Tangannya mengepal erat di sisi gaun sutra berwarna merah tua yang ia kenakan, tubuhnya kaku, dan matanya yang biasanya dipenuhi cahaya kini tampak kosong. Malam ini seharusnya menjadi malam kebebasannya. Seharusnya, dia sudah berada jauh dari kota ini, memulai hidup baru. Tapi kenyataan berbicara lain.
"Minumlah."
Suara bariton itu membuatnya tersentak. Di hadapannya, seorang pria berdiri dengan sikap angkuh, menyodorkan segelas anggur. Mata obsidian pria itu mengunci tatapannya, penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan-antara rasa memiliki dan ketegasan yang tak bisa diganggu gugat.
Lucian Moretti.
Mafia yang ditakuti seantero kota. Pria yang baru saja menjadi suaminya.
Aurora tidak bergerak. Tenggorokannya terasa kering, bukan karena haus, tapi karena ketakutan yang menyelusup hingga ke sumsum tulangnya. "Aku tidak ingin minum," gumamnya lirih.
Lucian menaikkan alisnya. "Aku tidak suka penolakan."
Suaranya rendah, nyaris terdengar mengancam, tapi ada ketenangan dalam nada itu-sebuah bahaya yang terselubung dalam sikap dinginnya.
Aurora ingin memberontak. Ingin berteriak dan mengatakan bahwa pernikahan ini adalah kesalahan besar. Tapi dia tahu, tidak ada gunanya. Lucian Moretti tidak akan membiarkannya lari, tidak setelah dia menebus utang pamannya dengan harga yang lebih mahal dari sekadar uang-yaitu dirinya.
"Minum, Aurora." Kali ini suaranya lebih dalam, lebih menuntut.
Menghela napas, Aurora akhirnya mengambil gelas itu dan menyesapnya perlahan. Cairan merah pekat itu meninggalkan jejak panas di tenggorokannya, sama seperti perasaan yang kini berkecamuk dalam dadanya.
Lucian menyeringai puas sebelum mengalihkan pandangannya ke arah para tamu. "Malam ini, semua orang di ruangan ini tahu bahwa kau adalah istriku. Mereka tahu bahwa kau milikku."
Aurora menelan ludah. Kata-kata itu terdengar seperti belenggu yang semakin erat menjeratnya.
Tiba-tiba, Lucian mendekat, berbisik tepat di telinganya, "Tapi hanya kita yang tahu kalau pernikahan ini tidak lebih dari sekadar kesepakatan, bukan?"
Darah Aurora membeku. Seketika, amarah menggantikan ketakutannya.
Dia menoleh cepat, menatap Lucian dengan sorot penuh kebencian. "Jadi, kau menginginkan dunia percaya bahwa aku istrimu yang sah, tapi di balik layar, aku hanyalah alat untuk membayar utang?"
Lucian tidak bereaksi. Wajahnya tetap dingin, tapi ada sesuatu dalam matanya yang membuat Aurora semakin muak.
"Ya," jawabnya tanpa ragu. "Tapi bukan berarti aku tidak menginginkanmu, Aurora."
Jantungnya berdetak kencang. Aurora merasa ingin muntah.
Dia ingin membalas, ingin mengatakan bahwa dia akan mencari cara untuk bebas dari pria ini. Tapi sebelum sempat membuka mulut, seseorang menyela mereka.
"Lucian, ada tamu yang ingin bertemu denganmu," ujar seorang pria berjas hitam yang berdiri di belakang mereka.
Lucian mendengus pelan. "Aku akan kembali."
Dan sebelum pergi, dia menyentuhkan bibirnya di pelipis Aurora. Sentuhan itu ringan, tapi cukup untuk membuat tubuh Aurora menegang.
Saat Lucian melangkah pergi, Aurora merasa napasnya kembali, meskipun hanya sedikit. Matanya bergerak liar, mencari celah untuk melarikan diri. Tapi, dia sadar-tidak ada jalan keluar malam ini.
Pernikahan ini telah mengikatnya, dan dia terperangkap dalam jerat sang mafia.
Satu jam berlalu, dan pesta semakin riuh. Aurora memanfaatkan momen ini untuk keluar ke balkon. Udara malam menusuk kulitnya, tapi dia tidak peduli. Dia hanya ingin menjauh dari keramaian, dari sorot mata yang terus menatapnya seolah dia adalah objek menarik di lelang.
"Aku bisa memberimu kebebasan jika kau menginginkannya."
Aurora tersentak. Dia menoleh dan menemukan seorang pria berdiri di ambang pintu balkon. Rambutnya gelap, matanya tajam seperti elang, dan aura misterius menyelimutinya.
"Aku tahu siapa kau," gumamnya. "Kau Adrian Vasquez."
Pria itu menyeringai kecil. "Jadi, kau tahu."
Tentu saja, Aurora tahu. Adrian adalah musuh terbesar Lucian. Rivalnya dalam dunia mafia.
"Kau pasti berpikir aku ingin membunuh Lucian," lanjut Adrian, berjalan mendekat. "Tapi aku justru ingin menawarkan sesuatu kepadamu."
Aurora menatapnya curiga. "Apa?"
Adrian tersenyum tipis. "Pilihanku sederhana. Aku bisa membantumu keluar dari pernikahan ini. Aku bisa memberikan kebebasan yang kau inginkan."
Aurora mengerutkan kening. Tawaran ini terdengar terlalu mudah.
"Tapi tentu saja, ada harga yang harus kau bayar."
Jantungnya berdegup lebih cepat. "Apa harganya?"
Adrian bersandar di pagar balkon, tatapannya mengunci Aurora. "Kau harus membantuku menghancurkan Lucian."
Aurora terdiam.
Hatinya menjerit ingin mengatakan 'ya'. Ingin menghancurkan pria yang telah menjeratnya dalam pernikahan ini. Tapi ada sesuatu yang mengganjal.
Membantu Adrian berarti mengkhianati Lucian.
Dan anehnya, saat memikirkan itu, ada sedikit rasa sakit yang tak seharusnya dia rasakan.
Sebelum dia sempat menjawab, suara langkah kaki mendekat. Adrian mundur selangkah, sementara sosok tinggi dengan aura dingin muncul di ambang pintu.
Lucian.
Mata obsidiannya bersinar tajam. Dia menatap Adrian seperti hendak membunuhnya di tempat.
"Apa yang kau lakukan di sini, Vasquez?"
Adrian hanya menyeringai. "Berbicara dengan istrimu."
Lucian melangkah maju, ekspresinya tak terbaca. "Menjauhlah dari Aurora. Atau aku akan memastikan ini adalah percakapan terakhirmu."
Adrian terkekeh kecil sebelum berbalik. Tapi sebelum pergi, dia menatap Aurora dan berbisik, "Pikirkan tawaranku, Aurora."
Setelah Adrian menghilang, Lucian menoleh padanya. Mata gelapnya menyelidik.
"Apa yang dia katakan padamu?" tanyanya tajam.
Aurora tidak menjawab. Dia tahu, malam ini baru permulaan.
Di satu sisi ada Lucian, suaminya-pria yang dingin, kejam, tapi entah mengapa membuatnya merasakan sesuatu yang tidak seharusnya.
Di sisi lain ada Adrian-musuh Lucian yang menawarkan kebebasan, tapi dengan harga yang mahal.
Dan kini, Aurora harus memilih.
Bertahan dalam pernikahan yang mengekangnya atau mengambil risiko untuk menghancurkan pria yang telah mengikatnya dalam jerat takdir.
Namun, dia belum tahu bahwa ada kebenaran yang lebih besar menanti-kebenaran tentang dirinya, tentang Lucian, dan tentang perasaan yang perlahan tumbuh di antara mereka.
Satu hal yang pasti...
Tidak ada jalan keluar tanpa konsekuensi.