Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Aku Dinikahi Kakaknya
Aku Dinikahi Kakaknya

Aku Dinikahi Kakaknya

5.0

Tak pernah terpikirkan oleh Keisha jika hari pernikahan didambakan berakhir menyakitkan. Setelah 5 tahun berpacaran, Keisha memutuskan untuk menikah dengan Rafael - pria tampan yang sudah menjadi tambatan hatinya. Bukan pernikahan indah yang didapatkan, tapi Keisha harus menelan kenyataan pahit karena Rafael justru tidak datang di hari pernikahan mereka. Dion - selaku saudara Rafael akhirnya menawarkan diri sebagai penggantinya. Pria itu bersedia menjadi mempelai pengganti karena tidak ingin mempermalukan keluarga Keisha. Apakah pernikahan mereka bertahan? Atau justru berpisah karena mereka tak saling mengenal apalagi mencintai?

Konten

Bab 1 Gaun Putih

Keisha menghela napas, jemarinya membelai renda halus pada gaun pengantin putih yang dikenakannya. Cermin di depannya memantulkan bayangan seorang wanita muda yang tampak rapuh namun memancarkan aura keteguhan. Matanya sembap, sedikit kemerahan akibat tangis semalaman, tetapi senyum tipis masih terukir di bibirnya. Hari ini, adalah hari yang seharusnya menjadi puncak kebahagiaan setelah lima tahun penantian. Hari ini, ia akan menikah dengan Rafael.

Sejak Keisha berusia lima belas tahun dan Rafael menginjak tujuh belas, mereka adalah sepasang kekasih yang tak terpisahkan. Cinta mereka tumbuh di antara lorong-lorong SMA, di bawah pohon beringin tua di taman kota, dan di meja kafe yang menjadi saksi bisu janji-janji masa depan. Rafael, dengan senyumnya yang menawan dan mata cokelat yang selalu memancarkan kehangatan, adalah segalanya bagi Keisha. Dia adalah pelabuhan, sahabat, kekasih, dan impian yang menjadi nyata. Keluarga mereka pun merestui, melihat betapa tulusnya cinta dua sejoli itu. Ibu Keisha seringkali mengatakan, "Rafael itu seperti anakku sendiri, Keisha. Kalian memang ditakdirkan bersama." Kata-kata itu selalu menghangatkan hati Keisha, meyakinkannya bahwa pilihannya sudah benar.

Persiapan pernikahan sudah dilakukan berbulan-bulan lamanya. Mulai dari pemilihan tanggal baik, lokasi resepsi yang megah di salah satu hotel bintang lima di pusat kota, hingga daftar tamu yang mencapai ratusan. Keisha sendiri terlibat langsung dalam setiap detailnya, dari pemilihan bunga hingga dekorasi pelaminan. Dia ingin semuanya sempurna, persis seperti yang ia impikan sejak kecil. Rafael pun demikian, ia tampak antusias dan berulang kali meyakinkan Keisha bahwa ia tidak sabar untuk memulai hidup baru bersamanya. Obrolan mereka kini tidak lagi seputar film terbaru atau tempat liburan impian, melainkan tentang tata letak rumah masa depan, nama anak-anak mereka, dan rencana pensiun yang masih jauh di angan. Semua tampak begitu nyata, begitu indah.

Namun, keindahan itu perlahan retak, tanpa Keisha sadari. Beberapa minggu menjelang hari H, Rafael mulai sedikit berubah. Ia lebih sering sibuk dengan ponselnya, panggilan teleponnya menjadi lebih rahasia, dan jam pulangnya semakin larut. Ketika Keisha bertanya, Rafael selalu menjawab dengan alasan pekerjaan yang menumpuk atau proyek mendadak yang harus diselesaikan. "Ini demi masa depan kita, sayang," katanya selalu, dan Keisha, yang terlalu mencintai dan percaya, tidak pernah sekalipun curiga. Ia malah merasa bersalah karena mengganggu kesibukan calon suaminya.

Puncaknya terjadi semalam. Keisha, yang seharusnya menghabiskan malam terakhirnya sebagai lajang dengan tenang, justru dihinggapi kegelisahan aneh. Rafael tidak bisa dihubungi sejak sore. Pesan teksnya tidak dibalas, panggilannya tidak dijawab. Panik mulai merayapi hatinya. Ia mencoba menenangkan diri dengan berpikir positif. Mungkin Rafael sibuk persiapan terakhir, atau ponselnya mati. Namun, hingga larut malam, hingga Keisha tertidur dengan air mata di pipinya, tidak ada kabar dari Rafael.

Pagi ini, kegelisahan itu berubah menjadi ketakutan yang mencekam. Saat Keisha tengah dirias, ibunya masuk ke kamar dengan wajah pucat. Matanya berkaca-kaca, dan tangannya sedikit gemetar saat menggenggam jemari putrinya.

"Keisha..." Suara ibunya serak, nyaris tak terdengar.

Keisha merasakan jantungnya berdebar kencang. Firasat buruk mulai menggelayuti. "Ada apa, Bu?" tanyanya, mencoba menjaga ketenangannya.

"Rafael... dia..." Ibu Keisha tidak mampu melanjutkan kalimatnya, isakan kecil lolos dari bibirnya.

Perias yang sedang memulaskan eyeliner pada mata Keisha menghentikan pekerjaannya, tatapannya penuh simpati.

"Ada apa dengan Rafael, Bu?" Nada suara Keisha mulai naik, kepanikan membuncah. Ia bangkit dari kursi riasnya, menghampiri ibunya.

Ibunya akhirnya berhasil bicara, suaranya tercekat. "Rafael... dia tidak datang, Nak."

Dunia Keisha seolah runtuh. Kata-kata itu menghantamnya seperti palu godam. Tidak datang? Bagaimana mungkin? Hari ini adalah hari pernikahan mereka. Bagaimana mungkin Rafael tidak datang?

"Apa maksud Ibu?" Keisha merasa suaranya asing di telinganya sendiri. "Ini hari pernikahan kami! Dia pasti datang!"

"Kakaknya, Dion, yang memberitahu Ibu. Dia sudah menunggu di lobi. Rafael mengirim pesan padanya, katanya ada hal mendadak yang tidak bisa dia tinggalkan. Dia... dia bilang tidak bisa menikahimu."

Kepala Keisha terasa berputar. Nafasnya tercekat. Rasa sakit yang tajam menghantam dadanya, lebih parah dari apapun yang pernah ia rasakan. Lima tahun... lima tahun kebersamaan, janji-janji, impian... semuanya hancur dalam sekejap. Tanpa penjelasan, tanpa alasan, Rafael menghilang di hari terpenting dalam hidup mereka.

"Tidak mungkin..." bisiknya, air mata mulai mengalir deras membasahi pipinya yang sudah dirias. Perias menatapnya dengan iba, segera mengambil tisu dan menyodorkannya.

"Keisha, Nak... Ibu tahu ini berat. Tapi kita harus kuat," kata ibunya, memeluk erat tubuh putrinya yang mulai bergetar. "Ada ratusan tamu di bawah. Kita tidak bisa membatalkan ini begitu saja."

"Lalu apa, Bu?" Keisha melepas pelukan ibunya, tatapan matanya kosong. "Aku harus bagaimana? Aku harus bilang apa pada semua orang? Bahwa pengantinku kabur?" Suara terakhirnya pecah menjadi isakan.

Pada saat itulah, pintu kamar terbuka dan Dion masuk. Pria itu tampak tegang, wajahnya kusut, dan matanya memancarkan kesedihan serta rasa bersalah yang mendalam. Ia mengenakan setelan jas hitam yang rapi, namun sorot matanya menunjukkan kekacauan batin. Dion adalah kakak laki-laki Rafael, seorang arsitek sukses dengan reputasi baik dan kepribadian yang tenang. Ia selalu menghormati Keisha dan seringkali menjadi penengah jika Keisha dan Rafael bertengkar.

"Keisha..." panggil Dion lembut, suaranya penuh penyesalan. "Maafkan aku... maafkan Rafael."

Keisha menatap Dion, air mata terus mengalir di pipinya. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa dan marahnya. "Di mana dia, Dion? Kenapa dia melakukan ini? Kenapa?"

Dion menghela napas panjang, tampak kebingungan bagaimana harus menjelaskan. "Aku... aku tidak tahu secara pasti. Dia hanya mengirim pesan singkat pagi ini, bilang dia tidak bisa melakukannya. Dia bilang dia punya alasan, tapi belum bisa mengatakannya padaku."

"Alasan apa?!" teriak Keisha, emosinya meledak. "Setelah lima tahun?! Setelah semua ini?! Dia menghancurkan hidupku, Dion! Dia menghancurkan hari ini!"

"Aku tahu, Keisha. Aku tahu ini tidak adil," Dion berjalan mendekat, tatapan matanya memohon. "Tapi ada ratusan tamu di bawah. Semua media juga sudah menunggu. Nama baik keluargamu, nama baik keluargaku... ini akan menjadi bencana besar."

"Lalu aku harus apa?" Keisha balas berteriak, suaranya serak. "Pura-pura tidak terjadi apa-apa? Menikahi hantu?"

Dion terdiam sejenak, menatap Keisha dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada keraguan, namun juga tekad yang kuat di sana. "Aku... aku punya ide."

Keisha menatapnya bingung. Ibu Keisha juga ikut menatap Dion dengan tatapan penasaran.

"Aku akan menggantikannya," kata Dion, suaranya tegas namun sedikit gemetar. "Aku akan menikahimu."

Keisha mematung. Kata-kata itu menggema di telinganya. Dion? Menikahiku? Ini gila! Ini benar-benar gila!

"Apa?!" Ibu Keisha berseru kaget. "Dion, apa yang kau katakan?!"

"Aku serius, Tante," Dion menatap ibu Keisha dengan sungguh-sungguh. "Aku tidak ingin nama baik Tante dan Om tercoreng. Aku tidak ingin Keisha menanggung malu sendirian. Rafael sudah berbuat kesalahan fatal, dan sebagai kakaknya, aku merasa bertanggung jawab."

Keisha tidak bisa berkata-kata. Ia menatap Dion, mencoba mencari celah kebohongan di matanya, namun yang ia temukan hanyalah ketulusan yang mendalam. Dion, yang selalu dikenalnya sebagai sosok yang tenang dan rasional, kini menawarkan diri untuk menikahi calon adik iparnya sendiri, di hari pernikahan yang seharusnya menjadi milik adiknya.

"Tapi... tapi kau dan Keisha..." Ibu Keisha tergagap, tidak bisa membayangkan skenario aneh ini. "Kalian tidak saling... tidak ada perasaan..."

"Ini bukan tentang perasaan, Tante. Ini tentang tanggung jawab," potong Dion. "Kita bisa menjelaskannya nanti. Untuk sekarang, kita harus menyelamatkan situasi ini. Aku bersedia menikahi Keisha, apa pun risikonya."

Keisha merasakan sebuah dilema besar menghantamnya. Di satu sisi, ide ini terdengar absurd, seperti adegan dalam drama. Menikahi Dion? Pria yang adalah kakak dari Rafael, pria yang tidak pernah ia lihat lebih dari seorang kakak ipar potensial? Pria yang, sejujurnya, jarang sekali ia ajak bicara empat mata selain basa-basi.

Namun, di sisi lain, ada kebenaran dalam perkataan Dion. Ratusan tamu sudah menunggu. Keluarga besar Keisha dan Rafael sudah berkumpul. Media sudah siap memberitakan. Jika pernikahan ini batal, bukan hanya Keisha yang menanggung malu, tetapi seluruh keluarganya. Nama baik mereka akan hancur, dan berita ini akan menjadi skandal besar yang akan menghantui mereka seumur hidup.

Keisha memejamkan mata, membiarkan air mata mengalir bebas. Hatinya sakit, hancur berkeping-keping karena pengkhianatan Rafael. Tapi otaknya, di tengah badai emosi, masih berusaha berpikir logis. Apa pilihan lain yang ia punya? Membatalkan pernikahan, menghadapi tatapan simpati yang merendahkan, dan hidup sebagai wanita yang ditinggalkan di hari pernikahannya sendiri? Atau... menerima tawaran gila Dion?

Ia membuka mata, menatap Dion yang masih berdiri tegak di depannya, menunggunya. Di mata Dion, Keisha melihat bukan hanya rasa bersalah, tetapi juga ketegasan, dan entah mengapa, semacam harapan. Harapan untuk memperbaiki sesuatu yang sudah rusak.

"Bagaimana, Nak?" Ibu Keisha bertanya lembut, tangannya mengelus bahu putrinya. "Apakah kau... mau?"

Keisha menggigit bibir bawahnya. Kata 'mau' terasa begitu berat untuk diucapkan. Mau menikah dengan pria yang tidak ia cintai, pria yang hanya dikenal sebatas kakak ipar, demi menyelamatkan muka keluarga? Ini terasa seperti sebuah pengorbanan besar, pengorbanan atas kebahagiaannya sendiri.

Namun, di benaknya terbayang wajah orang tuanya, wajah kakek neneknya, dan semua kerabat yang datang jauh-jauh untuk menyaksikan hari bahagianya. Apakah ia sanggup melihat mereka menanggung malu karena ulah Rafael?

"Aku... aku mau," bisik Keisha akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Keputusan ini terasa seperti melompat ke dalam jurang tak berdasar. Ia tidak tahu apa yang akan menantinya di bawah sana.

Dion menghela napas lega, senyum tipis terukir di bibirnya. "Terima kasih, Keisha. Aku janji, aku akan bertanggung jawab. Aku tidak akan mengecewakanmu."

Keisha tidak membalas senyumnya. Ia hanya menatap Dion dengan tatapan kosong. Pertanyaan-pertanyaan tak berujung mulai bermunculan di benaknya. Bagaimana mereka akan berpura-pura di depan semua orang? Bagaimana mereka akan membangun sebuah rumah tangga tanpa cinta? Apakah ia akan selamanya hidup dalam bayangan pengkhianatan Rafael, dengan Dion sebagai pengingatnya?

Perias dengan sigap melanjutkan pekerjaannya, sementara ibu Keisha membantu merapikan gaunnya. Suasana di kamar berubah tegang, namun juga penuh tekad. Mereka harus melewati ini.

Beberapa menit kemudian, Keisha sudah berdiri di depan pintu ballroom, di samping Dion. Musik yang mengiringi prosesi masuk pengantin sudah mulai terdengar. Dentuman jantung Keisha berpacu, mengalahkan irama musik yang syahdu. Ia merasa seperti robot, melangkah maju tanpa sadar.

Dion melingkarkan tangannya di lengan Keisha. Sentuhannya terasa asing, bukan kehangatan yang biasa ia rasakan dari Rafael. Keisha melirik Dion. Pria itu tampak tenang, meski rahangnya sedikit mengeras. Ia membalas tatapan Keisha dengan sebuah senyum kecil yang meyakinkan. "Kita bisa," bisiknya.

Pintu ballroom terbuka lebar. Ratusan pasang mata tertuju pada mereka. Kilatan lampu kamera tak henti-hentinya. Keisha memaksakan seulas senyum di bibirnya, berharap tidak ada yang bisa melihat kehancuran di matanya. Ia melihat orang tuanya duduk di barisan depan, ibu Keisha tersenyum dengan mata berkaca-kaca, sementara ayahnya tampak tegang namun mengangguk memberi isyarat dukungan.

Langkah demi langkah, Keisha dan Dion berjalan di atas karpet merah menuju pelaminan. Setiap langkah terasa begitu berat, seperti membawa beban seribu ton. Di pelaminan, penghulu sudah menunggu, siap memimpin janji suci. Keisha berusaha keras untuk tidak melihat ke bangku-bangku tamu, takut bertemu tatap dengan seseorang yang mungkin sudah tahu kebenaran, atau takut melihat rasa kasihan di mata mereka.

"Saudara Dion Prakasa, apakah Anda bersedia menerima Keisha Putri Wibowo sebagai istri Anda, dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, sampai maut memisahkan?"

Dion menatap Keisha, matanya memancarkan ketegasan. "Ya, saya bersedia." Suaranya lantang dan jelas.

Giliran Keisha. Penghulu menatapnya. "Saudari Keisha Putri Wibowo, apakah Anda bersedia menerima Dion Prakasa sebagai suami Anda, dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, sampai maut memisahkan?"

Keisha menelan ludah. Hatinya berteriak 'tidak', namun bibirnya berucap 'ya'. "Ya, saya bersedia." Suaranya serak dan hampir tak terdengar, namun cukup jelas untuk didengar oleh penghulu dan saksi.

Setelah pertukaran cincin yang terasa hambar, Dion mencondongkan tubuhnya ke arah Keisha. "Kau baik-baik saja?" bisiknya.

Keisha mengangguk kaku. Ia tidak tahu apakah ia baik-baik saja. Ia merasa seperti sedang berada di dalam mimpi buruk, dan ia ingin segera terbangun.

Acara dilanjutkan dengan sesi foto bersama keluarga dan kerabat. Keisha dan Dion harus berpose, tersenyum, dan berinteraksi seolah-olah semuanya berjalan normal. Setiap senyum yang Keisha paksakan terasa seperti melukai jiwanya lebih dalam. Ia merasa seperti sedang mengenakan topeng, memainkan sebuah peran yang sangat ia benci.

Di tengah keramaian, Keisha melihat paman dan bibi Rafael, yang juga tampak bingung dan sesekali berbisik dengan orang tua Dion. Tentu saja, mereka pasti sudah diberitahu tentang skenario yang terjadi. Keisha hanya bisa berharap, berita ini tidak akan menyebar terlalu cepat.

Malam resepsi terasa begitu panjang. Keisha tersenyum, menyalami tamu, dan menerima ucapan selamat yang terasa hampa. Ia merasa seperti boneka yang digerakkan, tanpa emosi, tanpa jiwa. Dion selalu berada di sampingnya, menjadi sandarannya, menjawab pertanyaan yang mungkin saja mengarah pada kecurigaan. Ia tampak luwes, profesional, seolah-olah tidak ada yang aneh dengan pernikahan mendadak ini. Keisha diam-diam mengagumi ketenangan Dion, meskipun di dalam hatinya ia merasakan gelombang emosi yang tak tertahankan.

Ketika akhirnya resepsi usai dan semua tamu sudah pulang, Keisha merasa lelah luar biasa. Ia bahkan tidak merasakan euforia yang seharusnya dirasakan oleh pengantin baru. Yang ada hanyalah rasa lelah, hampa, dan sedikit rasa takut akan masa depan.

Di kamar hotel, suite pengantin yang sudah dihias dengan indah, Keisha melepas mahkota pengantinnya dengan gemetar. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Wanita yang ia lihat adalah seorang pengantin, ya, tapi ia juga seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan terparah dalam hidupnya, dan kini terikat dalam pernikahan yang tidak pernah ia inginkan.

Dion masuk ke kamar, masih dengan jas pengantinnya. Ia melepas dasinya dan melonggarkan kerah kemejanya. Ia tidak menatap Keisha secara langsung, memberikan ruang privasi.

"Kau bisa tidur di ranjang," kata Dion, suaranya tenang. "Aku akan tidur di sofa."

Keisha menoleh, menatap Dion. Ia melihat kelelahan yang sama di mata pria itu. "Kau tidak perlu melakukan ini," bisiknya.

Dion menghela napas. "Kita sudah melakukannya, Keisha. Ini sudah terjadi." Ia berjalan ke arah sofa, menarik bantal dan selimut yang sudah disiapkan oleh staf hotel.

"Tapi... mengapa kau melakukan ini?" tanya Keisha, rasa ingin tahu mengalahkan rasa sakitnya. "Kau tidak punya kewajiban. Kau bisa saja membiarkan kami menanggung malu."

Dion menoleh, menatap Keisha dengan tatapan yang dalam. "Rafael adalah adikku. Apa pun kesalahannya, dia tetap adikku. Dan kau..." Dion berhenti sejenak, tatapannya melembut. "Kau adalah calon adik iparku. Aku tidak bisa membiarkan kalian berdua hancur. Lagipula, ini salah keluargaku. Jadi, aku harus memperbaikinya."

Keisha tidak tahu harus menjawab apa. Ada kebaikan yang tulus di balik tindakan Dion, sesuatu yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang di tengah badai. Namun, kebaikan itu juga terasa begitu aneh, begitu berat untuk diterima. Ia tidak ingin berhutang budi sebesar ini pada Dion.

"Terima kasih," kata Keisha akhirnya, suaranya pelan.

Dion mengangguk. "Istirahatlah, Keisha. Besok kita akan membicarakan ini lebih lanjut." Ia lalu berbalik, berbaring di sofa, membelakangi Keisha.

Keisha duduk di tepi ranjang, menatap Dion yang kini membelakanginya. Suasana kamar terasa begitu canggung dan dingin, meskipun lampu-lampu romantis masih menyala. Ia adalah seorang istri, tetapi ia merasa sendirian. Ia merasa seperti tawanan dalam sebuah skenario yang tidak pernah ia pilih.

Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Apakah pernikahan ini akan bertahan? Atau apakah mereka akan berpisah setelah semua badai ini berlalu? Yang jelas, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Mimpi indahnya telah berubah menjadi kenyataan pahit, dan kini ia harus menghadapi hari esok, dengan seorang pria asing yang berstatus suaminya, dan bayangan pengkhianatan yang terus menghantuinya. Babak baru hidupnya telah dimulai, diwarnai dengan kepalsuan dan ketidakpastian.

Ia memejamkan mata, berharap saat ia membukanya nanti, semuanya hanyalah mimpi buruk. Namun, gaun putih yang masih melekat di tubuhnya, dan keberadaan Dion di sofa, adalah bukti nyata bahwa mimpi buruk ini adalah kenyataan. Keisha hanya bisa berharap, suatu hari nanti, ia akan menemukan kekuatan untuk bangkit dari puing-puing hatinya yang hancur, dan entah bagaimana, menemukan jalan untuk kembali bahagia. Atau setidaknya, menerima takdir yang telah digariskan ini.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY