"Sayang, buka dulu matanya. Handphone kamu di meja, kenapa dari tadi ngelus-ngelus kasur?" suara seorang wanita terdengar dari arah pintu, disertai tawa kecil.
Sosok itu adalah Sita, ibu Nayla. Ia berdiri di ambang pintu dengan daster kuning bermotif bunga, rambut disanggul seadanya, dan ekspresi wajah penuh kasih.
"Mama yang mindahin ke meja, ya? Padahal tadi malam aku yakin taruhnya di bawah bantal," balas Nayla dengan tatapan menyipit, seolah berusaha menyelidiki sang ibu. Ia meraih ponselnya lalu buru-buru mematikan alarm yang terus berdering.
"Mama aja baru masuk kamar, dengar suara alarm dari tadi. Ngigo kali kamu taruh di meja. Emang kamu nggak denger Mama masuk?" Sita melangkah masuk, lalu duduk di sudut ranjang sambil mulai merapikan selimut anak gadisnya.
"Enggak denger, Ma. Ngantuk banget, semalam ngerjain tugas sampai larut. Aku nanti rapihin sendiri, Mama. Aku udah gede, bukan anak kecil lagi." Nayla mengambil alih selimut dari tangan ibunya sambil tersenyum manja.
"Oke, oke. Anak gadis Mama yang udah remaja dan nggak mau dianggap kecil lagi." Sita tertawa kecil lalu mengelus rambut Nayla dengan lembut. "Mama mau masak nasi kesukaan kamu. Jangan kelamaan siap-siapnya, ya."
Setelah ibunya keluar dari kamar, Nayla segera merapikan tempat tidurnya sendiri, lalu melangkah menuju kamar mandi yang terletak tepat di sebelah kamarnya.
Tak lama kemudian, aroma sedap langsung menyambutnya. Aroma gurih dari tumisan bawang yang tercampur cabai rawit dan margarin menguar di seluruh sudut rumah. Masakan sederhana yang selalu berhasil membangkitkan selera makannya. Ia menyebutnya "nasi bawang", dan entah mengapa, meski sederhana, sajian itu selalu membuatnya ingin nambah.
Nayla keluar dari kamar dengan seragam lengkap. Ransel tergantung di satu tangan, sementara tangan lainnya menyesap udara pagi yang dibumbui aroma sarapan favoritnya. Rambut hitam legamnya yang terpotong shaggy sampai sebahu dibiarkan tergerai rapi, dengan poni yang jatuh manis di kening. Wajah bulatnya yang mungil tampak segar meski baru saja bangun. Kulitnya kuning langsat, matanya besar dengan sorot polos dan sedikit ngantuk, dihiasi alis tebal yang hampir menyatu di tengah. Hidung mancung warisan ibunya menjadi pusat perhatian di wajahnya, dan senyumnya yang memperlihatkan lesung pipi di sisi kanan semakin menguatkan kesan manis pada dirinya. Tambahan tahi lalat mungil di bawah bibir membuat pesonanya kian menggemaskan.
"Nayla, jangan lupa diminum susunya. Makan nasi doang mana cukup tenaganya. Hari ini kamu ada olahraga, kan? Baju olahraganya udah dibawa? Jangan lupa kayak minggu kemarin. Untung kemarin Reyhan belum berangkat, jadi bisa mama titipin bajumu." Sita menyiapkan bekal Nayla sambil sesekali menoleh, memastikan anaknya mendengarkan.
Nayla hanya nyengir kecil, lalu mendekat untuk mengambil bekalnya. Dalam hati, ia berharap pagi ini berjalan biasa saja. Tapi nama Reyhan yang disebut ibunya nyaris membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
"Iya, Maaa... iyaaa," jawab Nayla sambil tertawa kecil.
"Nah, cantik, bekalnya secantik yang bikin." Sita mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum bangga.
"Kayak yang makan juga dong, Ma." Nayla terkekeh senang. Ia sangat puas dengan bento ala Mama yang selalu berhasil membuat teman-temannya iri setiap kali jam makan siang tiba.
"Pastinya dong. Mama sengaja bawain banyak, biar kamu bisa makan bareng teman-teman." Sita meletakkan tas bekal di dekat Nayla dengan gerakan penuh kasih.
"Iya, Ma. Makasih banyak ya, pasti mereka suka. Kayaknya nanti malah pada rebutan deh." Nayla tertawa riang sambil membawa piring bekas makannya ke wastafel. Setelah mencuci piring, ia membuka kulkas dan mengambil sepotong besar cokelat, lalu memasukkannya ke dalam mulut untuk meredakan sensasi panas akibat pedasnya cabai rawit dari sarapan tadi.
Sita memandang anak gadisnya dengan lembut, lalu bertanya pelan, "Kamu nggak bareng sama Reyhan?"
Nayla menoleh sambil mengernyit. "Nggak, Ma. Jangan suruh aku bareng dia ya. Dan jangan juga minta dia buat bareng aku. Nggak enak tau, Ma."
Ia segera berbalik menuju cermin di ruang tengah, mengecek penampilannya dari ujung rambut hingga sepatu. Rambutnya disisir rapi, tas ransel hitam telah tergendong di punggung, dan wajahnya sudah tampak siap memulai hari.
"Ya nggak apa-apa... kan kalian satu sekolah," balas Sita dengan nada tenang, tapi tetap menyelipkan nada khawatir. "Mama cuma lebih tenang aja kalau kamu bareng dia. Mama denger sekarang banyak pelecehan di angkutan umum."
Ia menyerahkan tas bekal kepada Nayla, matanya tak lepas dari wajah putrinya yang kini sudah benar-benar tumbuh remaja.
"Tenang aja, Ma. Aku naik angkutannya rame-rame kok. Aku juga selalu pilih duduk deket cewek. Kalau ada yang aneh-aneh, aku bisa teriak. Lagian... emangnya menjamin Reyhan nggak bakal macem-macem sama aku?" Nayla menyipitkan mata, lalu menambahkan dengan nada menggoda, "Ya walaupun aku nggak yakin juga sih manusia salju kayak dia ada niat ngapa-ngapain aku. Dia udah sibuk sama dunianya sendiri."
Sita terkekeh mendengar celotehan anaknya. Sebelum pergi, Nayla menghampiri ibunya, mencium tangan dengan takzim.
"Aku berangkat dulu ya, Ma. Semangat juga ya kerja dari rumahnya."
"Iya, Sayang. Kamu tuh ya, kalau Mama udah bahas Reyhan jadi panjang deh," gumam Sita sambil menggeleng pelan. "Tapi jangan terlalu sinis sama dia. Kita itu hidup nggak bisa sendiri terus loh... Masih butuh bantuan orang lain."
"Iya, iya..." Nayla menjawab sambil berjalan ke arah pagar.
"Hati-hati di jalan, baca doa ya. Biar dijagain sama malaikat," pesan Sita lembut saat mengantar putrinya hingga ke depan rumah.
"Siap, Ma! Nayla selalu ingat pesan Mama. Bye, love you!" seru Nayla sambil mengecup pipi sang ibu, lalu berlari kecil menuju jalan, menyambut pagi yang masih segar.
----------------
Nayla melangkah dengan semangat menuju jalan utama yang tidak begitu jauh dari rumahnya, hanya memerlukan waktu sekitar lima menit berjalan kaki. Dari sana, dia akan menaiki angkutan umum bersama teman-temannya menuju sekolah yang berjarak sekitar sepuluh menit. Nayla terus berjalan sambil memikirkan tugasnya yang belum selesai, tugas esai tentang keluarga. Nayla bingung harus menulis apa dalam esainya, karena keluarganya hanya ada dia dan Mama. Ayahnya sudah pergi meninggalkan mereka sejak Nayla masih dalam kandungan. Suara klakson kendaraan membuyarkan lamunan Nayla.
"Duluan, Nay..." suara datar dan dingin seorang pemuda berseragam putih abu-abu sambil mengendarai motornya tanpa menoleh.
"Eh iya, Kak..." Nayla mengangguk cepat.
"Naylaaaa... Cepet napa sih..." seorang gadis dengan rambut ekor kuda dan berkacamata melambai padanya dari kejauhan, membuat Nayla reflek berlari ke arah gadis itu melewati banyak murid SD yang mengerubungi tukang jajanan di ruko depan perumahannya. Rambutnya yang tergerai mengibas ke kanan dan kiri, senyum manis dari bibir mungilnya menghiasi wajah Nayla.
"Lama banget sih lo, kita udah nungguin lama nih disini." Gadis yang memanggilnya tadi merapikan rambut Nayla yang acak-acakan karena berlari. Gadis itu memiliki wajah oval, beberapa jerawat menghiasi pipinya, hidungnya tidak mancung, tapi juga tidak pesek, terlihat pas dan cocok dengan wajah menariknya yang terlihat tegas. Gadis itu memiliki kulit sawo matang, dialah yang paling tinggi di antara keempat gadis lainnya.
"Sorry, Della, tadi gue kesiangan dikit, semalem gak bisa tidur mikirin tugas Bu Ayu." Nayla merangkul gadis lainnya sambil terengah-engah. Gadis itu terlihat paling modis di antara yang lain, rambut bermodel bob keriting sebahu lengkap dengan poni membingkai wajah oval dengan dagu lancip dan indah, bola matanya berwarna kecokelatan yang membuatnya semakin menarik. Gadis itu terlihat sangat cantik dengan kulit putih bersihnya.
"Tau gue, pasti kepikiran kan lo. Tulis apa adanya aja sih, Ka. Santai aja, Bu Ayu kan juga ngerti lo." Gadis yang dirangkul Nayla ikut bicara.
"Iya, Tania... Gue tau, tapi tetep aja gue kepikiran. Karena ya gue cuma bisa bikin dua paragraf. Gue bingung apalagi yang harus ditulis di esai itu. Lo tau sendiri kan kehidupan gue ya gitu-gitu aja. Gak kayak kalian yang sering liburan bareng keluarga, atau sekadar main ke rumah sepupu." Suara Nayla sedikit tercekat.
"Udah, nanti lagi bahasnya. Itu mobilnya udah dateng. Muat gak ya ngangkut kita berlima?" ucap satu-satunya pria di kumpulan remaja itu, tubuhnya besar dan sedikit berotot. Kulitnya sawo matang, rambut ikalnya dipotong pendek dan rapi, wajahnya cukup tampan dengan rahang yang terlihat kuat, mengesankan bahwa pria itu seorang lelaki macho walaupun masih berusia muda. Kesannya manly banget.
Angkutan umum berhenti tepat di depan mereka, hanya tersisa bangku untuk empat orang. Para gadis pun menaiki angkutan itu dan tanpa diminta, pria itu bergelantungan di pintu mobil.
"Arkan pegangan yang kenceng lo. Hati-hati." Tania menatap Arkan khawatir, tidak ada jawaban dari pria itu, hanya acungan salah satu jempolnya yang menjawab. Nayla yang duduk di dekat pintu diam-diam meremas baju Arkan dengan wajah khawatir.
Bukan tanpa alasan para gadis khawatir dengan pria yang bernama Arkan itu, karena beberapa hari sebelumnya ada sebuah kecelakaan yang menewaskan seorang pelajar seusia mereka. Sama seperti Arkan, pelajar itu bergelantungan di pintu angkutan umum dengan temannya dan mereka bercanda di dalam perjalanan. Kemudian kejadian nahas itu pun terjadi. Pegangan salah satu pelajar itu terlepas dan dia jatuh tepat di depan sebuah truk kontainer yang sedang melaju cepat.
Angkutan berhenti tepat di depan sebuah kompleks sekolah yang cukup besar. Lebih dari separuh penumpang angkutan itu turun, termasuk Nayla dan teman-temannya.
"Gue mau beli permen dulu ya, Min... Min... Minnaaa... Tungguin, gue mau ke warung dulu." ucap Tania sambil memanggil Minna yang sudah berjalan terlebih dulu. Gadis itu sedari tadi hanya berdiam diri fokus dengan ponselnya.
Sahabat Nayla yang paling sensitif, hatinya sangat lembut dan mudah terbawa suasana. Minna memiliki kulit yang putih, namun tidak lebih putih dari Tania, warna kulitnya berada di antara Tania dan Nayla. Terkadang mereka bercanda seolah bintang iklan sabun pemutih kulit, mereka akan mengurutkan warna kulit dari Della, Nayla, Minna, lalu Tania. Minna memiliki wajah berbentuk hati dengan dagu yang sedikit terbelah, gummy smile menjadi ciri khasnya, rambutnya bergelombang dengan warna coklat alami berpotongan layer sebahu. Minna selalu membiarkan rambutnya tergerai bahkan saat olahraga, hal itu untuk menutupi ukuran telinganya yang cukup besar. Minna memiliki mata kecil dengan bulu mata yang pendek, alisnya cukup tebal dan membentuk indah.
Pertemanan mereka berawal dari kelas 4 SD dan berlanjut sampai sekarang mereka kelas 9.
Karena termasuk pinggiran kota, tempat tinggal mereka hanya memiliki sedikit sekolah, sekolah mereka merupakan salah satu sekolah unggulan di sana. Yayasan Kencana memiliki sekolah lengkap dari TK sampai SMA. TK Kencana memiliki gedung tersendiri, begitu juga SD Kencana yang berada tidak jauh dari perumahan tempat tinggal Nayla. TK Kencana berada di perbatasan antara perkampungan dan perumahan tempat tinggal Nayla, sedangkan SD Kencana berada di pintu masuk perumahan tempat tinggal Tania dan Arkan. SMP dan SMA Kencana berada dalam satu kompleks yang besar, setiap angkatannya memiliki empat kelas dengan jumlah siswa 25 orang setiap kelasnya, dan masing-masing bangunan sekolah memiliki tiga lantai. Ya, bisa dibilang kompleks sekolah itu cukup besar dan megah di daerahnya.
Tania dan Arkan berada dalam satu perumahan dengan Nayla, namun mereka berada di blok depan dekat dengan jalan utama. Rumah Tania berada tepat di sebelah Arkan. Della dan Minna tinggal di perumahan yang ada di seberang perumahan Nayla, namun rumah mereka berjarak tiga blok, rumah mereka pun tidak jauh dari jalan utama. Ada dua orang lagi, Revan dan Tirta, mereka tinggal di perkampungan belakang perumahan Nayla. Mereka jarang berangkat bersama karena Revan diantar kakak perempuannya sedangkan Tirta terbiasa membawa motor sendiri. Walaupun disebut perkampungan, tapi tempat tinggal mereka cukup baik dan tertata rapi selayaknya sebuah perumahan. Hanya Revan dan Tirta warga asli yang tinggal di sana sejak lahir, sedangkan lima orang lainnya adalah warga pendatang yang menempati perumahan baru di sekitarnya.
"Nay, itu kak Reyhan kan?" bisik Minna pada Nayla yang langsung menatap ke arah yang sama, terlihat seorang pria sedang menikmati sarapannya di sudut warung nasi yang ada di sebelah warung jajanan.
"Iya." jawab Nayla singkat.
"Kan dia ngelewatin lo pas depan perumahan tadi." lanjut Minna.
"Nayla mana betah lama lama sama manekin imut kayak gitu," sambar Della sambil melirik ke arah Reyhan.
"Itu namanya cowok cool. Kalau banyak mulut malah aneh, kayak cewek," sahut Arkan, ikut menatap Reyhan yang masih duduk santai menyantap sarapannya.
"Udah ih, jangan diliatin. Nanti ge er orangnya," bisik Nayla pelan, menahan malu saat matanya tak sengaja bertemu pandang dengan Reyhan.
Reyhan memiliki kulit putih pucat. Wajah tampannya adalah perpaduan dari garis keturunan keluarganya yang memang rupawan. Hidungnya tidak terlalu mancung, tapi pas dengan wajahnya yang simetris. Matanya kecil dan akan menyipit setiap kali dia tersenyum. Pipi chubby menjadi ciri khasnya, membuat penampilannya terlihat manis. Bibir penuhnya yang sedikit mengilap sering kali menjadi pusat perhatian setiap kali dia berbicara. Rambutnya berwarna cokelat kemerahan alami, sedikit bergelombang, dan sering dibiarkan tampak berantakan. Penampilannya yang unik sering membuat orang mengira dia bukan orang lokal, padahal dia sepenuhnya asli Indonesia.
Usia Reyhan tiga tahun lebih tua dari Nayla. Mereka tinggal saling berhadapan, hanya dipisahkan oleh jalan kecil dan pagar rumah. Namun karena Nayla masuk SD lebih awal satu tahun, jarak kelas mereka hanya terpaut dua tingkat. Nayla kini duduk di kelas sembilan, sementara Reyhan kelas sebelas. Sejak awal perkenalan, Nayla merasa mereka bukan tipe yang cocok untuk dekat. Bukan karena Reyhan tidak menyenangkan, tapi diamnya terasa terlalu hening bagi Nayla yang terbiasa membaca suasana. Ia jadi sering merasa serba salah dan seperti mengganggu. Meskipun begitu, karena hubungan keluarga mereka cukup dekat, mereka tetap saling menyapa ketika tidak sengaja bertemu.
Sekolah mereka berada dalam satu kompleks besar, namun tidak pernah sekalipun mereka mengobrol santai atau berjalan bersama. Jika Reyhan lebih dulu melihat Nayla saat mengendarai motornya, ia hanya menyapa singkat. Sebaliknya, jika Nayla lebih dulu melihat Reyhan, maka dialah yang akan menyapa lebih dulu, meskipun sekilas.
Setelah selesai membeli jajanan, kelima sahabat itu berpisah menuju kelas masing masing di lantai tiga. Nayla sekelas dengan Arkan dan Revan di kelas C, Tania dan Minna berada di kelas D, sementara Della bersama Tirta di kelas A.
----------------
Di dalam kelas, Nayla sudah ditunggu oleh Revan yang duduk di bangkunya sambil tersenyum lebar seperti biasa.
"Nay, liat PR matematika," ucap Revan sambil membantu Nayla melepas tas sekolahnya dan menggantungkan tas bekalnya di samping meja.
"Ada maunya aja lo baik sama gue. Minggir lo," balas Nayla sambil memberi isyarat agar Revan menyingkir dari bangkunya.
"Bareng Mbak Venny tadi?" tanya Arkan pada Revan.
"Nggak, gue bareng Ryan. Dia bawa motor tadi," jawab Revan sambil tersenyum lebar setelah menerima buku PR dari Nayla.
"Udah bener motornya Ryan?" tanya Revan sambil membuka halaman pertama buku itu.
"Udah baru semalam keluar bengkel. Nay lo emang keren. Gue bawa dulu ya bukunya," ucap Revan cepat lalu menarik Arkan menuju bangku mereka. Para cowok itu duduk bersebelahan tapi cukup jauh dari tempat duduk Nayla.
Nayla duduk dengan tenang lalu membuka plastik bungkusan jajanan yang ia beli tadi. Tangannya dengan lincah mengambil sepotong ciki rasa keju favoritnya. Sambil mengunyah, pandangannya terus tertuju ke arah pintu kelas. Pikirannya melayang, tentang esai yang belum juga selesai, tentang topik yang belum matang.
Bersambung...