/0/21233/coverbig.jpg?v=699e8b4b0e456f9ed95cdbd8908e68b3)
Demi membalas dendam keluarganya, Gabriel Alaric memaksa Aveline Harper untuk menikah dengannya. Aveline, seorang gadis polos berusia 21 tahun, terjebak dalam permainan Gabriel yang penuh kebencian. Gabriel tidak pernah menganggap Aveline sebagai seorang istri, melainkan sebagai alat untuk menghancurkan ayahnya, Leonard Harper, seorang pria yang telah menghancurkan hidup Gabriel bertahun-tahun yang lalu. Namun, di balik kemarahan dan kebencian Gabriel, ada rahasia kelam yang terus menghantuinya. Sementara itu, Aveline yang awalnya hanya ingin bertahan, mulai mencari cara untuk memahami luka di balik kekejaman suaminya. Akankah Gabriel mampu melepaskan balas dendamnya? Atau justru perasaan cinta yang tak terduga akan menyatukan mereka?
Aveline berdiri dengan tubuh gemetar di depan altar. Gaun pengantin putih yang seharusnya melambangkan kebahagiaan malah terasa seperti penjara baginya. Di sebelahnya, Gabriel Alaric berdiri dengan tatapan dingin, tanpa sedikit pun senyuman di wajahnya. Lelaki itu tampak sempurna dengan setelan jas hitam yang pas di tubuh tegapnya, tetapi dinginnya tatapan mata birunya cukup untuk membuat siapa pun merasa terintimidasi.
"Dengan ini, aku nyatakan kalian resmi menjadi suami dan istri." Suara pendeta terdengar lantang di gereja yang sepi.
Gabriel mengulurkan tangannya ke arah Aveline, bukan dengan kelembutan seorang pengantin pria, melainkan seperti memerintahkan seorang bawahan. Aveline menelan ludah, merasa tak punya pilihan lain selain menggenggam tangannya. Sentuhan dingin itu membuat tubuhnya merinding.
"Jangan terlalu senang, Aveline," bisik Gabriel dengan suara rendah yang hanya bisa didengar oleh Aveline. "Ini bukan akhir dari penderitaanmu. Ini baru permulaan."
Aveline menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang di sudut matanya. Kenapa aku harus menikah dengan pria seperti ini? pikirnya dengan putus asa.
Ketika upacara selesai, Gabriel menarik Aveline keluar dari gereja tanpa basa-basi. Ia bahkan tidak menghiraukan tamu-tamu yang menunggu untuk memberi ucapan selamat.
"Gabriel, kita harus..." Aveline mencoba berbicara, tetapi kata-katanya terhenti ketika Gabriel menoleh tajam.
"Kita harus apa? Berpura-pura menjadi pasangan bahagia? Jangan bodoh, Aveline," ucapnya dingin. "Pernikahan ini hanya untukku, bukan untukmu."
Aveline tidak menjawab. Ia tahu setiap kata yang keluar dari mulut Gabriel selalu dilapisi racun. Mobil limousine hitam sudah menunggu mereka di depan gereja. Gabriel membuka pintu dengan kasar dan memerintahkan Aveline masuk.
Di dalam mobil, suasana sunyi terasa mencekam. Aveline duduk dengan tangan yang meremas gaunnya, sementara Gabriel sibuk dengan ponselnya. Wajah pria itu tidak menunjukkan emosi apa pun.
"Kenapa aku?" Suara Aveline akhirnya pecah di tengah keheningan. Ia memberanikan diri untuk menatap suaminya.
Gabriel mendongak dari ponselnya, menatap Aveline dengan tatapan menghina. "Kenapa kau? Karena kau adalah putri Leonard Harper, pria yang menghancurkan keluargaku."
Aveline mengerutkan kening. "Apa maksudmu? Ayahku..."
"Jangan menyebutnya ayahmu di depanku!" bentak Gabriel, suaranya bergema di dalam mobil. "Dia bukan seorang ayah. Dia monster. Dan sekarang, kau akan menanggung semua akibat dari perbuatannya."
Air mata Aveline akhirnya jatuh. Ia tidak mengerti apa kesalahannya hingga harus menjadi korban kebencian Gabriel. Tetapi ia tahu, tidak ada gunanya melawan pria itu.
Sesampainya di rumah megah Gabriel, yang lebih mirip istana, Aveline hampir tidak bisa percaya bahwa ia harus tinggal di tempat sebesar ini. Namun, suasana mencekam dari mansion itu membuatnya merasa seperti sedang berjalan menuju penjara.
Gabriel tidak menunggu lama untuk menunjukkan sikap dinginnya. "Ini kamarmu," ucapnya sambil membuka sebuah pintu. Kamar itu besar dan mewah, tetapi dingin, tanpa sentuhan kehangatan.
"Dan kau?" tanya Aveline dengan suara kecil.
Gabriel tertawa kecil, tetapi tawa itu tidak mengandung kebahagiaan. "Aku? Aku akan tinggal di kamarku sendiri, tentu saja. Jangan berpikir aku akan tidur di ranjang yang sama denganmu. Aku tidak akan pernah menyentuhmu, Aveline. Aku tidak akan menyentuh sesuatu yang kubenci."
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Aveline. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa sakit di dadanya.
"Mulai sekarang, kau hanya akan melakukan apa yang kuperintahkan," lanjut Gabriel tanpa belas kasihan. "Jangan harap ada cinta atau perhatian dariku. Kau ada di sini hanya karena aku ingin menghancurkan ayahmu. Itu saja."
Gabriel meninggalkan Aveline di kamar itu tanpa memberi kesempatan untuk membalas. Pintu tertutup dengan suara keras, meninggalkan Aveline sendirian dengan rasa hancur yang tak terlukiskan.
Aveline duduk di tepi ranjang besar itu, air matanya mengalir deras. Ia tidak tahu bagaimana ia akan menjalani hari-harinya sebagai istri Gabriel Alaric, seorang pria yang penuh kebencian dan dendam.
Namun di balik semua rasa sakit itu, Aveline berjanji pada dirinya sendiri. Jika ia harus bertahan di neraka ini, ia akan menemukan alasan di balik kebencian Gabriel. Aku akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, pikirnya dengan penuh tekad, meski hatinya masih gemetar.
Di luar kamar, Gabriel berdiri di depan pintu dengan rahang yang mengeras. Ia mendengar isak tangis Aveline, tetapi ia memaksa dirinya untuk tidak peduli.
"Ini hanya permulaan, Leonard Harper," gumamnya dengan dingin. "Aku akan membuatmu menyesali semua yang telah kau lakukan pada keluargaku."**Bab 1: Dendam yang Membara**
Aveline berdiri dengan tubuh gemetar di depan altar. Gaun pengantin putih yang seharusnya melambangkan kebahagiaan malah terasa seperti penjara baginya. Di sebelahnya, Gabriel Alaric berdiri dengan tatapan dingin, tanpa sedikit pun senyuman di wajahnya. Lelaki itu tampak sempurna dengan setelan jas hitam yang pas di tubuh tegapnya, tetapi dinginnya tatapan mata birunya cukup untuk membuat siapa pun merasa terintimidasi.
"Dengan ini, aku nyatakan kalian resmi menjadi suami dan istri." Suara pendeta terdengar lantang di gereja yang sepi.
Gabriel mengulurkan tangannya ke arah Aveline, bukan dengan kelembutan seorang pengantin pria, melainkan seperti memerintahkan seorang bawahan. Aveline menelan ludah, merasa tak punya pilihan lain selain menggenggam tangannya. Sentuhan dingin itu membuat tubuhnya merinding.
"Jangan terlalu senang, Aveline," bisik Gabriel dengan suara rendah yang hanya bisa didengar oleh Aveline. "Ini bukan akhir dari penderitaanmu. Ini baru permulaan."
Aveline menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang di sudut matanya. **Kenapa aku harus menikah dengan pria seperti ini?** pikirnya dengan putus asa.
Ketika upacara selesai, Gabriel menarik Aveline keluar dari gereja tanpa basa-basi. Ia bahkan tidak menghiraukan tamu-tamu yang menunggu untuk memberi ucapan selamat.
"Gabriel, kita harus..." Aveline mencoba berbicara, tetapi kata-katanya terhenti ketika Gabriel menoleh tajam.
"Kita harus apa? Berpura-pura menjadi pasangan bahagia? Jangan bodoh, Aveline," ucapnya dingin. "Pernikahan ini hanya untukku, bukan untukmu."
Aveline tidak menjawab. Ia tahu setiap kata yang keluar dari mulut Gabriel selalu dilapisi racun. Mobil limousine hitam sudah menunggu mereka di depan gereja. Gabriel membuka pintu dengan kasar dan memerintahkan Aveline masuk.
Di dalam mobil, suasana sunyi terasa mencekam. Aveline duduk dengan tangan yang meremas gaunnya, sementara Gabriel sibuk dengan ponselnya. Wajah pria itu tidak menunjukkan emosi apa pun.
"Kenapa aku?" Suara Aveline akhirnya pecah di tengah keheningan. Ia memberanikan diri untuk menatap suaminya.
Gabriel mendongak dari ponselnya, menatap Aveline dengan tatapan menghina. "Kenapa kau? Karena kau adalah putri Leonard Harper, pria yang menghancurkan keluargaku."
Aveline mengerutkan kening. "Apa maksudmu? Ayahku..."
"Jangan menyebutnya ayahmu di depanku!" bentak Gabriel, suaranya bergema di dalam mobil. "Dia bukan seorang ayah. Dia monster. Dan sekarang, kau akan menanggung semua akibat dari perbuatannya."
Air mata Aveline akhirnya jatuh. Ia tidak mengerti apa kesalahannya hingga harus menjadi korban kebencian Gabriel. Tetapi ia tahu, tidak ada gunanya melawan pria itu.
Sesampainya di rumah megah Gabriel, yang lebih mirip istana, Aveline hampir tidak bisa percaya bahwa ia harus tinggal di tempat sebesar ini. Namun, suasana mencekam dari mansion itu membuatnya merasa seperti sedang berjalan menuju penjara.
Gabriel tidak menunggu lama untuk menunjukkan sikap dinginnya. "Ini kamarmu," ucapnya sambil membuka sebuah pintu. Kamar itu besar dan mewah, tetapi dingin, tanpa sentuhan kehangatan.
"Dan kau?" tanya Aveline dengan suara kecil.
Gabriel tertawa kecil, tetapi tawa itu tidak mengandung kebahagiaan. "Aku? Aku akan tinggal di kamarku sendiri, tentu saja. Jangan berpikir aku akan tidur di ranjang yang sama denganmu. Aku tidak akan pernah menyentuhmu, Aveline. Aku tidak akan menyentuh sesuatu yang kubenci."
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Aveline. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa sakit di dadanya.
"Mulai sekarang, kau hanya akan melakukan apa yang kuperintahkan," lanjut Gabriel tanpa belas kasihan. "Jangan harap ada cinta atau perhatian dariku. Kau ada di sini hanya karena aku ingin menghancurkan ayahmu. Itu saja."
Gabriel meninggalkan Aveline di kamar itu tanpa memberi kesempatan untuk membalas. Pintu tertutup dengan suara keras, meninggalkan Aveline sendirian dengan rasa hancur yang tak terlukiskan.
Aveline duduk di tepi ranjang besar itu, air matanya mengalir deras. Ia tidak tahu bagaimana ia akan menjalani hari-harinya sebagai istri Gabriel Alaric, seorang pria yang penuh kebencian dan dendam.
Namun di balik semua rasa sakit itu, Aveline berjanji pada dirinya sendiri. Jika ia harus bertahan di neraka ini, ia akan menemukan alasan di balik kebencian Gabriel. **Aku akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi,** pikirnya dengan penuh tekad, meski hatinya masih gemetar.
Di luar kamar, Gabriel berdiri di depan pintu dengan rahang yang mengeras. Ia mendengar isak tangis Aveline, tetapi ia memaksa dirinya untuk tidak peduli.
"Ini hanya permulaan, Leonard Harper," gumamnya dengan dingin. "Aku akan membuatmu menyesali semua yang telah kau lakukan pada keluargaku."
Darren tahu, istrinya yang muda, Sienna, adalah seorang wanita yang sangat tertarik dengan uang. Bukan hanya itu, Sienna juga gemar menggoda pria-pria tampan dan wanita-wanita cantik, hal ini membuat Darren merasa cemburu setengah mati. Namun, Darren tidak tahu bahwa Sienna juga memiliki satu kesenangan lain yang lebih mencengangkan, yaitu sering merujuk kapan Darren akan menceraikannya! Sementara itu, Sienna benar-benar tidak menyangka. Saat ia merasa tubuhnya akan hancur karena kelaparan dan kemiskinan, ia tiba-tiba terbangun di dunia lain, dengan tubuh yang sama seperti tokoh antagonis dalam cerita yang ia baca, seorang wanita bernama Sienna. Alih-alih mengikuti alur cerita dan menurut takdir, ia malah memutar balik keadaan. Sienna yang seharusnya mati, memilih untuk menikah dengan Darren dan menikmati hidup sebagai istri yang kaya raya. Sienna tahu bahwa pernikahan mereka hanya terjadi karena kehamilannya dan Darren pasti akan menceraikannya begitu sang pahlawan wanita kembali. Namun, yang tidak ia sangka adalah Darren tidak pernah mengungkit masalah perceraian, malah ia menjadi sangat marah jika Sienna berbicara tentang perceraian.
Kupejamkan mataku, dan kukecup bibirnya dengan lembut, dia menyambutnya. Bibir kami saling terpaut, saling mengecup. Pelan dan lembut, aku tidak ingin terburu-buru. Sejenak hatiku berkecamuk, shit! She got a boyfriend! Tapi sepertinya pikiranku mulai buyar, semakin larut dalam ciuman ini, malah dalam pikiranku, hanya ada Nita. My logic kick in, ku hentikan ciuman itu, kutarik bibirku mejauh darinya. Mata Nita terpejam, menikmati setiap detik ciuman kami, bibir merahnya begitu menggoda, begitu indah. Fu*k the logic, kusambar lagi bibir yang terpampang di depanku itu. Kejadian ini jelas akan mengubah hubungan kami, yang seharusnya hanya sebatas kerjaan, menjadi lebih dari kerjaan, sebatas teman dan lebih dari teman.
Kurnia, yang buta karena kecelakaan ditolak oleh semua sosialita-kecuali Elara, yang menikah dengannya tanpa ragu. Tiga tahun kemudian, dia mendapatkan penglihatan kembali dan pernikahan mereka pun berakhir. "Kami sudah kehilangan banyak tahun. Aku tidak akan membiarkan dia menyia-nyiakan tahun itu lagi untukku." Elara menandatangani surat perjanjian perceraian tanpa sepatah kata pun. Semua orang mengejek kejatuhannya-sampai mereka menemukan bahwa dokter ajaib, maestro perhiasan, genius saham, peretas ulung, dan putri sejati Presiden ... semuanya adalah dirinya. Ketika Kurnia merangkak kembali, seorang miliarder kejam mengusirnya. "Dia istriku sekarang. Pergilah."
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”
Istriku yang nampak lelah namun tetap menggairahkan segera meraih penisku. Mengocok- penisku pelan namun pasti. Penis itu nampak tak cukup dalam genggaman tangan Revi istriku. Sambil rebahan di ranjang ku biarkan istriku berbuat sesukanya. Ku rasakan kepala penisku hangat serasa lembab dan basah. Rupanya kulihat istriku sedang berusaha memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Namun jelas dia kesulitan karena mulut istriku terlalu mungil untuk menerima penis besarku. Tapi dapat tetap ku rasakan sensasinya. Ah.... Ma lebih dalam lagi ma... ah.... desahku menikmati blowjob istriku.
Rachel dulu berpikir bahwa kesetiaannya akan membuat Brian jatuh hati suatu hari nanti, tetapi ternyata dia salah ketika cinta sejati pria itu kembali. Rachel telah menanggung semuanya-mulai dari berdiri sendirian di altar pernikahan hingga menyeret dirinya sendiri ke rumah sakit untuk perawatan darurat. Semua orang mengira dia gila karena menyerahkan begitu banyak dirinya untuk seseorang yang tidak membalas perasaannya. Namun ketika Brian menerima berita tentang penyakit terminal Rachel dan menyadari bahwa wanita itu tidak akan hidup lama lagi, dia benar-benar hancur. "Aku melarangmu mati!" Rachel hanya tersenyum. Dia tidak lagi membutuhkannya. "Aku akhirnya akan bebas."