Saskia Putri, seorang anak magang yang direkrut Baskara, duduk di mejaku, berlagak seperti Direktur Operasional yang baru. Dengan suara lantang, dia mengumumkan bahwa "personel yang tidak berkepentingan" dilarang mendekat, sambil menatap lurus ke arahku. Baskara, pria yang pernah menjanjikanku seluruh dunia, hanya berdiri di sampingnya, wajahnya dingin dan acuh tak acuh. Dia mengabaikan kehamilanku, menyebutnya sebagai gangguan, dan memaksaku mengambil cuti wajib.
Aku melihat sebatang lipstik merah menyala milik Saskia di meja Baskara, warna yang sama dengan yang kulihat di kerah kemejanya. Kepingan-kepingan teka-teki itu akhirnya menyatu: malam-malam yang larut, "makan malam bisnis", obsesinya yang tiba-tiba pada ponselnya-semua itu bohong. Mereka telah merencanakan ini selama berbulan-bulan.
Pria yang kucintai telah lenyap, digantikan oleh orang asing. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengambil segalanya dariku. Aku berkata pada Baskara bahwa aku akan pergi, tetapi tidak tanpa bagianku sepenuhnya dari perusahaan, yang dinilai berdasarkan harga pasca-pendanaan dari Nusantara Capital. Aku juga mengingatkannya bahwa algoritma inti, yang menjadi alasan Nusantara Capital berinvestasi, dipatenkan atas namaku seorang.
Aku melangkah keluar, mengeluarkan ponselku untuk menelepon satu-satunya orang yang tidak pernah kusangka akan kuhubungi: Revan Adriansyah, saingan terberatku.
Bab 1
"Apakah ini Revan Adriansyah?"
Hening sejenak di seberang sana, lalu sebuah suara yang halus dan berat menjawab. "Benar. Dengan siapa saya bicara?"
"Kirana Maheswari."
Keheningan kali ini terasa lebih lama, sarat dengan pertanyaan yang tak terucap. Aku bisa membayangkannya di kantor sudutnya, yang memiliki pemandangan panorama kota Jakarta, mungkin sedang mengerutkan kening menatap ponselnya. Kami adalah rival. Perusahaannya, Sinergi Teknologi, telah menjadi pesaing terberat kami selama tiga tahun terakhir. Kami tidak pernah saling menelepon untuk basa-basi.
"Kirana Maheswari," ulangnya perlahan, nama itu terdengar seperti sebuah pertanyaan. "Harus kuakui, ini tidak terduga."
"Aku tahu," kataku, suaraku stabil, tidak mengkhianati kekacauan di dalam diriku. "Aku menelepon dengan sebuah proposal bisnis. Aku ingin membawa kesepakatan dengan Nusantara Capital kepadamu."
Suara tarikan napas yang tajam di ujung sana adalah kemenangan kecil pertamaku. "Kesepakatan Nusantara? Kukira itu sudah pasti jadi milikmu dan Baskara. Milik... perusahaan kalian."
"Keadaannya sudah berubah," ujarku datar.
"Berubah bagaimana?" desaknya, naluri CEO-nya langsung bekerja. "Kirana, apa yang terjadi? Apa ini ada hubungannya dengan Baskara?"
Keterusterangannya mengejutkanku. "Ini tentang bisnis, Revan. Ini adalah peluang senilai delapan ratus miliar. Aku yang membangun arsitekturnya, aku yang punya hubungan dengan Nusantara. Mereka berinvestasi padaku, bukan pada nama perusahaan. Aku bisa membawanya ke Sinergi Teknologi."
"Semua orang di industri ini tahu kau yang membangun perusahaan itu dari nol," katanya, nadanya berubah dari curiga menjadi sesuatu yang lebih lembut. "Aku pernah melihatmu di konferensi. Kau bekerja dua kali lebih keras dari siapa pun di ruangan itu, dan kau dua kali lebih pintar."
Dia berhenti sejenak. "Aku ingat pernah mendengar tentang masa-masa awal kalian. Kau dan Baskara hidup hanya dengan mi instan, ngoding di garasi rumah. Kau bahkan memakai uang warisanmu untuk biaya server saat dia tidak bisa membayar gaji karyawan."
Aku tersentak. Dia tahu terlalu banyak.
"Aku juga dengar ada masalah hari ini," lanjutnya, suaranya hati-hati. "Bahwa kau... dipecat."
Rasa dingin menjalari tubuhku. "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Kabar menyebar dengan cepat jika menyangkut arsitek perangkat lunak terbaik di industri ini yang ditendang keluar dari perusahaannya sendiri di malam penandatanganan dana besar," jawabnya, ada sedikit kemarahan dalam suaranya atas namaku.
Aku menyandarkan kepalaku ke kaca jendela yang dingin, menatap lampu-lampu kota yang dulu tampak begitu penuh janji. Kotaku. Perusahaanku. Mimpiku.
Dia benar. Aku telah mengorbankan segalanya. Sepuluh tahun hidupku, kucurahkan untuk Baskara Aditama dan startup kami, CiptaKarya. Kami adalah cinta sejak zaman kuliah, pasangan emas yang akan mengubah dunia bersama.
Kami bertemu di laboratorium ilmu komputer, sama-sama didorong oleh kafein dan ambisi. Dia adalah sang frontman yang karismatik, sang visioner. Aku adalah pekerja kerasnya, orang yang mengubah ide-ide besarnya menjadi kode yang elegan dan fungsional.
Kami membangun CiptaKarya dengan tabunganku dan pesonanya. Kami bekerja delapan belas jam sehari. Kami berbagi martabak murah di lantai kantor kami yang sempit, memimpikan hari di mana nama kami akan terpampang di sebuah gedung pencakar langit.
Semuanya terasa begitu nyata, begitu kokoh. Masa depan kami.
Beberapa bulan yang lalu, ketika rasa mual itu mulai datang, kukira itu hanya kelelahan. Tapi ternyata bukan. Itu adalah getaran kecil dari sebuah kehidupan baru. Kehidupan kami.
Aku hamil.
Ketika aku memberitahu Baskara, dia mengangkatku dan memutarku, wajahnya bersinar dengan kegembiraan yang sudah bertahun-tahun tidak kulihat. "Bayi, Rana! Bayi kita! Ini dia. Inilah segalanya."
Kami berada di apartemen kami, yang akhirnya bisa kami beli setelah mendapatkan pendanaan awal. Aku menangkup wajahnya. "Bas, ayo kita menikah. Kita resmikan hubungan ini. Demi kita, demi bayi ini."
Senyum di wajahnya tidak lenyap, tetapi menegang. Cahaya di matanya meredup. Dia menurunkanku dengan lembut, tangannya di pundakku. Keheningan yang panjang dan penuh perhitungan menyusul.
"Rana, sayang, tentu saja," katanya akhirnya, suaranya selembut sutra. "Tapi coba pikirkan. Kesepakatan Nusantara tinggal minggu depan. Ini adalah puncak dari semua yang telah kita perjuangkan. Delapan ratus miliar Rupiah. Ini akan membuat kita jadi siapa."
Dia menunjuk ke sekeliling apartemen, matanya berkilauan dengan api yang kukenal. "Ini baru permulaan. Setelah kesepakatan itu selesai, kita akan berada di puncak dunia. Kita bisa mengadakan pernikahan impianmu, membeli rumah sungguhan, memberikan segalanya untuk bayi ini."
Dia mencondongkan tubuh, dahinya menempel di dahiku. "Kita tunggu sebentar saja. Jangan sampai ada yang mengganggu dorongan terakhir ini. Setelah kita menandatangani surat-surat itu, aku sepenuhnya milikmu. Kita sepenuhnya milikmu. Aku janji."
Dan seperti orang bodoh, dibutakan oleh satu dekade cinta dan sejarah bersama, aku memercayainya.
"Baiklah, Bas," bisikku saat itu. "Setelah kesepakatan selesai."