Nindy tersenyum tipis, meskipun wajahnya terlihat pucat. "Aku nggak apa-apa, Mas. Mungkin cuma kecapean."
Bastian menghela napas. "Aku nggak mau ambil resiko. Besok kita ke rumah sakit lagi, ya?"
Keesokan harinya Bastian mengantarkan Nindy ke rumah sakit, ia diperiksa secara intensif. Meskipun ada beberapa tes yang harus dilakukan oleh Nindy yang tidak bisa langsung diketahui hasilnya.
Setelah beberapa hari kemudian, hasil pemeriksaan dokter keluar. Kabar itu lebih buruk dari yang mereka bayangkan.
"Kondisi istri Anda cukup serius. Dia perlu perawatan intensif dan harus istirahat total," ujar dokter dengan ekspresi prihatin.
Tenggorokan Nindy tercekat, Bastian hanya bisa menggenggam tangan Nindy yang mulai basah karena berkeringat, seolah itu bisa menghentikan beban yang kini dirasakan sang istri . "Seberapa parah, Dok? Apa yang harus kami lakukan?" Tanya Bastian dengan nada cemas.
"Kalau dari hasil yang terlihat disini sepertinya ada sel kanker yang sudah menyebar di tubuh istri Anda. Tetapi jangan khawatir dengan pengobatan yang teratur insyaaAllah sel kanker nya bisa dilumpuhkan. Kami akan melakukan serangkaian terapi dan observasi. Apakah sel kanker yang ada di tubuhnya tergolong berbahaya atau tidak, saran saya lebih baik jika ada perawat khusus yang membantu istri anda di rumah." Jawab dr Yoga yang merupakan spesialis penyakit dalam.
Beberapa hari kemudian Bastian memberitahukan kepada orangtua Nindy tentang kondisi Nindy, dan mereka menyarankan agar Nindy dirawat oleh kerabatnya yaitu sepupu dari Nindy sendiri.
Meskipun Dini sudah lama tidak berhubungan erat dengan mereka, tetapi ia memiliki pengalaman di bidang medis.
"Sayang, bagaimana kalau kita minta bantuan sepupumu untuk merawatmu? Orang tuamu merekomendasikan Dini untuk jadi perawat mu," Ucap Bastian, meminta persetujuan dari Nindy.
"Tapi.., apa tidak apa-apa, mas?"
Awalnya, Nindy merasa ragu, namun ia tak ingin menolak bantuan yang mungkin bisa meringankan beban Bastian.
"Demi kesehatan kamu, asal kamu bisa pulih lagi apapun akan aku lakukan." ucap Bastian, akhirnya ia memutuskan untuk meminta bantuan Dini, sepupu Nindy yang juga seorang perawat.
"Iya, Mas. Bagaimana baiknya aja, aku nurut apa kata, Mas Bastian. Ucap Nindy pasrah.
Beberapa hari kemudian, Bastian membawa Dini ke rumah. "Sayang, liat nih aku sudah membawa seseorang untuk merawat kamu," ucapnya menghampiri Nindy yang sedang duduk di ruang tamu ditemani bi Yati.
"Iya, Mas."
Dini pun menghampiri Nindy dan duduk disebelah Nindy dengan wajah cerah dan penuh antusias. Ia menggenggam lengan Nindy. "Hallo Nind, aku bakal jaga kamu sampai kamu sembuh, ya. Jangan khawatir!"
Nindy tersenyum lemah. "Terima kasih, Din, Aku benar-benar senang dan bersyukur, aku juga menghargai niat baikmu. Semoga aku bisa cepat sembuh, dan pulih lagi," ucap Nindy penuh harap.
"Tentu saja, aku akan membantumu supaya kamu sehat lagi," ucap Dini pada Nindy tetapi matanya malah melirik Bastian.
"Ayo, saya antar ke kamar kamu, Din," ajak Bastian, sambil berjalan ke arah kamar belakang. "Oh iya, Bi, mulai besok kalau pekerjaannya sudah selesai, bibi bisa langsung pulang. Gak usah nunggu saya pulang kerja, sekarang sudah ada sepupunya Nindy yang akan merawat Nindy," ucap Bastian sebelum berjalan menuju kamar tamu yang berdekatan dengan ruang makan.
"Iya, pak," jawab bi Yati penuh hormat.
Dini berjalan di samping Bastian, saking dekatnya tangan mereka nyaris bersentuhan.
Kemudian mereka pun menuju kamar yang diperuntukkan untuk Dini.
"Bu, emang gak apa-apa gitu, sepupunya ibu tinggal disini? kan bapak sama dia bukan mahram. Dan saya kok ngerasa ada yang beda dari tatapan sepupu ibu itu," ucap bi Yati menaruh curiga.
"Gak apa-apa, Bi. Dini itu Kan sepupu saya, gak mungkin dia mau macam- macam. Saya malah lebih nyaman karena di rawat sama saudara sendiri, jadi gak canggung," jawab Nindy tetapi jauh dari lubuk hatinya ada perasaan kurang nyaman, ia merasa ada sesuatu tapi ia tidak tau apa?
"Dia itu masih gadis atau sudah berkeluarga, Bu?"
"Masih single, kenapa memangnya, Bi?"
"Ya, gak apa-apa, Bu. Semoga aja mbak Dini itu beneran tulus dan mau merawat bu Nindy."
Nindy bingung dengan ucapan bi Yati kala itu, dia hanya berpikir mungkin bi Yati keberatan karena dengan begitu gajinya untuk bulan depan tidak akan ditambah oleh Bastian.
Dua hari kemudian..
Bruk ..
"Aduh...," ucap Nindy spontan, Nindy terjatuh karena lantainya licin, ia hanya bisa meringis menahan sakit, merasakan dinginnya lantai yang masih basah. Sebelum terjatuh Nindy oleng dan hilang keseimbangan karena tidak ada sesuatu yang bisa dipegang untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh ke lantai.
"Din..., kamu dimana? Tolong saya..," teriak Nindy, suaranya hampir bergetar karena menahan sakit.
"Ya Allah, ibu kok bisa jatuh, sih? Emang ibu mau apa?" Tiba- tiba Bi Yati datang dari arah depan, ia menghampiri Nindy tampak khawatir.
"Tadinya saya mau ambil minum, Bi. Ini kenapa lantainya licin?" Jawab Nindy masih menahan sakit.
"Astagfirullah, Bu. Tadi itu, Mba Dini yang mengepel, dia bilang, mau bantu saya."
"Dininya sekarang kemana, Bi?"
"Lah, itukan di.." ucapan bi Yati terputus ketika tiba-tiba Dini datang entah dari mana.
"Ya ampun, Nind. Kok bisa jatuh?" kemudian Dini menghampiri Nindy. "Sini, biar aku bantu," ucap Dini sambil mengangkat badan Nindy.
"Aww, sakit, Din. Seperti nya aku gak bisa jalan," keluh Nindy menahan sakit karena sepertinya kakinya terkilir dan tak bisa berdiri.
"Jangan manja, sih, Nind. Masa jatuh gitu aja sampai ga bisa jalan. Kalau sakit ya dilawan jangan dimanja gitu, biar cepat sembuh," ucapnya terlihat peduli tetapi dengan raut wajah yang malas.
Sayup-sayup terdengar suara salam dari luar rumah, Rupanya Bastian baru pulang dari bekerja.
Tak lama Bastian datang menghampiri.
"Ada apa?" Kenapa Nindy, Din?" Tanya Bastian terlihat cemas, karena melihat Nindy duduk di lantai.
"Jatuh, Mas. Aku tadi lagi sholat jadi gak tau kalau Nindy ke dapur."
"Kamu bisa jalan, gak?"
"Kaki ku sakit, Mas. Sepertinya terkilir."
Tanpa menunggu lama Kemudian Bastian menggendong Nindy ke dalam kamar, dan diikuti oleh Dini dari belakang.
"Maafin aku, Mas, mungkin ini salahku. Kalau tadi aku gak membiarkan Nindy jalan sendiri, mungkin gak akan jatuh," ucapnya ketika sudah berada dalam kamar dengan nada menyesal, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang berbeda.
"Gak apa-apa, bukan salah kamu." Ucap Bastian lembut menoleh ke arah Dini yang sedang menatapnya.
"Aku pijat kakinya ya, Sayang," Ucap Bastian sambil mengusap kaki Nindy.
Dini terus saja menatap Bastian tanpa berkedip, ada rasa kekaguman terlihat jelas dari sorot matanya dan Nindy melihat itu.
"Din, Dini? Bisa kamu keluar dari kamar saya?"
Bersambung..