Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Kontrak Ranjang: Tuan & Asisten"
Kontrak Ranjang: Tuan & Asisten"

Kontrak Ranjang: Tuan & Asisten"

5.0
9 Bab
74 Penayangan
Baca Sekarang

Ketika Livia menandatangani kontrak kerja sebagai asisten pribadi CEO dingin dan dominan, Raynald Hartanto, ia tak menduga ada klausul tersembunyi dalam kontrak itu. Perjanjian intim, penuh eksplorasi, batasan yang kabur antara kerja dan kenikmatan. Tapi siapa yang akan tunduk lebih dulu: sang bos atau sang asisten? Cerita "Kontrak Ranjang: Tuan & Asisten" adalah karya fiksi. Semua tokoh, nama, tempat, peristiwa, dan situasi yang digambarkan dalam cerita ini hanyalah hasil dari imajinasi penulis. Jika terdapat kesamaan dengan kejadian nyata atau individu tertentu, hal tersebut sepenuhnya kebetulan dan tidak disengaja. Cerita ini ditujukan semata-mata untuk hiburan dan tidak bermaksud menyinggung pihak mana pun.

Konten

Bab 1 Tinta yang Tak Terlihat

Hujan menyapu kaca jendela gedung pencakar langit di kawasan bisnis elit Jakarta. Di lantai 37, suasana kantor Hartanto Group tampak hening dan kaku, mencerminkan reputasi sang pemilik yang dikenal nyaris tanpa ekspresi: Raynald Hartanto.

Livia Rahadian menggenggam tas kerjanya dengan gugup. Ini hari pertamanya bekerja sebagai asisten pribadi CEO. Ia telah melalui proses seleksi yang ketat tiga wawancara, dua psikotes, dan satu uji loyalitas yang nyaris membuatnya menyerah.

"Livia Rahadian?" Seorang wanita berpenampilan rapi, sekretaris senior bernama Nadya, menyapanya.

Livia mengangguk. "Ya, saya."

"Sebelum kamu mulai bekerja, kamu harus menandatangani kontrak kerja langsung dengan Tuan Raynald. Beliau tidak mempercayakan hal seperti ini pada HR. Ayo, saya antar."

Livia terkejut, tapi mengangguk patuh. Ia mengikuti Nadya menyusuri koridor yang mewah namun dingin, hingga akhirnya berhenti di depan pintu hitam besar. Nadya mengetuk dua kali.

"Masuk," suara berat dan dingin terdengar dari dalam.

Pintu terbuka. Di balik meja kayu hitam mengkilap, duduklah pria yang selama ini hanya Livia lihat di berita bisnis dan majalah Forbes: Raynald Hartanto.

Tinggi. Dingin. Tegas. Dan terlalu tampan untuk jadi nyata.

Livia menelan ludah.

Raynald tidak langsung melihatnya. Ia menandatangani beberapa berkas, sebelum akhirnya mendongak dan menatap mata Livia dengan tatapan setajam silet.

"Kau yang lolos seleksi. Duduk."

Livia duduk, menjaga tubuhnya tetap tegak meski lututnya lemas. Tangannya gemetar saat Raynald menyodorkan selembar dokumen.

"Bacalah sebelum menandatangani. Itu bukan kontrak kerja biasa."

Livia membuka dokumen itu. Isinya seperti biasa deskripsi pekerjaan, jam kerja, klausul kerahasiaan. Tapi ada satu halaman terakhir yang kosong, hanya ada tanda tangan Raynald dan sebuah ruang untuk tanda tangannya sendiri.

"Apa ini bagian dari dokumen juga?" tanyanya pelan.

Raynald menatapnya dalam-dalam. "Itu adalah klausul kesetiaan."

"Kesetiaan?" Livia mengerutkan dahi.

Raynald tidak menjawab. Ia hanya mengambil pena tinta hitam dari laci mejanya dan menyodorkannya.

"Gunakan pena ini. Tanda tangani."

Livia ragu. Tapi sesuatu dalam suara pria itu-keras tapi memikat-membuatnya mengangkat pena dan menulis namanya di atas kertas kosong itu. Begitu ujung pena menyentuh kertas, tinta tampak menyala sebentar... lalu menghilang.

Livia menatapnya dengan bingung. "Tinta itu... menghilang?"

