Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Dikejar Jodoh
Dikejar Jodoh

Dikejar Jodoh

5.0
21 Bab
16 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Di usianya yang sudah matang, Elena mulai diteror oleh sang Bunda tentang pernikahan membuat wanita itu akhirnya memantapkan hati untuk menerima pinangan dari sang kekasih. Namun, di saat ia sudah memutuskan untuk menikah, ia justru menemukan perselingkuhan kekasihnya dengan wanita lain. Kejadian ini tentu saja membuat Elena trauma untuk jatuh cinta. Berniat untuk berhenti berurusan dengan cinta, Elena justru dipertemukan lagi dengan Rasky, pria yang sangat ia benci. Lebih parahnya lagi, kali ini Elena tidak bisa menghindar dari pria yang terus saja menempel dengannya dan menebarkan pesonanya untuk merebut hati Elena. Sikap Rasky yang terus maju tanpa kenal mundur akhirnya menimbulkan getaran di hati Elena. Pertahanan Elena mulai goyah dengan sikap manis pria itu dan keberadaannya di saat Elena berada dalam posisi terpuruk tentu saja membuat ia akhirnya menerima cinta pria itu. Rasky yang pada akhirnya berhasil mengambil hati Elena begitu bahagia, seakan lupa jika hubungan yang dimulai sebelum Elena selesai dengan dirinya sendiri tentu tidak akan berjalan mudah. Apalagi secara tiba-tiba Elena meminta mereka berpisah di saat ia sedang sayang-sayangnya. Kalau sudah begini, apakah Rasky akan menyerah? Terlebih ketika ia tahu ada rahasia besar yang selama ini Elena simpan rapat-rapat tentang dirinya dan masa lalu wanita itu. Jika sudah begini apakah Rasky akan mundur atau tetap mencintai Elena tanpa ampun? Dan bagaimana dengan Elena? Apakah ia akan tetap pada pendiriannya untuk tidak lagi mau jatuh cinta atau justru goyah karena Rasky ternyata lebih dari yang ia duga?

Bab 1 Sebuah Fakta

Suasana terasa panas di ruang kerja Elena. Malam itu ia kembali harus bertengkar dengan Damar, sang kekasih. Lagi-lagi masalah tentang Elena yang ketahuan bekerja hingga larut malam. Namun, dibandingkan pertengkaran sebelumnya, pertengkaran kali ini jauh lebih panas dibanding sebelumnya.

"Apa sih yang kamu kejar dengan kerja sampai larut malam gini? Kasih tau aku supaya aku paham apa yang kamu mau. Berapa kali aku bilang untuk kamu gak terlalu hectic ke kerjaan?" ucap Damar dengan wajah memerah.

"Dam, kita udah sepakat. Kita bahkan sudah sering bahas hal ini. Kamu tau sendiri kalau apa yang aku lakukan ini semua karena memang tanggung jawab aku," balas Elena yang mencoba menekan amarahnya agar tidak meledak. Melawan Damar yang sedang marah dengan kemarahan tidak alam berujung baik.

"Sepakat apa? Aku setuju kamu kerja asal kenal waktu. Kamu sadar gak sih kesibukan kamu itu membuat kita makin berjarak? Sebenarnya apa yang kamu cari, Len? Uang? Aku bisa kasih."

Elena menggeleng pelan. Bukan. Bukan itu alasan Elena bekerja saat ini. Ia hanya ingin hidup mandiri tanpa bergantung pada siapapun.

"Kalau kita nikah kamu gak perlu sibuk kayak gini. Apa pun yang kamu minta akan aku kasih. Aku punya banyak uang kalau kamu lupa. Kamu tinggal bilang dan aku akan kasih dengan sukarela. Kamu pernah pikirin itu gak, sih?" tanya Damar dengan emosi yang sudah meluap.

"Dam. Jangan kayak gini. Aku tau kamu kesal. Aku minta maaf. Tapi jangan merembet kemana-mana gini."

"Ini bukan masalah maaf, Len. Aku sedang bertanya apa yang kamu kejar sampai kerja kayak gini. Kamu tinggal bilang kamu mau apa. Kamu tinggal jadi istriku dan duduk dengan manis, semua yang kamu inginkan bisa aku kasih," lanjut Damar kembali meluapkan kekesalannya.

"Kamu hanya cukup jawab iya. Sekarang aku tanya. Semua akan mudah kalau kamu gak mempersulitnya dengan menggantungkan hubungan kita. Bahkan sampai saat ini lamarku pun belum kamu jawab, Len. Aku butuh kepastian, Len. Bunda bahkan sudah gak sabar supaya kita cepat menikah. Tetapi apa? Kamu sampai saat ini bahkan belum memperkenalkan aku pada keluargamu. Kamu anggap aku apa? Kamu anggap hubungan kita apa?"

Elena menelan salivanya susah payah. Damar lagi-lagi membahas masalah itu. Masalahnya sampai saat ini Elena belum bisa menjawab lamaran Damar.

"Kenapa kamu diam? Jangan bilang memang kamu gak mau jawab? Atau... ada pria lain yang kamu sukai?" tuduh Damar karena sedari tadi Elena memilih bungkam.

"Gak seperti itu. Aku hanya... belum siap," balas Elena dengan nada pelan di akhir kalimat. Sejujurnya ia bukan tidak mau. Hanya saja ia merasa belum begitu yakin untuk menikah. Ia belum begitu yakin bisa menjalani pernikahan saat ini.

Kekehan mengejek terdengar di telinga Elena. Pasti Damar saat ini tengah mencemooh jawabannya. "Belum siap? Butuh berapa tahun lagi hubungan kita supaya kamu siap?" tanya pria itu dengan nada dingin.

"Jujur sama aku. Apa yang buat kamu gak siap menikah denganku?" tanya Damar dengan nada mengintinidasi. Membuat Elena takut karena masalahnya ada di dalam dirinya sendiri. Maaf, Dam. Aku gak bisa bilang. Aku malu. Aku juga takut kalau kamu tahu hal ini akan buat kamu pergi tinggalkan aku.

"Kasih aku waktu," pinta Elena akhirnya.

"Waktu? Berapa lama lagi? Berapa tahun lagi? Kadang aku penasaran, sebenarnya kamu cinta gak sih sama aku?" tanya Damar dengan tatapan menyelidik yang membuat bibir Elena kembali mengatup.

Sebelah bibir Damar tampak naik. Pria itu tampaknya tidak suka dengan pembicaraan mereka kali ini. "Aku kasih kamu waktu untuk merenungkan hubungan kita. Coba kamu pikirkan mau dibawa kemana hubungan ini. Apa kurangnya aku sampai kamu gak yakin untuk jalani hubungan ke jenjang selanjutnya sama aku." Kalimat terakhir yang diucapkan Damar seakan menjadi penutup pertengkaran mereka malam itu. Karena sesudahnya, pria itu menutup panggilannya.

"Berengsek!" umpat Damar sambil melempar ponselnya untuk melampiaskan kekesalannya kepada Elena. Di saat yang bersamaan, seorang wanita masuk ke dalam kamar yang Damar tempati. Mata mereka bertemu dan wanita itu melemparkan senyuman kepadanya.

“Kenapa? Udah gak tahan, yah?” tanyanya dengan nada menggoda.

“Sabar, yah. Aku mandi dulu. Biar nanti enak mainnya,” lanjut wanita itu sambil melenggang genit melewati Damar.

Merasa tengah membutuhkan pelampiasan akan kekesalannya, Damar pun langsung mencekal pergelangan tangan Janeta. Tanpa banyak kata pria itu langsung menyerang sang wanita dan menjatuhkannya di atas ranjang. “Gak perlu. Toh, nanti juga lo keringetan lagi,” ucapnya sebelum melumat habis bibir Janeta dan menghabiskan malam bersama dengan wanita itu seperti malam-malam sebelumnya.

***

Elena terlonjak kaget begitu menemukan sang Bunda tengah duduk di kursi tamu menyambut kepulangannya malam itu.

“Loh? Kok, Bunda ada di rumah?” tanyanya dengan nada suara yang berusaha ia buat senormal mungkin di antara degup jantungnya yang terasa memburu.

“Kenapa? Bunda gak boleh ada di rumah?”

“Ga-gak gitu, Bun. Aku cuma kaget aja. Bukannya Bunda biasanya pulang setiap akhir pekan?” Elena menghampiri wanita yang ia panggil dengan sebutan Bunda itu. Mengambil tangannya dan mencium punggung tangan wanita itu.

“Bunda tadi ada meeting di sini. Besok juga Bunda bakalan kembali lagi ke Bandung.” Elena menganggukkan kepalanya. Bunda memang bekerja di luar kota. Biasanya wanita itu pulang ke rumah di sabtu pagi.

“Kamu sudah makan, Len?” tanya Bunda lagi sambil beranjak dari sofa yang ia duduki.

“Pasti belum. Kamu tuh kok yah kebiasaan jelek dipelihara terus, Len. Sudah tahu punya penyakit lambung. Masih aja rapel makan malam jadi sarapan, makan siang jadi makan malam. Memang kamu sepertinya harus punya alarm hidup yang ingetin kamu supaya gak telat makan.” Elena menghela napas. Ia bergerak mengikuti sang Bunda. Memeluk wanita yang tengah menyiapkan makan malam untuk Elena itu dari belakang.

“Bunda… aku udah gede, loh. Kalau lap-“

“Kalau tahu sudah gede gak perlu Bunda ingatkan terus dong, Len. Ini kalian berdua sama aja. Mentang-mentang Bunda gak tinggal bareng kalian jadi suka seenaknya. Yang satu suka pulang malam. Yang satu suka gak pulang. Kalian ini-“

Satu kecupan Elena berikan di pipi sang Bunda. Ia paham Ibunya ini akan terus menceramahinya. Bunda sama seperti ibu-ibu lain yang akan terus berbicara untuk menutupi rasa khawatirnya. Yah, se-tua apapun ia, tetap saja bagi Bunda Elena dan Elang adalah bocah yang masih harus Bunda pantau dan ingatkan.

“Aku makan yah, Bun.” Elena mengambil piring yang sudah terisi nasi dan lauk untuk ia bawa ke meja makan.

Bunda menatap Elena sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia bersyukur karena kedua anaknya tidak pernah membantah apa yang ia katakan walaupun mungkin ada nada protes yang mengisi kepala mereka, keduanya akan tetap mendengarkannya. Yah… walaupun jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan mereka, biasanya keduanya akan mencari waktu yang tepat untuk membahasnya dengan Bunda.

“Len, kamu gak ada niat untuk menikah?” tanya Bunda sambil menatap Elena lekat.

Elena yang awalnya tengah makan dengan nikmat, seketika merasa jika makanan yang ia telan kali ini terasa hambar. Dirinya bahkan dengan susah payah menelan makanannya begitu mendengar pertanyaan Bunda.

“Kamu memang tidak ingin berumah tangga? Usia kamu sudah cukup matang, Len,” tambah Bunda karena Elena memilih diam sejak ia membuka masalah mengenai pernikahan.

“Usia kan gak menjadi jaminan untuk orang berumah tangga, Bun,” jawab Elena. Tangannya meraih gelas dan menenggak isinya untuk sejenak menetralkan suasana hatinya karena pembahasan yang akan mereka bicarakan malam ini.

“Yah, Bunda tahu, cuma… Bunda takut kamu kesepian.” Elena sempat terkekeh mendengar ucapan Bunda yang sarat akan kekhawatiran itu. Ia yakin bukan itu yang Bunda khawatirkan.

“Gak, lah. Aku kan punya Bunda. Punya Elang. Aku gak mungkin kesepian.”

“Kamu tahu bukan itu maksud Bunda, Len.” Bunda menatap Elena dengan serius.

Felicia sebenarnya sudah lama ingin membahas ini dengan Elena. Namun, ia menahannya. Mencoba percaya jika akan ada saatnya Elena datang padanya mengenalkan seorang pria yang nantinya akan berstatus sebagai calon suami dari Elena.

“Bunda gak akan terus menemani kamu. Begitu pun Elang. Yang Bunda maksud suami, Len. Kapan kamu akan memperkenalkan calon suami kamu sama Bunda?”

"Aku... sepertinya belum siap untuk menikah, Bun," jawab Elena dengan ekspresi tenang yang coba ia tunjukkan di saat hatinya sedang bingung untuk merespon pertanyaan sang Bunda. Karena sesungguhnya, ia tidak ingin menambah kekhawatiran Bunda.

"Kamu sudah mau kepala tiga, Len, apa yang bikin kamu gak siap?" Bunda memang bertanya dengan nada lembut tanpa intimidasi. Tetapi pertanyaan yang Bunda lontarkan bukanlah sesuatu yang siap Elena jawab. Hal ini sangat sensitif untuk dibahas oleh keduanya.

"Kamu sudah dewasa, Len. Karir kamu pun sudah berada di posisi bagus. Lalu apa lagi yang kamu kejar?" tanya Felicia sembari menatap Elena dengan tatapan sendu. Ia sebenarnya tahu apa yang menyebabkan Elena belum tertarik dengan pernikahan. Hanya saja, ia ingin mendengar itu dari bibir Elena.

Elena menelan salivanya susah payah. Di hadapannya kini, Bunda sedang menunggu jawaban dari dirinya. Ia berada di posisi sulit. Jika ia jujur, Bunda pasti terluka. Tetapi jika ia berbohong, ia yang akan mendapatkan masalah karena dihantui rasa bersalah.

"Apa karena pernikahan Bunda yang gagal?" Elena yang bungkam seperti ini, tidak akan mau bicara sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Elena memang seperti itu. Mengunci mulut dan menyimpan semuanya sendirian.

Elena hanya bisa menghela napas panjang. Ia masih diam di tempat tanpa mau menjawab pertanyaan Felicia. Membahas pernikahan, bagi Elena layaknya membahas masa depan yang entah akan berakhir seperti apa. Layaknya menjalani suatu perjalanan dengan seseorang yang bahkan tidak kita tahu ke mana arahnya. Tentang bagaimana belajar mempercayai seseorang sementara diri sendiri tidak pernah bisa menaruh kepercayaan pada siapapun.

"Len. Pernikahan Bunda dengan orang itu memang gagal. Tetapi gak dengan kamu. Kamu berbeda dengan Bunda. Kamu gak akan bernasib sama seperti Bunda." Felicia sudah menduga hal ini sedari lama.

Felicia tahu jika luka yang ia dan ayah Elena torehkan pada wanita itu sangat dalam. Terlebih itu terjadi di saat Elena masih kecil. Tidak menutup kemungkinan Elena trauma akan pernikahan jika ia melihat dengan mata dan kepalanya sendiri bagaimana seorang pria yang menjadi cinta pertama Elena dengan mudahnya mencurangi keluarganya sendiri. Memilih orang asing dibanding dirinya dan sang Bunda.

"Len. Bunda meminta kamu menikah bukan semata-mata hanya menuntut. Kamu tau itu kan?" tanya Bunda sambil meraih tangan Elena. Mengusapnya penuh kasih sayang.

"Kamu mau sampai kapan terus mengalah untuk keluarga ini? Kamu harus punya masa depan, Len. Kamu harus bangun masa depanmu dengan keluargamu sendiri." Jujur, Felicia takut jika Elena memutuskan untuk terus sendiri hingga tua dan kesepian pada akhirnya.

"Elena. Bunda gak pernah meminta apapun dari kamu. Kali ini aja, Len. Tolong kamu penuhi keinginan Bunda." Felicia menatap Elena dengan mata berkaca-kaca.

Elena buru-buru bangun dari duduk. Menghampiri sang Bunda dan memeluknya erat. Elena dan Felicia merasakan lukanya. Perasaan sakit yang mereka pendam selama bertahun-tahun. Perih yang tidak bisa digambarkan dengan kata, hingga mereka memilih mengubur semua kenangan yang dulu terasa sangat indah untuk mereka berdua, demi menjaga kewarasan tetap pada tempatnya.

Di dalam pelukan sang Bunda, Elena kemudian mengingat sinyal-sinyal yang coba Damar kirimkan padanya jika pria itu ingin hubungan mereka masuk ke tahap yang lebih serius. Elena bukan tidak membaca kode itu. Hanya saja ia belum… yakin?

Seharusnya sinyal-sinyal itu ia yang mengirimkan sebagai wanita. Seharusnya ia pula akan menerima sinyal itu dengan bahagia seperti wanita lain yang akan bahagia begitu kekasih yang lama ia pacari mengirimkan kode untuk segera menikah. Tetapi Elena… justru merasa bimbang dan menghindar.

Elena sekali lagi menghembuskan napas panjang. Berharap melalui udara yang masuk ke dalam paru-parunya, beban yang ia rasakan sedikit terangkat.

Apa ini saatnya gue terima ajakan Damar buat menikah?

***

Elena berusaha bekerja secepat mungkin agar bisa cepat-cepat pulang dan menyiapkan kejutan untuk sang kekasih yang hari itu kembali dari luar kota. Wanita itu bahkan menyempatkan diri membeli beberapa makanan untuk ia persiapkan di apartemen Damar. Karena selama ini Damarlah yang biasanya sibuk memberikan kejutan untuknya. Biasanya Damar yang memasakan makanan untuknya ketika mereka kencan, tetapi kali ini, biar Elena yang akan melakukannya.

Hari itu ia berniat menjawab pertanyaan Damar yang selama ini ia gantungkan. Pertanyaan tentang kesiapannya untuk hubungan mereka yang akan melangkah ke jenjang yang lebih serius. Malam itu ia akan menjawab kesediaannya. Elena sudah memantapkan hatinya semenjak semalam, semenjak pembicaraan antara dirinya dengan sang Bunda.

Langkah Elena mendadak gugup ketika mulai berhadapan dengan pintu apartemen pria yang telah menjadi kekasihnya itu. Jujur, ia tidak pernah datang sendirian ke apartemen Damar meskipun tahu kode akses untuk masuk ke apartemen kekasihnya.

Elena sempat mengehembuskan napas panjang guna menetralkan rasa groginya. Hari ini ia akan memantapkan hatinya untuk menerima permintaan Damar untuk menikah dengan pria itu. Walaupun masih ada sebersit rasa tidak yakin, tetapi ia akan mencoba, demi sang Bunda.

Elena berhasil masuk ke dalam apartemen Damar. Namun, langkahnya terhenti begitu melihat sesuatu yang terlihat janggal. Ia melihat ada sepasang sepatu wanita di depan pintu yang terlihat berserakan, seakan si pemilik terburu-buru melepasnya. Sepatu berhak tinggi berwarna merah itu membuat Elena berpikir. Seingatnya, Damar tidak memiliki adik perempuan. Atau... apa mungkin itu sepatu Ibu Damar? Tetapi dilihat dari bentuknya, Elena tidak yakin itu sepatu seorang wanita yang berusia lima puluh tahunan.

Elena mencoba menenangkan hatinya, ia berjalan semakin dalam memasuki apartemen Damar. Menyimpan kue dan beberapa barang yang dibelinya untuk menyiapkan kejutan bagi sang kekasih di pantry.

Saat langkahnya semakin masuk ke dalam, sebuah suara asing menyapa telinga Elena. Suara seorang pria yang ia yakini adalah suara Damar.

Untuk memastikannya, Elena mencoba menguatkan dirinya. Ia berjalan perlahan menuju asal suara dengan perasaan berdebar yang tidak biasa. Suara itu makin kencang terdengar ketika dirinya semakin mendekat ke arah kamar sang kekasih. Suara itu... terdengar tidak asing di telinganya. Terdengar seperti rintihan, tetapi juga ada decapan di sela rintihan itu.

Elena menelan salivanya dengan susah payah. Ia berusaha untuk tetap kuat berdiri, walaupun saat ini kakinya sudah gemetar. Dengan perlahan ia mendorong pintu kamar Damar yang tidak tertutup sempurna. Mata Elena membola. Degup jantung Elena berdetak lebih kencang. Wanita itu merasakan sesak ketika menyaksikan apa yang ada di depannya. Sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tidak. Ini… gak mungkin terjadi kan?

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY