Tasya menoleh, menghela napas sebelum akhirnya membuka pintu. Ibu Tasya berdiri dengan senyuman hangat, meski jelas terlihat ada kekhawatiran di matanya. Wanita itu mendekat dan merapikan beberapa helai rambut Tasya yang tergerai.
"Tasya, kau tahu betapa pentingnya hari ini untuk keluarga kita, bukan?" Ibu Tasya berkata dengan nada lembut namun penuh penekanan. "Ayahmu berharap banyak pada hubungan ini."
Tasya memaksakan senyum yang terlihat dipaksakan. "Aku tahu, Bu. Tapi aku... aku hanya merasa seperti burung dalam sangkar." Kata-katanya terdengar lirih, penuh kebingungan.
Ibu Tasya menghela napas, seolah sudah terbiasa mendengar keluhan tersebut. "Aku mengerti, sayang. Tapi ini semua demi masa depanmu. Semua ini akan terasa lebih baik jika kau mulai menerima keadaan ini."
Tasya tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, meski hatinya terasa semakin berat. Tidak peduli berapa banyak usaha ia lakukan untuk memenuhi keinginan orang tuanya, rasa cemas itu tidak pernah hilang. Apa yang mereka tidak pahami adalah, ia tidak pernah meminta untuk dipaksa menikah. Ia tidak pernah meminta untuk dijodohkan dengan seseorang yang bahkan belum pernah ia kenal, apalagi merasa ada keterikatan emosional dengan orang tersebut.
Setelah mengucapkan selamat tinggal pada ibunya, Tasya turun ke ruang tamu, tempat ayah dan tamu-tamu sedang berkumpul. Namun, tatapannya segera tertuju pada satu sosok yang jelas tidak bisa ia abaikan-Kyler, pria yang menjadi sumber dari hampir semua kekacauan dalam hidupnya.
Kyler, lelaki tinggi dengan rambut cokelat gelap yang rapi, tampak sedang berbicara dengan beberapa tamu pria di ujung ruangan. Auranya yang penuh percaya diri memancar jelas. Sebagai anak bungsu dari keluarga bisnis yang terkenal, Kyler selalu menjadi pusat perhatian, meskipun tidak pernah sekalipun ia mau terlibat dalam drama sosial keluarga. Itulah sebabnya Tasya selalu merasa kesal-Kyler adalah cermin dari segala yang ia benci dalam hidupnya. Ketidakpeduliannya, ketajaman sikapnya, dan yang paling membuatnya marah, adalah bagaimana ia selalu bisa lepas dari segala situasi tanpa pernah merasa terbebani oleh apapun.
Tasya berusaha menghindari tatapannya, tapi Kyler sudah menangkap pandangannya. Senyum dingin terulas di wajah pria itu, sebuah senyuman yang sudah cukup mengisyaratkan betapa ia menikmati ketegangan yang ada di udara.
"Kau terlihat berbeda malam ini, Tasya," Kyler tiba-tiba muncul di sampingnya, suara rendahnya menambah ketegangan yang sudah melingkupi ruangan.
Tasya mendelik tajam. "Apa yang kau inginkan, Kyler?"
Kyler tertawa pendek, tidak peduli dengan ketajaman nada suaranya. "Aku hanya ingin memastikan kalau aku tidak salah lihat. Kau benar-benar datang ke sini untuk... apa? Menjadi pacarku? Atau hanya ingin menghindari pertanyaan tentang pernikahan?" Kyler mengangkat alisnya dengan penuh sindiran.
Tasya merasa darahnya mendidih, tapi ia menekan emosinya. "Aku tidak perlu penjelasan dari orang sepertimu."
Kyler hanya mengangkat bahu, seperti biasa, tidak terpengaruh dengan sikapnya. "Tenang saja, Tasya. Aku di sini bukan untuk memperumit hidupmu lebih jauh. Lagipula, kita berdua sudah sepakat, bukan?"
Tasya menggertakkan giginya. "Kita tidak sepakat. Kau memaksa aku dalam hal ini. Aku tidak butuh pacar kontrak dari orang seperti kamu."
Kyler mengubah ekspresi wajahnya, kali ini lebih serius. "Aku bukan orang yang memaksamu. Ini adalah jalan keluar terbaik untuk kita berdua. Kau ingin bebas dari desakan pernikahan dari keluargamu, dan aku butuh ini untuk membalas dendam pada sahabatku yang mengkhianatiku."
Tasya terdiam, memandangi Kyler yang kini tampak jauh lebih serius. Ia bisa merasakan ketegangan yang begitu tebal di antara mereka. Namun, entah mengapa, ada bagian dalam dirinya yang merasa... terperangkap.
"Apa yang sebenarnya kau harapkan dari hubungan ini?" Tanya Tasya, akhirnya memutuskan untuk bertanya, meski hatinya masih penuh keraguan.
Kyler menghela napas, seolah pertanyaan itu bukan yang pertama kali dia dengar. "Aku ingin Vanessa tahu bahwa aku tidak akan membiarkan dirinya menghancurkan hidupku tanpa konsekuensi. Kau mungkin tidak tahu, tapi aku selalu terlibat dalam permainan ini, Tasya. Aku tidak bisa membiarkan dia merasa menang begitu saja."
Tasya menatap Kyler dengan tatapan kosong. Ia tidak tahu harus merasa kasihan atau semakin marah. "Aku... aku hanya ingin hidupku kembali. Tidak ada yang lebih dari itu."
Kyler menatapnya sejenak, seolah mencoba menilai kebenaran dari kata-katanya. "Jadi, kita akan melanjutkan ini, bukan? Ini demi kita berdua."
Tasya menarik napas panjang. "Jangan berpikir aku melakukannya karena aku peduli padamu. Aku hanya ingin bebas dari tekanan ini."
Kyler tersenyum, meski senyuman itu terasa lebih seperti kemenangan daripada kebahagiaan. "Begitu juga aku."
Malam itu berakhir dengan rasa tegang yang tidak terucapkan. Mereka berjalan bersama ke luar rumah dengan cara yang seolah sudah terbiasa, meski jelas ada ketegangan yang mengalir deras di antara mereka. Tasya merasa seperti sebuah boneka yang dikendalikan oleh takdir yang entah bagaimana mempertemukannya dengan Kyler.
Namun, saat mata mereka bertemu di lorong panjang rumah itu, ada sesuatu yang tak terduga. Kyler melihatnya dengan cara yang berbeda, dan dalam kedalaman tatapannya, Tasya merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kontrak atau balas dendam.
Apa ini? Cinta? Tidak. Hanya sekadar permainan, sebuah permainan yang berbahaya.
Dan malam itu, mereka berdua tahu bahwa perjanjian yang mereka buat akan membawa mereka ke tempat yang jauh lebih gelap daripada yang mereka bayangkan.