Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Mencari Seorang Gadis Selama 20 Tahun
Mencari Seorang Gadis Selama 20 Tahun

Mencari Seorang Gadis Selama 20 Tahun

5.0

Pencarian Axel di Indonesia sayangnya tidak berjalan mulus. Dia diculik dan akhirnya ditawan oleh anak buahnya sendiri. Axel Narendra, CEO tampan berdarah campuran itu terpaksa kembali datang ke Indonesia demi menemukan seorang gadis yang menggetarkan hatinya 20 tahun silam. Akankah Axel berhasil menemukan gadis 20 tahun silam itu? Apakah Axel berhasil membasmi para pengkhianat di seluruh perusahaannya yang tersebar ke berbagai negara?

Konten

Bab 1 meninggalkan tanah kelahirannya

Jakarta menyambut Axel Narendra dengan kehangatan yang ironis. Udara tropis yang lembap, hiruk pikuk jalanan yang tak pernah tidur, semuanya terasa asing sekaligus familier. Dua puluh tahun telah berlalu sejak ia meninggalkan tanah kelahirannya, membawa serta kepingan kenangan tentang seorang gadis kecil berlesung pipit yang berhasil mencuri hatinya dalam sekejap. Kini, Axel kembali, bukan hanya untuk mencari jejak masa lalu yang dirindukannya, tetapi juga untuk membasmi kanker pengkhianatan yang menggerogoti kerajaan bisnisnya dari dalam.

Di balik fasad CEO sukses yang dingin dan berwibawa, Axel menyimpan bara kerinduan yang tak pernah padam. Pertemuan singkat dengan gadis itu di sebuah desa terpencil saat ia masih remaja telah membekas begitu dalam. Senyumnya yang polos, tatapan matanya yang penuh kehangatan, semuanya terukir jelas dalam benaknya. Ia bahkan tak pernah tahu namanya, hanya panggilan sayang yang terucap dari bibir gadis itu yang terus terngiang: "Mentari Kecilku."

Namun, kepulangannya kali ini juga diliputi awan gelap. Informasi yang diterimanya beberapa minggu terakhir sungguh mengkhawatirkan. Ada infiltrasi besar-besaran di berbagai lini perusahaannya, dari sabotase kecil hingga kebocoran informasi penting. Intelijen pribadinya mengarah pada keterlibatan orang-orang terdekatnya, orang-orang yang selama ini ia percaya dan andalkan.

Langkah pertama Axel adalah menjejakkan kaki di kantor pusatnya di Jakarta. Gedung pencakar langit yang menjulang angkuh itu seharusnya menjadi simbol kejayaannya, namun kini terasa seperti sarang musuh yang siap menerkam. Ia disambut oleh jajaran direksi dengan senyum formal dan tatapan yang sulit dibaca. Di antara wajah-wajah itu, Axel mencoba mencari tanda-tanda pengkhianatan, namun semuanya tampak lihai menyembunyikan niat mereka.

Pertemuan pertama dengan tim inti kepercayaannya berlangsung tegang. Laporan-laporan yang disajikan tampak sempurna di permukaan, namun Axel merasakan ada yang ganjil. Pertanyaan-pertanyaannya yang tajam dijawab dengan evasif atau alibi yang terlalu rapi. Instingnya sebagai seorang pemimpin bisnis yang handal berteriak, ada sesuatu yang sangat salah.

Malam harinya, Axel memutuskan untuk menyendiri di penthouse apartemennya. Pemandangan gemerlap kota di bawah sana tak mampu menghibur kegelisahannya. Ia membuka kembali sebuah kotak kayu kecil yang selalu menemaninya dalam setiap perjalanannya. Di dalamnya tersimpan sebuah foto buram seorang gadis kecil dengan senyum menawan dan lesung pipit yang manis. "Mentari Kecilku," bisiknya lirih, "aku harap kau masih ada di suatu tempat di negeri ini."

Keesokan harinya, Axel memulai pencariannya secara diam-diam. Ia menyewa tim investigasi independen yang tidak terafiliasi dengan perusahaannya untuk melacak keberadaan gadis dari masa lalunya. Ia hanya memiliki sedikit petunjuk: sebuah desa kecil di Jawa Tengah dan perkiraan usianya saat ini. Pencarian ini seperti mencari jarum di tumpukan jerami, namun Axel bertekad tidak akan menyerah.

Di tengah kesibukannya mencari jejak masa lalu, ancaman dari dalam perusahaannya semakin nyata. Beberapa proyek penting mengalami penundaan misterius, dan informasi rahasia mulai bocor ke kompetitor. Axel merasa seperti sedang bermain catur dengan lawan yang tak terlihat, yang bergerak dalam kegelapan dan selalu selangkah lebih maju.

Suatu malam, saat Axel sedang mempelajari laporan keuangan di ruang kerjanya, tiba-tiba lampu padam. Suasana hening mencekam, hanya suara napasnya sendiri yang terdengar. Ia merasakan kehadiran orang lain di ruangan itu, bukan sebagai tamu, melainkan sebagai penyusup. Dengan sigap, Axel meraih pistol yang selalu tersimpan di laci mejanya.

"Siapa di sana?" serunya, suaranya menggelegar memecah kesunyian.

Tidak ada jawaban. Kegelapan terasa semakin pekat, menyelimuti setiap sudut ruangan. Tiba-tiba, Axel merasakan sentuhan dingin di tengkuknya. Sebuah kain basah membekap mulut dan hidungnya, membuatnya sulit bernapas. Ia meronta sekuat tenaga, namun tubuhnya terasa semakin lemas. Aroma kloroform menyeruak, memenuhi paru-parunya.

Sebelum kesadarannya benar-benar hilang, Axel sempat melihat samar-samar beberapa sosok bertopeng memasuki ruangan. Mereka bergerak cepat dan terorganisir, jelas bukan amatiran. Axel mencoba melawan, namun pengaruh obat bius terlalu kuat. Kegelapan pun menelannya sepenuhnya.

Axel terbangun dengan kepala berdenyut nyeri dan tenggorokan kering. Ia mendapati dirinya terbaring di sebuah ruangan sempit dan pengap. Tangannya terikat kuat ke belakang kursi, dan kakinya juga diikat erat. Cahaya remang-remang dari sebuah lampu bohlam kotor di sudut ruangan hanya menambah kesan suram dan mencekam.

Ia mencoba mengingat apa yang terjadi, kilasan kejadian semalam berputar di benaknya. Penyusup, kloroform, kegelapan. Ia diculik.

Rasa dingin menjalari tulang punggungnya. Siapa yang berani menculiknya? Apakah ini ada hubungannya dengan pengkhianatan di perusahaannya? Atau adakah musuh lama yang kembali mengancam?

Tak lama kemudian, pintu besi berderit terbuka. Beberapa pria bertubuh tegap dengan wajah tanpa ekspresi memasuki ruangan. Di belakang mereka, seorang pria dengan setelan jas mahal dan senyum sinis di bibirnya ikut masuk. Axel mengenali wajah itu. Reno, salah satu orang kepercayaannya, wakil direktur yang selama ini selalu tampak loyal dan mendukungnya.

"Selamat pagi, Bos," sapa Reno dengan nada mengejek. "Bagaimana tidurmu?"

Axel menatap Reno dengan tatapan tajam penuh amarah. "Reno? Apa maksud semua ini?"

Reno tertawa pelan. "Maksudnya jelas, Axel. Kekuasaan itu terlalu berharga untuk disia-siakan. Dan kau, dengan segala kesuksesanmu, telah menghalangiku."

"Kau... kau pengkhianat!" desis Axel, merasakan amarahnya mendidih.

"Pengkhianat? Atau justru kau yang terlalu naif mempercayai orang sepertiku?" balas Reno, mendekat dan berjongkok di depan Axel. "Selama ini aku selalu berada di bawah bayang-bayangmu. Sekarang, saatnya aku mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku."

Reno menjelaskan dengan dingin bagaimana ia dan beberapa orang lainnya telah merencanakan semua ini sejak lama. Mereka memanfaatkan posisi mereka di perusahaan untuk melakukan sabotase dan mencuri informasi, dengan tujuan untuk menjatuhkan Axel dan mengambil alih kekuasaan.

"Kau tahu, Axel," lanjut Reno, "pencarianmu yang sia-sia itu sangat membantu rencanaku. Kau terlalu fokus pada masa lalumu, sehingga tidak menyadari bahaya yang mengintaimu dari dekat."

Axel terkejut. Bagaimana Reno bisa tahu tentang pencariannya?

Reno tersenyum licik. "Tentu saja aku tahu. Aku punya mata dan telinga di mana-mana. Termasuk di antara orang-orang yang kau tugaskan untuk mencari 'Mentari Kecilmu' itu."

Hati Axel mencelos. Jadi, pencariannya selama ini justru menjadi celah bagi para pengkhianat untuk menyerangnya.

"Apa yang akan kau lakukan padaku?" tanya Axel, berusaha tetap tenang meskipun hatinya dipenuhi kekhawatiran.

"Oh, tenang saja. Aku tidak akan membunuhmu sekarang," jawab Reno. "Kau masih terlalu berharga. Aku akan menggunakanmu untuk mengendalikan perusahaan. Semua asetmu, semua kekuasaanmu, akan menjadi milikku."

Reno kemudian memberi isyarat kepada anak buahnya. Mereka membuka sebuah layar besar di dinding ruangan, menampilkan grafik dan data perusahaan. Reno mulai menjelaskan rencananya untuk mengambil alih perusahaan secara paksa, memanfaatkan situasi penculikan Axel.

Axel mendengarkan dengan geram. Ia merasa dikhianati dan tak berdaya. Orang-orang yang selama ini ia percayai ternyata adalah musuh dalam selimut. Usahanya membangun perusahaan dari nol kini terancam hancur di tangan para pengkhianat.

Namun, di tengah keputusasaannya, secercah harapan masih menyala dalam hatinya. Ia tidak akan menyerah begitu saja. Ia harus mencari cara untuk melarikan diri dan mengungkap kejahatan Reno dan komplotannya. Ia juga tidak boleh melupakan tujuannya yang lain: menemukan "Mentari Kecilnya". Mungkin, di suatu tempat di negeri ini, gadis itu masih menunggunya. Dan Axel berjanji, ia akan menemukan keduanya, keadilan dan cinta yang hilang.

Malam itu, di dalam ruangan pengap itu, Axel Narendra, sang CEO yang kini menjadi tawanan, mulai menyusun rencana. Ia akan memanfaatkan setiap kesempatan, sekecil apapun, untuk melawan dan merebut kembali apa yang menjadi haknya. Pertarungan yang sesungguhnya baru saja dimulai. Bayang-bayang pengkhianatan dan kerinduan akan masa lalu akan menjadi bahan bakar semangatnya untuk bangkit dan membalas dendam. Jakarta, yang seharusnya menjadi saksi kembalinya seorang pahlawan, kini menjadi panggung drama pengkhianatan dan perjuangan untuk bertahan hidup.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY