempar ponselnya untuk melampiaskan kekesalannya kepada Elena. Di saat yang bersamaan, seorang wanita masuk ke dalam kamar yang Damar tempati. Mata mereka bertemu dan wanita itu melemparkan senyuman kepadanya.
"Kenapa? Udah gak tahan, yah?" tanyanya dengan nada menggoda.
"Sabar, yah. Aku mandi dulu. Biar nanti enak mainnya," lanjut wanita itu sambil melenggang genit melewati Damar.
Merasa tengah membutuhkan pelampiasan akan kekesalannya, Damar pun langsung mencekal pergelangan tangan Janeta. Tanpa banyak kata pria itu langsung menyerang sang wanita dan menjatuhkannya di atas ranjang. "Gak perlu. Toh, nanti juga lo keringetan lagi," ucapnya sebelum melumat habis bibir Janeta dan menghabiskan malam bersama dengan wanita itu seperti malam-malam sebelumnya.
Entah sudah berapa lama waktu yang mereka habiskan untuk saling memuaskan. Hingga akhirnya tubuh keduanya terlepas dengan peluh yang sudah membanjiri tubuh.
Tuhuh Damar berguling ke samping Janeta. Pria itu menutup mata menggunakan lengannya. Mencoba mengatur napasnya yang masih terengah.
Tidak jauh berbeda dengannya, Janeta yang berbaring di samping Damar tampak kelelahan dengan napas yang memburu. Wanita itu menatap Damar dalam. "Ada masalah lagi? Lo gak capek berantem terus?" tanya wanita itu. Sebenarnya Janeta sempat mendengar yang marah kepada kekasihnya sebelum Janeta masuk ke dalam kamar dan benar saja, begitu masuk ke dalam kamar Janeta menemukan Damar yang tampak emosi.
"Kalau udah gak bahagia ngapain masih lo lanjutin sih hubungan kalian? Mending putusin aja," lanjut Janeta karena Damar tidak merespon ocehannya.
Damar yang menatap Janeta sinis. Pria itu tidak suka mendengar ocehan dari Janeta. "Lo kalau gak tau apa-apa mending diem. Gue cinta sama pacar gue. Gue juga gak akan putusin dia."
Janeta berdecak. Wanita itu memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Damar. "Percuma cinta kalau lo gak bahagia. Buktinya, lo jadi lebih sering hubungi gue buat bikin lo seneng, kan?"
Damar menatap Janeta tajam, ia tersenyum sinis ke arah wanita itu. "Jangan pernah sekalipun lo bandingin diri lo sama pacar gue. Dia wanita baik-baik yang bakalan gue nikahin. Sementara lo, lo itu cuma cewek yang gue temui kalau gue butuh," ucap Damar membuat Janeta kesal.
"Oh, yah? Lo yakin dia masih mau nikah sama lo kalau tau kelakuan lo di belakang dia kayak gini?" tanya Janeta sambil menaikkan ujung bibirnya mengejek Damar.
"Gue peringati lo. Supaya jangan melewati batas. Hubungan lo sama gue cuma sebatas senang-senang aja sesuai omongan lo di awal. Dan hubungan kita ini gak akan diketahui sama pacar gue. Dia gak boleh tau," ucap Damar penuh penekanan kepada Janeta sebelum akhirnya pria itu meninggalkan Janeta.
***
Jantung Elena berdegup kencang kala mendapati ruang tamu rumahnya tampak terang. Kaki wanita itu mendadak kau begitu memasuki pekarangan rumahnya. Seingatnya malam ini ia seharusnya sendirian. Elang, adiknya mengatakan akan menginap dan juga... tidak biasanya pria itu menyalakan lampu ruang tamu seperti ini.
Dengan memberanikan diri, Elena mencoba menghubungi Elang, tetapi panggilannya tidak juga dijawab oleh pria itu. Dengan perasaan tidak tenang, Elena mencoba berpikir dan menimbang-nimbang akan masuk ke dalam rumah atau tidak mengingat malam sudah sangat larut.
Merasa tidak ada pilihan lain, dengan keberanian yang tersisa, Elena memaksa kakinya untuk berjalan menuju pintu. Sambil menguatkan hati ia membuka pintu rumahnya, berharap jika mungkin saja Elang ada di rumah dan menunggunya di sana.
Perasaan Elena makin tidak karuan ketika mendapati seseorang tengah berada di dalam rumahnya itu menatapnya tajam. Membuat jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya malam itu.