Sukmadevi merasa terhina dan tidak dihargai, apalagi di depan banyak orang yang sekarang memandanginya dengan rasa penasaran. Ia berdiri tegak, mencoba menahan emosi yang meluap, namun suaranya tetap terdengar keras ketika dia berbicara, "Lo, nggak perlu membentak gue seperti itu! Gue juga manusia yang punya perasaan!"
Orang-orang di sekitar mereka mulai memperhatikan pertengkaran itu, beberapa di antaranya mencoba untuk tidak terlalu memperhatikan, namun tidak bisa tidak melihat ketegangan yang terjadi di antara mereka berdua.
'Sakitnya paling nggak seberapa yang dirasakan tuh, cowok. Ketimbang malu yang harus diterima gue sekarang. Semua mata menatap gue. Seolah gue pelaku tabrak lari.' batin Sukma kesal melihat dirinya diperlakukan kasar oleh seorang pria yang ada di depannya.
"Hei, Mas! Lo tuh, cewek apa cowok sih? Segitu aja cengeng banget. Sampe menarik perhatian banyak orang. Nggak malu lo, jadi cowok, kok ban–ci," kata Sukma kasar membalas dengan nada yang setajam dengan tatapan pria itu.
"Eh ... ini cewek kurang a-jar juga, ya. Bukannya minta maaf, malah balik nantangin," sahut pria itu sambil berdiri, membalas tajam tatapan mata Sukma dengan nada yang meninggi dan penuh emosi. Posisi tubuhnya yang tegak dan tatapan matanya yang tajam menunjukkan kesal dan ketidaksabarannya.
"Lo, emangnya mau apa? Mau gue ganti rugi?" suara Sukma sedikit meninggi, lalu terdiam sejenak. "Wah, jangan-jangan ini modus kejahatan terbaru. Pura-pura jatuh ketabrak, pura-pura parah, trus ujung-ujungnya minta duit. Iya, 'kan? Ngaku aja!" Sukma semakin murka, tatapannya tajam menantang cowok itu.
"Udah, Mbak, Mas, damai-damai aja. Nggak enak diliatin banyak orang," sahut seorang bapak yang menghampiri dan mencoba menengahi mereka dengan nada yang santun dan bijak. Ia berharap bisa merasakan ketegangan antara Sukma dan pria itu.
"Dasar cewek se–deng. Dia yang salah, malah dia yang mencak-mencak. Berobat, Mbak. Jangan lupa minum obatnya! Lagi kumat, ya?" sahut pria itu dengan nada kasar sambil menggelengkan kepala dan berlalu meninggalkan Sukma.
Kaki kanannya terlihat terpincang-pincang karena rasa sakit yang menusuk. Setiap langkahnya terlihat berat, seolah-olah ia berusaha menahan rasa sakit yang tajam.
Sukma memandanginya dengan campuran rasa antara marah dan iba, namun pria itu tidak menoleh ke belakang, terus berjalan menjauh dengan langkah yang pincang dan terasa sangat berat.
Bapak itu mengangkat suara, "Udah-udah, pada bubar semua!"
Kerumunan orang yang penasaran mulai berhamburan, kembali ke aktivitas masing-masing sambil sesekali menoleh ke belakang dengan rasa ingin tahu yang masih membara.
Sukma tersenyum ramah. "Terima kasih ya, Pak."
Suaranya lembut dan sopan, sangat kontras dengan sikapnya yang marah beberapa saat sebelumnya. Orang mungkin akan berpikir bahwa Sukma memiliki kepribadian yang bipolar atau memang sedang mengalami perubahan emosi yang ekstrem. Namun, yang jelas, Sukma mampu menunjukkan dua sisi yang sangat berbeda dalam dirinya.
Perubahannya sangat signifikan. Orang tidak akan menyangka wanita yang sekarang berbicara, bisa bertindak brutal seperti tadi.
"Mbak, aman, 'kan?" sahutnya lagi sambil mengamati Sukma dengan penuh perhatian dan memastikan, apakah Sukma benar-benar baik-baik saja.
Sukma tersenyum tipis. "Iya, Pak. Saya aman. Jangan khawatir."
Bapak itu mengangguk, tatapannya masih terpaku pada Sukma dengan seksama, seolah-olah memastikan bahwa yang berdiri di depannya memang benar-benar Sukma, bukan sosok lain yang mengambil bentuknya.
Sukma tersenyum dan kembali menegaskan kata-katanya dengan santai namun tegas, "Aman, Pak. tenang aja, cowok kayak gitu emang harus dikasih pelajaran, biar nggak tuman. Masak sama cewek kasar banget? Bisa jadi kebiasaan nantinya."
Bapak itu mengangguk, dirasanya wanita itu dalam keadaan baik. Sebelum meninggalkan Sukma, ia pun berkata, "Baiklah, kalau begitu. Kalau butuh apa-apa, jangan ragu untuk bilang, ya?"
Sukma menganggukan kepalanya dan tersenyum, sambil memandang bapak itu pergi.
"Uh ... dasar cowok nggak ada otaknya. Cuma masalah sepele, masak ngajakin ribut. Dulu mamanya ngidam apa, ya? Sampe ngeluarin makhluk modelan kayak gitu. Kalo dimuseumkan juga, kayaknya nggak akan diterima. Ini makhluk harus dibina ... bi-na-sa-kan. Hahaha."
Sukma berjalan sambil menggerutu, menuntun sepedanya menuju minimarket terdekat. Ia membutuhkan minuman dingin untuk menghilangkan rasa lelah dan stres setelah kejadian tadi. Ia ingin mencari minuman yang bisa membuatnya merasa lebih baik. Tenaganya sudah habis terkuras semua. Marah-marah seperti orang gi–la, dan malunya sampe ke ubun-ubun.
'Dasar cowok gak tau diri,' gumamnya dalam hati, masih merasa kesal dan malu karena telah dibentak di depan banyak orang.
"Kalo gue ketemu lagi ama tuh, cowok. Gue pi--tes abis, kayak kutu, sampe nggak tersisa lagi darahnya," sahut Sukma kesal.
Setelah sampai di depan minimarket, Sukma istirahat sejenak, duduk sambil merebahkan diri di bangku, tangannya mengepal. "Dasar cowok be reng sek!" gerutu Sukma sambil menendang-nendangkan kaki.
"Ganteng sih. Tapi ogah ah, sama cowok kayak gitu. Meski dunia udah nggak ada cowok lagi, cuma ada dia, gue mah, masih mendingan jomblo seumur hidup daripada sama, tuh kutu ku-pret," sahut Sukma kesal, mengingat kejadian tadi.
"Baru seumur-umur lihat cowok kayak gitu. Ih ... amit-amit, jangan sampe ketemu lagi," kata Sukma berdiri dan masuk ke dalam minimarket.
Berjalan menyusuri minuman dingin yang ada di lemari pendingin.
"Mm ... yang mana, ya? Ini bukan ... ini bukan. Nah, ini dia yang dicari. Suka sembunyi di belakang aja kalo lagi dicari. Mau main petak umpat, ya?" Sukma berbicara sendiri sambil mengambil beberapa botol untuk stok di kosannya.
Kemudian ia beralih menyusuri rak yang berisi roti-roti, ia mengambil roti sobek yang disukainya dan mengambil beberapa varian rasa, buat stok.
Tiba-tiba, Sukma melihat seorang wanita tua yang sedang kebingungan. 'Kenapa, tuh Ibu? ... kayaknya lagi gelisah? Kenapa, ya? Kok pucet banget.' pikir Sukma dalam hati yang membuatnya melangkah mendekati ibu paruh baya itu dengan rasa iba.
"Maaf, Bu. Ada yang bisa Sukma bantu? Apakah Ibu sakit?" Sukma bertanya dengan penuh perhatian.
"Eh, Nak ... Dompet Ibu kecopetan, Ibu bingung harus gimana. Mana pulsa Ibu habis, mau pulang gak ada uang," sahutnya dengan nada memelas.
Sukma menatap ibu itu dengan iba, seolah ikut merasakan apa yang dialaminya. Perlahan ia mencoba menuntunnya untuk duduk dan menenangkannya, "Ibu, yang sabar, ya," katanya lembut.
Sukma tersenyum dan sesekali menepuk lembut tangannya. Terlihat wajah yang sedih dan sedikit pucat. Sukma kemudian berdiri dan berinisiatif membelikan makanan ringan untuk bisa dimakan olehnya.
Sukma beranjak ke arah kasir untuk membeli sesuatu, dan kemudian memberikan makanan ringan kepadanya. Ibu itu terlihat terkejut, namun ia tetap menerima dan memakan roti serta minum teh tanpa banyak bicara.
Sukma memperhatikannya dengan penuh iba, sambil berpikir. 'Kasihan amat Ibu ini? Kemana keluarganya, ya?'
Sesekali, Sukma mencoba mencairkan suasana dengan candaan kecil, membuat wanita itu tertawa. Setelah terlihat lebih tenang, dengan lembut dan penuh perhatian Sukma bertanya. "Gimana, Bu? Udah mendingan?"
Ia tersenyum. "Sudah, Nak. Terima kasih, ya," katanya dengan nada yang lebih santai.
Sukma tersenyum, membalas senyumannya, dan berkata, "Sama-sama, Bu. Senang bisa membantu Ibu."
Sukma memang paling pintar menghidupkan suasana, saking pintarnya Sukma sanggup membuat onar seperti tadi, saat tabrakan.
"Oh iya, bagaimana, Bu? Apakah Ibu mau saya antar atau ... saya pesankan Grab?" tanya Sukma dengan ramah.
"Sekali lagi, terima kasih kasih, ya. Ibu sangat beruntung bisa ketemu kamu ...," sahutnya sambil menatap Sukma dengan tatapan yang dalam, talembut.
Ia kemudian melanjutkan kata-katanya. "Beruntungnya pria yang bisa menjadi pendamping kamu. Mm ... kalo kamu mau, jadi mantu Ibu aja, ya?"
Ibu itu tersenyum yang kemudian mengelus rambut panjang Sukma yang duduk di sampingnya.
"Ah, Ibu bisa aja. Mana mau anak Ibu sama saya," sahut Sukma lembut yang kemudian mengalihkan pembicaraan, "Jadinya gimana, Bu?"
Akhirnya ia meminjam ponsel Sukma untuk menghubungi anaknya agar menjemputnya.
Tidak terasa, mereka berbicara panjang lebar, hingga akhirnya sebuah Pajero hitam memasuki parkiran. Ibu itu langsung tersenyum lega ketika melihat mobil anaknya datang.
Tiba-tiba seorang pria turun dari mobil. Ia memiliki tubuh yang tinggi dan atletis, dengan wajah yang tampan dan berwibawa. Rambutnya yang hitam dan rapi dipotong pendek, menambah kesan maskulin pada dirinya.
Kemeja yang ia kenakan berwarna putih dengan lengan panjang, membuatnya terlihat rapi dan profesional. Namun, ada sesuatu yang familiar tentang pria itu, sesuatu yang membuat Sukma merasa seolah-olah ia pernah melihatnya sebelumnya, tapi tidak bisa mengingat dengan jelas karena melihatnya dari kejauhan.
Pria itu memiliki senyum yang hangat dan ramah, tapi ada sedikit kesan misterius di balik senyumnya, membuatnya terlihat lebih menarik dan membuat Sukma penasaran tentang siapa sebenarnya pria itu.
Ketika ibu itu menghampirinya dan hendak pergi, Sukma tiba-tiba melihatnya berbisik kepada anaknya, dan kemudian, wanita itu menoleh ke arah Sukma dengan pandangan yang aneh ....
***
"Don't judge a book by its cover."