Citra berdiri terpaku di depan pintu kamar. Dadanya sesak. Ia tahu Maya merasa tertekan, tapi tak pernah menyangka Maya akan kabur. Apalagi dengan waktu yang begitu mepet.
"Citra," suara Pak Drajat tajam, memutus lamunannya.
Citra menoleh. "Iya, Ayah?"
"Kamu harus menggantikan Maya. Sekarang juga."
"A-apa?" Citra melangkah mundur, wajahnya pucat. "Ayah, itu gila."
"Tidak!" bentak Pak Drajat. "Perjanjian sudah dibuat. Jika pernikahan ini batal, kita bisa kehilangan seluruh investasi dan reputasi keluarga. Bagas... dia mungkin cacat, tapi dia pewaris tunggal keluarga Wirawan! Jangan bodoh!"
Tante Rina mendekat, mencoba membujuk dengan nada lebih lembut. "Citra, tolong... Lakukan ini demi keluarga. Hanya kamu satu-satunya yang bisa menyelamatkan keadaan."
Citra terdiam. Jantungnya berdetak kencang. Ia melirik ke luar jendela, ke arah pelaminan yang mulai dipenuhi tamu. Ini bukan mimpinya. Bukan jalannya.
Namun satu kalimat terus terngiang di telinganya: "Demi keluarga."
Di Pelaminan
Bagas duduk tegak di kursi pengantin, mengenakan setelan formal berwarna putih gading. Wajahnya tampan, tapi tatapannya kosong. Satu kaki palsu tersembunyi rapi di balik celananya. Ia tidak menunjukkan emosi saat keributan terjadi di ruang rias.
Namun ketika Citra muncul menggantikan Maya, langkahnya ragu, mata berkaca-kaca, Bagas sempat menaikkan alis.
"...Kamu bukan Maya," katanya pelan, nyaris berbisik.
Citra menunduk. "Maya... tidak bisa datang. Aku... diminta menggantikannya."
Bagas menatapnya lama. Diam. Dingin.
"Apa kamu dipaksa?"
Citra menarik napas panjang. "Aku... memilih untuk berdiri di sini. Hari ini, di sampingmu."
Tak ada senyum. Tak ada pelukan. Namun dalam keheningan itu, pernikahan mereka tetap berlangsung. Tanpa cinta. Tanpa janji-janji manis. Hanya satu perjanjian bisu: bertahan demi kehormatan keluarga.
Empat Tahun Kemudian
Citra menyendokkan sup ke mangkuk Bagas. Dapur rumah mereka kini hangat dan penuh aroma masakan rumahan.
"Kamu masih suka sup ayam, kan?" tanya Citra sambil tersenyum kecil.
Bagas mengangguk, tanpa banyak bicara. Tapi matanya menatap Citra penuh perhatian. Wajahnya lebih tenang dari empat tahun lalu.
"Hari ini kamu terlihat capek," katanya tiba-tiba.
Citra mengangkat bahu. "Kerjaan di toko tadi agak ramai. Tapi nggak apa-apa. Kamu gimana? Lututmu sakit lagi?"
"Sedikit."
Hening sejenak.
Bagas melirik Citra, lalu berkata lirih, "Citra... Kalau suatu hari aku menikah lagi, kamu akan marah?"
Citra berhenti mengaduk teh di tangannya. Ia mencoba tersenyum meski hatinya terasa ditusuk.
"Aku akan... bahagia, jika kamu bahagia."
"Kamu yakin?" tanya Bagas, tatapannya tajam, tapi ekspresinya tetap datar.
Citra menatap mata suaminya, menahan air mata. "Tentu. Aku mengizinkan."
Dan saat malam itu mereka berpisah di kamar masing-masing, Citra tahu... kisah ini belum selesai. Ia telah memberi semua cintanya, namun mungkin tak pernah benar-benar diminta.
Tapi ini belum akhir.