Raynald menyeringai tipis. "Tidak menghilang. Hanya terlihat oleh mata yang tahu mencarinya."

Jantung Livia berdetak lebih cepat.

"Mulai hari ini, kamu bekerja untukku. Tidak hanya sebagai asisten, tapi juga sebagai... pemegang kontrak pribadi. Aku tidak suka kekacauan. Aku tidak suka penolakan. Dan yang paling penting," Raynald berdiri, mendekatinya perlahan. Nafasnya hangat di dekat telinga Livia. "Aku tidak suka asisten yang melanggar perintah."

Tubuh Livia membeku. Wajah Raynald begitu dekat. Terlalu dekat.

"Mulai malam ini, kamu tinggal di unit apartemen di lantai 40, tepat satu lantai di atas ruang kerjaku. Kau akan menerima panggilan kapan pun aku membutuhkanmu. Baik siang... maupun malam."

Livia mencoba menjawab, tapi suaranya hilang.

Raynald menarik diri, lalu kembali duduk. "Kamu bebas mundur sekarang. Tapi jika kamu keluar dari ruangan ini, semua data pribadimu akan dilenyapkan dari dunia. Seolah kamu tak pernah ada di perusahaan ini. Konsekuensinya... rahasia."

Matanya tak bergurau.

Livia menggigit bibir bawahnya. Tubuhnya masih kaku, tapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang aneh seperti rasa takut yang berpadu dengan rasa penasaran... dan ketertarikan. Ia menatap pria di depannya. Raynald bukan pria biasa. Ia berbahaya. Dan entah mengapa, bagian dari dirinya ingin tahu seberapa jauh bahaya itu bisa membawanya.

"Aku... tetap di sini."

Raynald tersenyum tipis, dan itu pertama kalinya senyumnya terlihat seperti godaan.

"Bagus. Maka kita mulai pelatihanmu malam ini."

"Malam ini?" Livia meneguk ludah.

"Jam sembilan. Di apartemenku. Bawalah tubuhmu... dan keberanianmu."

Raynald kembali sibuk dengan dokumen, seolah percakapan itu tidak pernah terjadi.

Livia berdiri dengan tubuh gemetar, lalu keluar dari ruangan dengan langkah pelan.

Di balik pintu yang tertutup, Raynald menyentuh halaman kosong yang telah ditandatangani Livia. Tinta yang tak terlihat kini menyala merah samar di bawah cahaya meja kerjanya.

"Selamat datang, Livia Rahadian. Permainan dimulai."

Langkah Livia terasa berat saat ia keluar dari ruang kerja Raynald. Nadya menyambutnya dengan ekspresi netral, seolah tak ada yang aneh terjadi barusan.

"Kau sudah menandatangani?" tanyanya ringan.

Livia mengangguk, walau hatinya terasa seperti diikat simpul.

"Bagus. Aku akan antar kamu ke unit apartemen yang disediakan. Barang-barangmu sudah dipindahkan dari rumah kos, seperti permintaan Tuan Raynald."

Livia terdiam. Permintaan Tuan Raynald-kata-kata itu mulai terdengar seperti perintah ilahi di gedung ini.

Lift membawa mereka ke lantai 40, dan saat pintu terbuka, Livia langsung disambut oleh lorong senyap berkarpet abu gelap. Hanya ada dua pintu di lantai ini, masing-masing di ujung lorong berlawanan. Nadya menunjuk pintu sebelah kanan.

"Ini unitmu. Di sebelah sana, apartemen Tuan Raynald. Jangan pernah mengetuk kecuali ia memanggil."

Livia mengangguk. Nadya menyodorkan kartu akses.

"Gunakan ini untuk masuk ke lantai ini. Hanya kamu dan Tuan Raynald yang memilikinya."

Setelah Nadya pergi, Livia membuka pintu apartemennya.

Ruangannya... luar biasa.

Interior bergaya minimalis, dominasi putih dan hitam, dengan lampu gantung berbentuk bulat menyala lembut. Di sudut, ada rak buku kaca, satu set sofa kulit, dan kamar tidur utama dengan jendela besar menghadap kota. Semua tampak rapi. Terlalu rapi. Terlalu sunyi.

Livia melangkah masuk perlahan. Ia meletakkan tasnya di sofa dan menatap pantulan dirinya di kaca.

Apa yang sudah aku tanda tangani? pikirnya.

Ia mencoba membuka kontrak kerja di tasnya dan melihat halaman terakhir yang ia tanda tangani. Kosong. Tak ada bekas tinta. Ia mengusapnya dengan jarinya, berharap ada yang berubah, tapi tidak.

Yang tersisa hanyalah rasa... tidak pasti.

Malam tiba lebih cepat dari yang ia harapkan.

Jam delapan lima puluh sembilan, Livia berdiri di depan pintu apartemen Raynald. Jantungnya berdetak seperti genderang perang. Ia mengenakan blus satin hitam dan celana panjang putih sesuai instruksi dari Nadya sebelumnya. Tidak terlalu formal. Tidak terlalu santai. Tapi cukup... terbuka untuk membuatnya merasa telanjang.

Ia menarik napas dalam-dalam dan mengetuk.

Pintu terbuka sebelum ketukan ketiganya selesai.

Raynald berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja putih dengan dua kancing atas terbuka, lengan digulung hingga siku. Rambutnya sedikit berantakan, seolah baru mandi, dan wangi tubuhnya... wangi maskulin yang hangat dan menusuk indra.

Ia memandangi Livia dari atas ke bawah. Matanya mengamati seperti pemahat menilai patung baru.

"Masuk."

Livia melangkah masuk. Ruangan dalamnya mirip dengan apartemennya, tapi jauh lebih megah. Lantai marmer hitam. Lampu gantung kristal. Sofa abu yang tampak seperti tidak pernah disentuh. Di tengah ruangan, ada meja kayu besar dengan satu kursi di depan... dan satu di belakangnya.

"Duduk."

Raynald berjalan ke sisi seberang meja dan duduk. Livia mengikuti, berusaha tak menunjukkan kegugupannya. Tapi ia tahu-mata pria itu bisa mencium kegugupan seperti binatang buas mencium darah.

"Aku ingin memperjelas sesuatu sebelum kita melangkah lebih jauh," katanya tenang. "Kontrak kita memiliki dua lapisan."

"Lapisan?" Livia memiringkan kepala.

"Lapisan pertama adalah pekerjaan. Jam kerja, agenda, urusan bisnis. Formal."

Livia mengangguk pelan.

"Lapisan kedua," Raynald mencondongkan tubuh ke depan, "adalah kesetiaan tanpa pertanyaan. Kepatuhan tanpa penolakan. Aku tidak akan menyentuhmu... kecuali kau membiarkanku. Tapi jika kau membuka pintu itu, kau harus siap untuk menutup semua pintu yang lain."

Matanya menyorot tajam, serius.

Livia menelan ludah. "Kenapa saya?"

"Kau bukan wanita pertama yang bekerja di sini. Tapi kau satu-satunya yang... tidak mundur setelah membaca mata saya."

"Apakah semua asistenmu menandatangani kontrak... yang tak terlihat itu?"

Raynald tertawa kecil. "Tidak. Sebagian tak layak. Sebagian tak cukup... berani."

Sunyi menguasai ruangan.

Livia merasa seperti sedang berdiri di ujung jurang. Satu langkah lagi, dan ia akan jatuh ke dalam dunia yang belum pernah ia sentuh-dunia di mana logika bukan lagi raja, dan kendali bukan lagi miliknya.

Raynald berdiri, lalu berjalan mendekatinya. Jarak mereka hanya beberapa inci saat ia bicara pelan.

"Aku tidak memaksamu, Livia. Tapi jika kau menyerahkan dirimu malam ini... maka mulai besok, kau tidak akan jadi asisten biasa lagi."

Tangannya menyentuh rambut Livia, mengusap lembut helaiannya. Livia terdiam. Tubuhnya tidak mundur. Ia bisa mencium aroma tubuh Raynald, mendengar detak napasnya yang tenang tapi mengancam.

"Sampaikan jawabanmu malam ini. Aku akan menunggu di ruang atas."

Raynald melangkah pergi, meninggalkan Livia sendiri di ruang tamunya yang terlalu megah dan terlalu sunyi. Detik-detik terasa seperti jam. Ia duduk di sofa, memejamkan mata.

Dalam hati, ia tahu... ia tak sedang bermain dengan pekerjaan. Ia sedang bermain dengan dirinya sendiri.

Dan mungkin, sudah terlalu terlambat untuk mundur.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY