Unduh Aplikasi panas
Beranda / Horor / SENANDUNG KEMATIAN
SENANDUNG KEMATIAN

SENANDUNG KEMATIAN

5.0
5 Bab
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Selama perjuangannya dalam menghidupi dirinya dan sang anak, Mira mendapatkan banyak tantangan saat mencoba menyembuhkan Aluna. Putus asa dengan penyakit anaknya, ia memutuskan untuk mencoba jalan baru agar mereka bahagia. Jalan yang membuat hidupnya tak tenang. Teror yang mengancam nyawa tak bisa dia hindari. 'Saat bulan bersinar terang, berwarna merah darah. Pembantaian pun mulai terjadi.'

Bab 1 Awal

Suara merdu itu menggema di penjuru ruangan. Senandung kecil diiringi dengan suara terompah, saling bersahutan.

Wanita itu tengah merapikan bajunya setelah berhasil memuaskan salah satu pelangganya di lantai atas. Ia berjalan santai menuruni tangga dengan hanya ditemani obor kecil.

Senyum singkat terbit pada bibir itu saat merogoh sejumlah uang di balik kerah kebayanya. Ia berhenti tepat di tangga ketiga belas, kemudian duduk sembari menghitung uang.

Keningnya mengernyit heran saat angin nakal mulai merecoki obornya. Sekejap mata, kemudian menyala lagi. Wanita itu lantas bangkit dari duduknya.

'Di ruangan dengan jendela tertutup, mana mungkin ada angin yang bertiup?' pikirnya sesaat.

Ia menelan ludah lalu berjalan cepat menuruni anak tangga. Bulu kuduknya meremang seketika saat ekor matanya menangkap sosok bayangan hitam tepat berada di belakang wanita itu. Ia semakin mempercepat langkahnya sembari menoleh cemas ke belakang.

Pada tangga ketiga puluh tiga, bayangan hitam itu mendorongnya hingga terjerembat ke anak tangga yang paling bawah.

Kebaya putihnya kini ternodai oleh darah yang mengalir dari kepala hingga leher. Tangannya gemetaran saat jendela kayu itu terbuka sendiri. Angin dari luar menyapu habis debu di dalam ruangan. Di balik jendela, rembulan bersinar terang berwarna merah.

Tubuh berlumuran darah yang semula tengkurap itu, dibalikkan menghadap langit ruangan. Manik matanya menatap terkejut saat sebuah obor di dekatkan pada wajahnya.

Ia mencoba menghalau pergerakan obor itu dengan telapak tangan yang gemetaran seraya menggeleng lemah. Tak berselang lama, teriakan kesakitannya mulai terdengar di keheningan malam.

Kakinya bergerak gelisah menahan sakit. Obor itu tetap tak mau lenyap dari wajahnya. Obor kedua hingga kelima, tiba-tiba datang dan membakar habis tubuh wanita itu.

Tangan dan kakinya tak lagi melawan. Tubuhnya kaku dengan pandangan yang mengarah ke langit-langit ruangan. Wajah itu terlihat mengerikan saat sebagian sisinya terbakar habis hingga menampilkan kulit yang memerah.

Jeritannya semakin memilukan dan perlahan menghilang. Tubuhnya termakan habis oleh api sampai menjadi abu.

Tak! Tak! Tak!

Suara langkah kaki berpacu dengan lantai ruangan itu terdengar semakin dekat. Sebuah tangan yang penuh keriput, meraih segenggam abu dan menaburkannya di atas sebuah lukisan.

Lukisan itu kemudian digantungkannya di dekat lukisan lain yang terlihat samar. Lukisannya terpajang tepat di tangga ketiga belas, tempat wanita itu duduk dan mulai menuruni tangga dengan terburu-buru.

***

"Semoga Bu Mira dan Aluna, nyaman tinggal di apartemennya, yah," ujarnya seraya menampilkan senyum ramah. Mira hanya menanggapi wanita paruh baya itu dengan senyum kecil disertai elusan halus pada puncak kepala Aluna. Sang anak hanya menatap kosong ke depan. Ia memeluk erat boneka terakhir pemberian ayahnya.

Cklek!

Pintu apartemen itu terbuka sesaat setelah Mira mendorongnya ke dalam. Matanya menulusuri setiap jengkal ruangan. Beberapa perabotan ditutupi oleh kain putih. Sudut dindingnya, kini sudah dihinggapi beberapa sarang laba-laba.

Sesekali wanita itu terbatuk saat beberapa debu membuatnya sesak. Ia menuntun sang anak untuk duduk di atas tas pakainnya. Sementara ia mulai membuka satu persatu kain yang menutupi kursi, meja, lemari, dan lain-lain.

Dengan cekatan, ia membuka pintu salah satu kamar dan masuk ke dalamnya. Keningnya mengernyit samar. Teringat akan ucapan sang penyewa apartemen. Saklar di apartemen ini menyakup seluruh ruangan. Jika saklarnya dinyalakan, otomatis semua lampu ruangan juga akan menyala.

Mira meraih handphone-nya yang berada di saku celana. Ia mulai menyalakan senter dan menelusuri setiap sudut kamar.

Wanita itu terpekik kaget saat sesosok makhluk seram dengan rambut semrawutan tengah duduk di atas lemari baju. Tangannya refleks melepas handphone hingga tergeletak di lantai.

Dengan gelagapan ia melihat ke arah lemari tadi. Meraba di lantai dan mencoba mencari benda persegi itu. Gugup, Mira mengarahkan senter ke area atas lemari.

Ia menghela napas lega dan mengusap singkat keringat di keningnya kemudian mengatur degup jantung yang sedari tadi bertalu.

Perlahan keluar dari kamar itu dengan langkah gontai. Saat berada di ambang pintu, matanya tak sengaja menatap pantulan dirinya dalam sebuah cermin yang terletak di samping kiri kamar.

Mira berteriak histeris sesaat melihat darah yang berada di kening, tangan, leher dan bajunya. Wanita itu mundur perlahan seraya mengatur napas.

Ia mengalihkan tatapannya pada area telapak tangan. Matanya membelalak kaget, saat tangan itu bersih tanpa noda darah sedikit pun.

Ia alihkan tatapannya pada cermin itu lagi. Di sana tubuhnya terlihat berlumuran darah. Wanita itu terkekeh kecil dan mendekati cermin itu. Ia menyodorkan telapak tangan mencoba meneliti apakah penglihatannya yang salah atau pantulan cermin itu yang mengada-ngada.

Ia kaget saat ketukan pintu terdengar dari luar. Mira berjalan mendekati pintu dan berhenti sejenak demi mengelus puncak kepala sang anak yang masih duduk terdiam.

Pintu itu dibukanya. Para tetangga apartemennya menatap prihatin pada Mira.

"Bu Mira baik-baik saja, 'kan? Saya Marni tetangga Bu Mira. Tadi sempat kaget denger suara teriakan di sini. Kalau boleh tau, ada apa yah, Bu?" tanya wanita paruh baya itu dengan raut wajah yang khawatir. Ketiga ibu lainnya, mengangguk sembari menatap satu sama lain.

Mira mempersilahkan para ibu itu untuk masuk ke dalam apartemen. Rasanya tak baik jika ia tak mempersilahkan tamunya masuk ke dalam rumah.

Wanita itu memegang lembut lengan Marni lalu berkata, "Maaf membuat kalian panik. Saya baik-baik saja. Hanya terkejut karena seekor serangga tiba-tiba muncul di depan saya." Matanya melirik sekilas ke arah tetangganya yang lain. Ia menampilakan senyum kecil dan mencoba meyakinkan mereka tentang kebohongannya.

Keempat tetangganya mulai berbincang ringan disertai dengan tawa kecil. Perbincangan itu menjadi hening saat Aluna tiba-tiba bersenandung kecil. Gadis itu menyanyikan lirik lagu tempo dulu. Marni dan ibu lainnya saling melirik heran dan menatap Aluna yang tengah bersenandung.

"Em ... Bu Mira, kami pamit dulu yah, Bu." Marni berucap dengan tangan menepuk singkat bahu Mira. Wanita itu memberikan senyum canggung kepada tetangganya kemudian menuntun mereka menuju pintu keluar.

Mira menghela napas sesaat setelah tak mendengar derap langkah kaki di balik pintu apartemennya. Ia berjalan dan berjongkok di depan sang anak yang masih bersenandung.

"Al ... ini mama, Nak," lirihnya sambil menggenggam lembut jemari Aluna yang berada di atas paha gadis itu.

Mira menyisir halus rambut putrinya itu. Tatapannya mengabur saat teringat Aluna yang dulu. Anaknya itu terkenal pemalu, murah senyum dan ramah.

Memorinya kembali memutar peristiwa tentang betapa bahagianya mereka dulu sebelum sang suami meregang nyawa. Kini, ia menjadi single parent dengan Aluna sebagai kekuatannya.

Wanita itu kembali menatap sendu putrinya yang masih bersenandung dengan wajah datar tanpa ekspresi. Mata legamnya tetap melihat kosong ke arah depan.

Air mata Mira luruh saat ia mengecup dalam jemari putrinya. Tak menyangka, jika kebahagian yang dirasakannya dulu harus berakhir menyedihkan seperti ini.

***

"Lampunya tidak bisa dinyalakan, Bu," ungkap tukang listrik itu setelah berusaha memperbaiki lampu yang ada di kamar apartemen. Mira menghela napas gusar. Ini sudah percobaan kelima, tetapi lampu di kamar ini tetap tak mau menyala.

Semua kerusakannya pun sudah diperbaiki, lantas apa masalahnya?

"Ya sudah. Tidak perlu diperbaiki lagi, Pak," ucapnya, berlalu meninggalkan tukang itu sendirian di dalam kamar.

Dalam ruangan gelap, alat-alat besi beradu saat ia merapikan barang-barangnya. Bersiap pergi setelah lelah mencoba menyalakan lampu tersebut.

Tangga yang digunakannya tiba-tiba oleng dan menimpa kepala pria itu. Ia meringis pelan dan bangkit dari duduknya. Memperhatikan sekilas dan mengusap pelan kepala bagian belakang.

Tukang listrik itu menggeleng kemudian melanjutkan aktivitasnya. Bulu kuduknya meremang seketika saat merasakan seseorang tengah lewat di belakang pria itu.

"Bu Mira?" panggilnya tetapi tak ada jawaban.

Ia tersentak kaget saat bahu dan kepalanya didorong ke depan. Akibat kamar yang gelap, pria itu tak dapat melihat sebuah obeng berdiri tegak dengan sendirinya.

Tepat pada area leher, obeng itu menancap hingga menembus ke tengkuknya. Suara pria itu tertahan. Mulutnya mengeluarkan banyak darah. Dalam sekali helaan napas, nyawanya lenyap dari tubuh.

***

Mira tengah memasak air guna membuatkan secangkir kopi yang akan diberikannya pada tukang listrik itu. Ia sedikit melamun, lalu mengernyitkan kening, bingung. Segala pertanyaan berkecamuk di dalam pikirannya.

Lampu yang dipakai oleh si tukang, masih baru. Sudah lima kali mencoba, tetapi tak berhasil memasangnya? Aneh ....

Lamunan Mira buyar saat teko air sudah berbunyi. Perlahan ia meracik kopi dan membawanya ke ruang tamu. Wanita itu duduk sambil membaca majalah. Ia menunggu sang tukang ke luar dari kamar itu.

Kepalanya menengok ke arah kamar, mencoba mencari keberadaan tukang listrik. Beberapa menit menunggu, pria itu belum juga terlihat.

Mira memutuskan untuk pergi ke kamar tersebut. Pintu kamar itu terbuka lebar sampai menampilkan ruangnya yang gelap. Ia berjalan perlahan memasuki kamar.

"Pak Bondan? Apa Anda sudah selesai?" tanyanya dan mulai memasuki kamar.

"Hah!?" Mira kaget saat tak sengaja menginjak sesuatu yang berbulu dan keras. Wanita itu meraba dan bingung akan apa yang ditemukannya.

Ia segera beranjak ke luar kamar dan mencari handphone. Setelah menemukannya, Mira berbalik badan kemudian syok dengan wajah yang berubah pucat.

Wanita itu menggenggam erat handphone dengan kedua tangan yang terkatup di depan dada. Jantungnya berdegup cepat. Ia luruh dan meringkuk di lantai seraya memperhatikan jejak darah di hadapannya.

Angin bertiup membawa senandung sendu Aluna. Sang ibu yang mendengarnya, mengalihkan tatapan ke arah gadis itu.

Sedetik kemudian, ia bangkit dari duduknya dan menghampiri Aluna yang berada di balkon apartemen.

Dengan tergesa-gesa wanita itu membuka jendela kaca apartemen dan langsung menutup mulut sang anak. Napas Mira tersengal. Ia memperhatikan sekitar, berharap tak ada yang mendengar senandung itu lagi.

Aluna masih terdiam dengan tatapan kosongnya, melepaskan tangan sang ibu, kemudian berbalik menatapnya.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 5 Penyiksaan   Hari ini09:38
img
1 Bab 1 Awal
30/04/2025
2 Bab 2 Takut
30/04/2025
3 Bab 3 Instan
30/04/2025
4 Bab 4 Diculik
30/04/2025
5 Bab 5 Penyiksaan
30/04/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY