Unduh Aplikasi panas
Beranda / Anak muda / ADRIAN THE OF OBSESSION
ADRIAN THE OF OBSESSION

ADRIAN THE OF OBSESSION

5.0
5 Bab
32 Penayangan
Baca Sekarang

Clara merasa otaknya mulai berputar, mencoba memahami kata-kata Adrian yang terasa ambigu. "Apa kamu bilang? Sejak lama? Kamu sudah mengawasi aku?" Tiba-tiba, Raka melangkah maju, menatap Adrian dengan penuh tekad. "Cukup! Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi kalau kamu nggak berhenti, aku akan membuat kamu menyesal." Namun, kata-kata itu seolah tidak mempan bagi Adrian. "Kamu akan menyesal, Raka. Karena aku tidak bisa membiarkan siapapun mengancam apa yang sudah aku bangun untuk Clara." Diawasi oleh stalker bahkan sudah menikahinya secara diam-diam selama dua tahun? Memiliki banyak mimpi adalah impian masa depan yang Clara inginkan, namun hidupnya selalu dikengkang oleh sang Ayah sejak kecil. Bahkan tidak pernah terlintas dipikirannya untuk menikah, meskipun sahabatnya sudah menyukainya sejak lama.

Konten

Bab 1 01

Langit pagi masih kelabu saat Clara Amara Santoso melangkah keluar dari rumah megah yang menyerupai benteng. Pagar besi tinggi dan kamera pengawas yang tersebar di setiap sudut rumah seolah mengingatkannya bahwa kebebasan hanyalah angan-angan semata.

"Ada yang harus kau ingat, Clara," suara berat Daniel Santoso, ayahnya, bergema di dalam kepala. "Jangan pernah percaya pada laki-laki mana pun."

Clara menghela napas panjang, matanya melirik jam tangan yang menunjukkan pukul 7.00 pagi. Ia memeluk tas selempangnya erat, mencoba mengabaikan dua pria berjas hitam yang mengawalnya hingga ke mobil.

"Selamat pagi, Non Clara," sapa sopir keluarganya dengan senyum ramah, mencoba mencairkan suasana kaku.

Clara hanya mengangguk kecil sebelum masuk ke dalam mobil. Perjalanan ke kampus selalu terasa sunyi. Meski ia memiliki teman-teman, Clara tahu ia tidak pernah benar-benar bebas untuk menikmati kehidupannya. Semua langkahnya diawasi, dan ia tidak pernah tahu kapan ia bisa mengambil kendali atas hidupnya sendiri.

Setelah tiba di kampus, Clara bertemu Elena Pratama, sahabat yang selalu menjadi penghibur di tengah kehidupannya yang terkurung.

"Clara! Aku sudah bilang jangan terlalu serius, kamu bakal kelihatan tua sebelum waktunya!" ujar Elena ceria sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

Clara tersenyum tipis. "Aku nggak serius, kok. Cuma kepikiran tugas kemarin."

"Yakin? Aku rasa ada yang lain, deh. Tapi oke, aku nggak akan maksa," balas Elena, menggandeng tangan Clara. "Raka sudah menunggu di kantin. Dia bawa buku yang kamu cari."

Ketika mereka tiba di kantin, Raka Wijaya sedang duduk sambil membaca buku. Ia tersenyum lebar saat melihat Clara datang.

"Clara, ini bukunya," ucap Raka sambil menyerahkan buku yang dijanjikannya. Matanya menatap Clara dengan lembut, namun ia dengan cepat berpura-pura sibuk agar tidak terlihat terlalu gugup.

"Terima kasih, Raka. Aku nggak tahu gimana kalau nggak ada kamu," kata Clara sambil tersenyum.

"Selalu ada untukmu," gumam Raka pelan, meskipun hanya Elena yang mendengarnya.

Sementara Clara mencoba menikmati suasana bersama kedua temannya, jauh di sudut lain kampus, seorang pria berdiri mengamati mereka dengan tatapan dingin. Tubuhnya tegap dalam balutan jas hitam, wajahnya tidak asing bagi siapa pun yang tahu dunia bawah. Adrian Dirga Wiratama.

"Dia terlihat bahagia," gumam Adrian sambil menyelipkan tangan ke dalam saku celana. Tatapannya melekat pada Clara, wanita yang telah ia cintai selama tiga tahun terakhir.

Namun, bagi Adrian, kebahagiaan Clara adalah sesuatu yang harus ia kendalikan. "Dia milikku, dan hanya aku yang berhak atasnya," bisiknya pelan sebelum berbalik meninggalkan kampus.

Suara tawa Elena memenuhi sudut kantin, menyelingi suasana pagi yang mulai ramai oleh mahasiswa. Clara mencoba menikmati obrolan ringan mereka, meskipun hatinya terasa berat. Ada sesuatu yang mengganggunya sejak pagi tadi, seperti ada sepasang mata yang terus mengawasinya.

"Elena, aku ke perpustakaan dulu, ya," ujar Clara tiba-tiba, membuat Raka dan Elena saling bertukar pandang.

"Perpustakaan lagi? Kamu nggak bosan apa?" tanya Elena sambil melipat tangan.

"Aku cuma butuh tempat tenang," Clara menjawab singkat, menghindari tatapan curiga Elena.

Raka berdiri. "Aku antar. Aku juga ada tugas yang harus diambil di sana."

Clara ingin menolak, tapi Raka sudah mengambil tasnya dan melangkah lebih dulu. Ia hanya bisa mengikutinya tanpa banyak protes.

Namun, sepanjang jalan ke perpustakaan, rasa gelisah Clara semakin menjadi. Langkahnya terasa berat, dan sesekali ia menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa, tapi perasaan itu tetap ada-seolah seseorang sedang mengamati setiap gerakannya.

"Clara, kamu baik-baik saja?" tanya Raka, memecah keheningan.

Clara mengangguk cepat. "Iya, cuma kurang tidur."

Raka ingin bertanya lebih jauh, tapi ia menahan diri. Ia tahu Clara bukan tipe yang mudah berbagi perasaan, dan ia tidak ingin membuatnya semakin tertekan.

Di sudut lain kampus, Adrian memerhatikan Clara dan Raka dari kejauhan. Rahangnya mengeras ketika melihat bagaimana Raka berjalan begitu dekat dengan Clara.

"Dia terlalu dekat," gumam Adrian dengan nada rendah. Jari-jarinya mengetuk permukaan meja di depannya, penuh irama yang mencerminkan pikirannya yang gelap.

Adrian mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat.

"Pastikan dia pulang tepat waktu. Jangan biarkan siapa pun mendekatinya terlalu lama."

Pesan itu ia kirimkan kepada salah satu orang kepercayaannya, yang selama ini ditugaskan untuk mengawasi Clara tanpa sepengetahuannya. Adrian tahu, langkah-langkah kecil ini adalah bagian dari rencananya yang lebih besar.

Setelah beberapa jam berlalu, Clara memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia merasa terlalu lelah untuk mengikuti kelas terakhir. Namun, begitu ia melangkah keluar gerbang kampus, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya.

Pintu mobil terbuka, memperlihatkan seorang pria bertubuh tegap dengan jas rapi. Clara mengenalinya sebagai salah satu orang kepercayaan ayahnya.

"Non Clara, Bapak memerintahkan saya untuk menjemput Anda," katanya singkat, tanpa ekspresi.

Clara mengerutkan kening. "Bukankah aku bisa pulang sendiri?"

"Ini perintah langsung dari Tuan."

Tanpa banyak pilihan, Clara masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan, pikirannya melayang-layang. Ia tahu ayahnya tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan, dan firasat buruk mulai menyelimutinya.

Ketika mobil berhenti di depan rumah, Clara melangkah keluar dengan hati-hati. Di ruang tamu, ayahnya sudah menunggunya. Daniel Santoso duduk di sofa dengan sikap angkuh, ditemani oleh beberapa anak buahnya yang berdiri berjaga di sudut ruangan.

"Clara," panggilnya dengan nada rendah tapi penuh wibawa.

"Iya, Ayah?" Clara menjawab dengan nada hati-hati.

"Aku dengar kamu terlalu sering menghabiskan waktu dengan pria bernama Raka. Apa aku salah?"

Clara tercekat. Ia tidak menyangka ayahnya akan membahas ini.

"Ayah, dia hanya teman-"

Daniel berdiri, menatap Clara dengan tajam. "Tidak ada teman laki-laki dalam hidupmu, Clara. Aku sudah bilang, siapa pun yang mencoba mendekatimu akan berhadapan denganku."

"Tapi aku butuh teman, Ayah!" sergah Clara, suaranya bergetar antara marah dan takut.

"Cukup." Daniel mengangkat tangannya, memotong perkataan Clara. "Aku hanya ingin memastikan tidak ada orang yang akan menyakitimu. Dan aku sudah menemukan seseorang yang bisa melindungimu dengan baik."

Clara mengerutkan kening, merasa bingung dengan pernyataan itu. Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, Daniel melanjutkan.

"Kamu akan segera tahu siapa dia."

***

Clara masih memikirkan ucapan ayahnya semalam. "Aku sudah menemukan seseorang yang bisa melindungimu dengan baik." Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya, membuatnya merasa tidak nyaman. Siapa orang yang dimaksud? Apa ini bagian dari rencana Ayah untuk mengontrol hidupnya lagi?

Ia duduk di meja belajarnya, mencoba fokus pada tumpukan tugas kampus. Tapi otaknya tidak bisa berhenti bertanya-tanya.

"Clara!" suara nyaring Elena dari luar kamar membuyarkan lamunannya.

Clara berjalan ke jendela, melihat sahabatnya melambai dari pagar depan rumah. Ia bergegas turun, meminta izin pada ibunya untuk keluar sebentar.

Di luar, Elena sudah menunggu dengan senyum lebar. "Ayo, aku traktir kopi! Anggap saja sebagai hadiah karena aku berhasil menyelesaikan tugas matematika."

Clara tertawa kecil. "Kamu memang selalu punya alasan untuk traktir, Len."

Elena menggandeng Clara keluar dari rumah, tidak menyadari mobil hitam yang diparkir di seberang jalan. Dari dalam mobil, Adrian duduk dengan tenang, matanya tajam mengawasi setiap gerakan Clara.

"Dia cantik seperti biasa," gumam Adrian dalam hati. Dua tahun pernikahan yang ia rahasiakan darinya terasa seperti pengorbanan yang sepadan. Baginya, Clara adalah puncak obsesinya, wanita yang harus ia lindungi dengan segala cara, meski itu berarti mengontrol setiap aspek hidupnya.

"Pak Adrian, apa kita akan terus mengawasi seperti ini?" tanya salah satu anak buahnya yang duduk di kursi depan.

Adrian tidak menjawab. Ia hanya melirik anak buahnya sekilas sebelum kembali memusatkan perhatian pada Clara yang kini masuk ke dalam kafe bersama Elena.

Di dalam kafe, Clara dan Elena mengambil tempat di sudut ruangan yang tenang. Tidak lama, Raka bergabung dengan mereka, membawa senyuman khasnya.

"Kebetulan banget aku ketemu kalian di sini," ujar Raka sambil menarik kursi.

"Apa benar kebetulan, atau kamu sengaja cari Clara?" ledek Elena sambil tertawa kecil.

Wajah Raka memerah. Ia berusaha mengalihkan perhatian dengan membuka buku yang ia bawa. "Aku cuma mau kasih ini ke Clara. Kamu bilang butuh referensi tambahan untuk tugas arsitektur, kan?"

Clara tersenyum, menerima buku itu dengan senang. "Makasih, Raka. Kamu memang selalu membantu aku."

Di luar, Adrian mengepalkan tangan. Melihat kedekatan Clara dengan pria lain selalu memunculkan rasa cemburu yang membakar dadanya.

"Siapkan rencana," kata Adrian tiba-tiba.

"Rencana apa, Tuan?"

"Raka Wijaya. Aku ingin tahu semua tentang dia. Apa yang dia suka, siapa keluarganya, dan kenapa dia terlalu dekat dengan Clara."

Anak buah Adrian mengangguk. "Akan kami urus, Pak."

Setelah pertemuan singkat di kafe, Clara pulang dengan perasaan lebih baik. Namun, langkahnya terhenti di depan rumah ketika ia melihat sebuah kotak kecil di dekat pintu.

Ia mengambil kotak itu dengan ragu, membaca secarik kertas yang menempel di atasnya.

"Untuk Clara. Dari seseorang yang selalu memikirkanmu."

Jantungnya berdebar. Ia membuka kotak itu dengan tangan gemetar, menemukan sebuah kalung berbandul kecil berbentuk hati di dalamnya. Clara merasa bingung sekaligus khawatir.

"Siapa yang memberi ini?" bisiknya pada diri sendiri.

Di sudut jalan, Adrian memperhatikan dari dalam mobil. Senyumnya tipis, penuh rasa puas.

"Tunggu saja, Clara. Semua yang aku lakukan adalah untukmu."

Clara membawa kotak kecil berisi kalung itu masuk ke kamarnya. Hatinya bercampur aduk antara bingung dan khawatir. Dari siapa benda ini? Siapa yang cukup berani mengirimkan sesuatu ke rumahnya tanpa sepengetahuan ayahnya?

Ia menatap bandul hati itu dengan seksama. Di permukaannya, terukir sebuah inisial kecil yang hampir tidak terlihat: "A".

"'A'? Siapa?" Clara bergumam, mencoba mengingat apakah ia mengenal seseorang yang memiliki inisial itu. Namun, pikirannya tidak menemukan jawaban.

Ketika ia sedang terlarut dalam pikiran, pintu kamarnya terbuka tanpa diketuk. Ayahnya, Daniel Santoso, berdiri di ambang pintu dengan tatapan dingin.

"Apa yang sedang kamu sembunyikan, Clara?" tanyanya, nada suaranya rendah namun mengintimidasi.

Clara langsung menyembunyikan kotak kecil itu di balik punggungnya. "Tidak ada, Ayah. Aku baru saja pulang dan ingin istirahat."

Daniel menatapnya tajam, seolah mencoba membaca pikiran Clara. Ia melangkah masuk ke kamar dan mendekat. Clara merasa seperti rusa yang terpojok, tapi ia mencoba menenangkan diri.

"Kalau begitu, jangan lupa. Besok ada acara makan malam dengan rekan bisnis Ayah. Aku ingin kamu hadir. Tidak ada alasan untuk menolak."

Clara mengangguk pelan. "Iya, Ayah."

Setelah memastikan Clara tidak mengatakan hal lain, Daniel keluar dari kamar, menutup pintu dengan pelan. Begitu ia pergi, Clara mengembuskan napas lega. Ia membuka laci mejanya dan menyembunyikan kotak kecil itu di dalamnya, jauh dari pandangan siapa pun.

Sementara itu, di sebuah ruangan gelap yang penuh dengan layar monitor, Adrian duduk sendirian. Matanya terpaku pada salah satu layar yang menampilkan rekaman langsung dari dalam kamar Clara. Kamera kecil yang tersembunyi di pojok ruangan memberikan Adrian akses penuh untuk memantau setiap gerakan istrinya.

Adrian tersenyum tipis ketika melihat Clara menyembunyikan kotak pemberiannya di laci.

"Dia masih merasa bingung," bisiknya pada dirinya sendiri. "Tapi Clara akan segera tahu bahwa semua ini adalah untuknya. Tidak ada yang bisa melindunginya lebih baik dariku."

Ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat:

"Pastikan tidak ada yang menyentuh rumah Clara malam ini. Laporkan jika ada yang mendekat."

Pesan itu dikirim ke salah satu orang kepercayaannya yang selalu berjaga di sekitar rumah Clara.

Keesokan harinya, Clara menghadiri makan malam yang diatur oleh ayahnya. Acara itu diadakan di sebuah restoran mewah, tempat yang sering digunakan Daniel untuk bertemu dengan rekan-rekan bisnisnya.

Clara merasa tidak nyaman berada di sana. Tatapan penuh kekuasaan dari ayahnya selalu membuatnya merasa tertekan. Namun, ia tetap berusaha menjaga sikap, menghormati nama keluarganya yang memiliki reputasi besar.

Di tengah acara, seorang pria dengan jas hitam masuk ke dalam ruangan. Langkahnya mantap, dan sorot matanya tajam. Clara tidak mengenalnya, tapi ia merasa ada sesuatu yang familiar dari pria itu.

"Adrian!" seru Daniel dengan senyum lebar, berdiri untuk menyambut pria itu.

Adrian? Clara langsung menoleh, menatap pria itu dengan bingung. Ia pernah mendengar nama itu sebelumnya, tapi tidak pernah melihat wajahnya. Adrian terlihat begitu percaya diri, seperti sudah sangat mengenal keluarga ini.

"Adrian adalah rekan bisnis baru Ayah," ujar Daniel pada Clara. "Dia adalah orang yang sangat bisa dipercaya."

Adrian menoleh pada Clara, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Senang akhirnya bisa bertemu denganmu, Clara."

Clara hanya mengangguk pelan, meskipun pikirannya penuh dengan pertanyaan. Siapa sebenarnya Adrian? Dan kenapa tatapan matanya terasa begitu tajam, seolah ia sudah lama mengenalnya?

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 5 05   05-29 12:24
img
1 Bab 1 01
16/05/2025
2 Bab 2 02
16/05/2025
3 Bab 3 03
16/05/2025
4 Bab 4 04
16/05/2025
5 Bab 5 05
16/05/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY