Unduh Aplikasi panas
Beranda / Cerita pendek / Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup
Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

5.0
10 Bab
616 Penayangan
Baca Sekarang

Aku adalah Alina Wijaya, pewaris tunggal keluarga Wijaya yang telah lama hilang, akhirnya kembali ke rumah setelah masa kecilku kuhabiskan di panti asuhan. Orang tuaku memujaku, suamiku menyayangiku, dan wanita yang mencoba menghancurkan hidupku, Kiara Anindita, dikurung di fasilitas rehabilitasi mental. Aku aman. Aku dicintai. Di hari ulang tahunku, aku memutuskan untuk memberi kejutan pada suamiku, Bram, di kantornya. Tapi dia tidak ada di sana. Aku menemukannya di sebuah galeri seni pribadi di seberang kota. Dia bersama Kiara. Dia tidak berada di fasilitas rehabilitasi. Dia tampak bersinar, tertawa saat berdiri di samping suamiku dan putra mereka yang berusia lima tahun. Aku mengintip dari balik kaca saat Bram menciumnya, sebuah gestur mesra yang familier, yang baru pagi tadi ia lakukan padaku. Aku merayap mendekat dan tak sengaja mendengar percakapan mereka. Permintaan ulang tahunku untuk pergi ke Dunia Fantasi ditolak karena dia sudah menjanjikan seluruh taman hiburan itu untuk putra mereka-yang hari ulang tahunnya sama denganku. "Dia begitu bersyukur punya keluarga, dia akan percaya apa pun yang kita katakan," kata Bram, suaranya dipenuhi kekejaman yang membuat napasku tercekat. "Hampir menyedihkan." Seluruh realitasku-orang tua penyayang yang mendanai kehidupan rahasia ini, suamiku yang setia-ternyata adalah kebohongan selama lima tahun. Aku hanyalah orang bodoh yang mereka pajang di atas panggung. Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Bram, dikirim saat dia sedang berdiri bersama keluarga aslinya. "Baru selesai rapat. Capek banget. Aku kangen kamu." Kebohongan santai itu adalah pukulan telak terakhir. Mereka pikir aku adalah anak yatim piatu menyedihkan dan penurut yang bisa mereka kendalikan. Mereka akan segera tahu betapa salahnya mereka.

Konten

Bab 1

Aku adalah Alina Wijaya, pewaris tunggal keluarga Wijaya yang telah lama hilang, akhirnya kembali ke rumah setelah masa kecilku kuhabiskan di panti asuhan. Orang tuaku memujaku, suamiku menyayangiku, dan wanita yang mencoba menghancurkan hidupku, Kiara Anindita, dikurung di fasilitas rehabilitasi mental. Aku aman. Aku dicintai.

Di hari ulang tahunku, aku memutuskan untuk memberi kejutan pada suamiku, Bram, di kantornya. Tapi dia tidak ada di sana.

Aku menemukannya di sebuah galeri seni pribadi di seberang kota. Dia bersama Kiara.

Dia tidak berada di fasilitas rehabilitasi. Dia tampak bersinar, tertawa saat berdiri di samping suamiku dan putra mereka yang berusia lima tahun. Aku mengintip dari balik kaca saat Bram menciumnya, sebuah gestur mesra yang familier, yang baru pagi tadi ia lakukan padaku.

Aku merayap mendekat dan tak sengaja mendengar percakapan mereka. Permintaan ulang tahunku untuk pergi ke Dunia Fantasi ditolak karena dia sudah menjanjikan seluruh taman hiburan itu untuk putra mereka-yang hari ulang tahunnya sama denganku.

"Dia begitu bersyukur punya keluarga, dia akan percaya apa pun yang kita katakan," kata Bram, suaranya dipenuhi kekejaman yang membuat napasku tercekat. "Hampir menyedihkan."

Seluruh realitasku-orang tua penyayang yang mendanai kehidupan rahasia ini, suamiku yang setia-ternyata adalah kebohongan selama lima tahun. Aku hanyalah orang bodoh yang mereka pajang di atas panggung.

Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Bram, dikirim saat dia sedang berdiri bersama keluarga aslinya.

"Baru selesai rapat. Capek banget. Aku kangen kamu."

Kebohongan santai itu adalah pukulan telak terakhir. Mereka pikir aku adalah anak yatim piatu menyedihkan dan penurut yang bisa mereka kendalikan.

Mereka akan segera tahu betapa salahnya mereka.

Bab 1

"Aku masih nggak percaya mereka melepaskannya begitu saja," kata Dewi Lestari, menggelengkan kepala sambil mengaduk kopinya. "Setelah semua yang Kiara Anindita lakukan padamu."

Aku meringis ngeri mendengar nama itu. Lima tahun, dan rasanya masih seperti luka baru. "Dewi, kumohon."

"Aku serius," desaknya, insting pengacaranya muncul. "Dia itu praktis sudah seperti saudarimu. Gadis yang diasuh orang tuamu dan dihujani kasih sayang selama bertahun-tahun bahkan sebelum mereka menemukanmu. Dan bagaimana dia membalas semuanya? Dengan menuduhmu menjiplak naskahnya dan mencoba membakar kariermu sampai hangus."

Aku menghela napas, kenangan itu adalah pil pahit yang familier. Kiara Anindita. Anak didik orang tuaku, putri tidak resmi yang hidup menggantikan posisiku. Ketika aku, pewaris Wijaya yang asli, ditemukan dan dibawa pulang, reuni bak dongeng itu hancur oleh kecemburuan Kiara yang berbisa. Skandal plagiarisme adalah mahakarya balas dendamnya. Tapi keluargaku telah merapatkan barisan di sekelilingku.

"Mereka bilang Kiara mengalami gangguan mental total setelah kebenarannya terungkap," kataku, mengulangi cerita yang kupegang teguh selama setengah dekade. "Orang tuaku merasa bertanggung jawab. Mereka memastikan dia dikirim ke fasilitas swasta terbaik untuk mendapatkan bantuan. Bram setuju itu hal yang paling manusiawi untuk dilakukan. Dia sudah pergi, Dewi. Mereka melindungiku."

Aku memercayai mereka. Aku adalah Alina Wijaya, seorang penulis skenario yang akhirnya meniti karier, dipertemukan kembali dengan keluarga kaya raya yang telah kehilangan aku sejak kecil. Aku punya orang tua yang penyayang dan suami yang tampan dan sukses. Aku aman. Aku dicintai. Hantu-hantu masa lalu, tentang panti asuhan dan kesepian, terasa jutaan mil jauhnya. Inilah realitasku sekarang, kokoh dan nyata.

"Tetap saja," aku menghela napas, mengganti topik pembicaraan, "Aku harap Bram tidak sesibuk ini belakangan. Aku benar-benar ingin pergi ke Dunia Fantasi, tahu? Hanya untuk sehari. Untuk merasa seperti anak kecil lagi." Aku curhat pada Dewi, "Ulang tahunku sebentar lagi. Aku mengiriminya pesan, bertanya apa kami bisa pergi, tapi aku tidak bilang itu untuk ulang tahunku. Aku ingin itu jadi rahasia kecil kami."

Tepat saat itu, seolah diberi isyarat, ponselku bergetar di atas meja. Nama Bram menyala di layar, dan aku tersenyum, hatiku berdebar penuh harap.

Balasannya singkat dan acuh tak acuh. "Nggak bisa. Ada proyek mendesak di kantor. Kita akan sibuk banget beberapa minggu ke depan. Jangan banyak pikiran."

Bahuku merosot. Dewi melihat kekecewaan di wajahku dan meraih tanganku dari seberang meja, ekspresinya memberi semangat. "Hei. Temui dia. Langsung masuk ke kantornya dan bilang itu permintaan ulang tahunmu. Bram mencintaimu. Dia pasti akan meninggalkan segalanya untukmu."

Kata-katanya memberiku secercah harapan. Aku ingin memberinya kejutan. Satu jam kemudian, aku berjalan ke lobi megah Nugraha Medika, membawa dua cangkir kopi favoritnya. Satpam di lobi memberiku senyum sopan. Tapi sekretaris Bram menghentikanku di depan lift, senyumnya penuh penyesalan.

"Maaf sekali, Bu Alina, tapi Pak Bram ada janji pribadi sore ini. Beliau sudah pergi."

"Oh," kataku, mencoba menyembunyikan kekecewaanku. "Apa dia bilang mau ke mana?"

"Beliau ada di Galeri Anindita, di daerah Kemang," katanya, memeriksa kalender Bram. "Beliau ke sana setiap hari Selasa."

Perutku terasa melilit dingin. Anindita. Nama itu bergema di kepalaku.

Aku menyetir, tanganku mencengkeram setir dengan erat. Alamat itu membawaku ke sebuah galeri seni modern yang apik yang belum pernah kudengar. Papannya bertuliskan 'Galeri Anindita.' Hari ini galeri itu tidak dibuka untuk umum, tapi aku melihat beberapa mobil mahal terparkir di depan. Salah satunya adalah mobil ayahku.

Aku parkir di ujung jalan dan berjalan menuju gedung. Melalui jendela dari lantai ke langit-langit, aku melihat pemandangan yang tidak masuk akal. Dan kemudian, aku melihatnya. Suamiku, Bram. Dia tidak mengenakan setelan jas. Dia mengenakan pakaian kasual, senyum santai di wajahnya, senyum yang sudah bertahun-tahun tidak kulihat.

Dia menggendong seorang anak laki-laki kecil di pundaknya, mungkin berusia empat atau lima tahun. Anak itu terkikik, tangan mungilnya memegang rambut gelap Bram.

Lalu aku melihat wanita yang berdiri di samping mereka, tangannya bertumpu di lengan Bram.

Kiara Anindita.

Dia tidak dipermalukan. Dia tidak berada di fasilitas rehabilitasi. Dia tampak bersinar, mengenakan gaun sutra, terlihat persis seperti seorang ibu dan pasangan yang bahagia. Dia tertawa, suara yang kuingat dengan getaran ngeri, dan mencondongkan tubuh untuk mencium pipi Bram. Bram memalingkan wajahnya dan balas mencium bibirnya, sebuah gestur mesra yang familier, yang baru pagi tadi ia lakukan padaku.

Napas ku tercekat. Duniaku seakan jungkir balik. Aku terhuyung mundur ke dalam bayang-bayang sebuah patung besar, tubuhku gemetar.

Aku merayap menuju pintu samping yang sedikit terbuka, suara mereka terdengar dari dalam.

Anak laki-laki itu, Leo, berteriak kegirangan. "Papa, Papa janji! Untuk ulang tahunku, kita akan ke Dunia Fantasi!"

Suara Bram hangat dengan kasih sayang yang kini kusadari belum pernah benar-benar kuterima. "Tentu saja, jagoan. Papa sudah memesan seluruh taman hiburan. Semuanya akan jadi milikmu seharian penuh."

Darahku terasa membeku. Ulang tahun Leo. Tanggalnya sama denganku. Aku akhirnya mengerti. Bram tidak menolak keinginanku karena sibuk. Dia menolaknya karena sudah menjanjikan hari ulang tahunku untuk keluarga lain.

"Apa kamu yakin Alina nggak curiga apa-apa?" tanya Kiara, nadanya sedikit berubah. "Lima tahun itu waktu yang lama untuk terus begini."

"Dia nggak tahu apa-apa," kata Bram, suaranya dipenuhi kekejaman santai yang merenggut udara dari paru-paruku. "Dia begitu bersyukur punya keluarga, dia akan percaya apa pun yang kita katakan. Hampir menyedihkan."

"Kasihan Alina," desah Kiara, sebuah akting simpati palsu yang sempurna. "Dia masih saja terus bicara soal punya bayi denganmu."

Bram mendengus. "Bagaimana mungkin aku membiarkan dia punya anakku? Aku sudah janji padamu, Kiara, Leo akan jadi satu-satunya pewaris kita. Kalau waktunya sudah tepat, aku akan bilang padanya aku mandul. Lalu kita akan 'mengadopsi' Leo, dan dia bisa pulang untuk selamanya."

Kiara bersandar di dadanya, tersenyum penuh kemenangan.

Aku merasakan gelombang mual. Orang tuaku. Mereka juga terlibat. Uang untuk kehidupan mewah ini, keluarga rahasia ini, galeri ini-semua berasal dari mereka. Dari kekayaan Wijaya yang seharusnya menjadi milikku.

Seluruh realitasku-orang tua yang penyayang, suami yang setia, keamanan yang kukira akhirnya kutemukan setelah masa kecil di panti asuhan-adalah sebuah panggung yang dibangun dengan cermat. Dan aku adalah si bodoh yang memainkan peran utama, tidak sadar bahwa seluruh pemain lain menertawakanku di balik tirai.

Aku mundur perlahan, gerakanku kaku. Aku masuk ke mobil, tubuhku gemetar begitu hebat hingga aku nyaris tidak bisa memutar kunci kontak. Ponselku bergetar di pangkuanku. Sebuah pesan dari Bram.

"Baru selesai rapat. Capek banget. Aku kangen kamu. Sampai jumpa di rumah."

Kebohongan santai itu, yang diketik saat dia berdiri di samping keluarga aslinya, adalah pukulan telak terakhir. Dunia tidak hanya jungkir balik; dunia hancur berkeping-keping di sekelilingku.

Aku pergi, bukan menuju rumah mewah kami, tetapi menuju masa depan yang tidak bisa mereka kendalikan. Duka ini terasa seperti beban berat yang menghancurkan dadaku. Tapi di bawahnya, bara kecil yang keras dari sebuah tekad mulai menyala.

Mereka pikir aku menyedihkan. Mereka pikir aku bodoh.

Mereka akan segera tahu betapa salahnya mereka.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 10   10-29 16:54
img
img
Bab 1
29/10/2025
Bab 2
29/10/2025
Bab 3
29/10/2025
Bab 4
29/10/2025
Bab 5
29/10/2025
Bab 6
29/10/2025
Bab 7
29/10/2025
Bab 8
29/10/2025
Bab 9
29/10/2025
Bab 10
29/10/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY