"Aku cuma butuh kamu ada di sisiku sekarang, Mas..."
Suara Sarah bergetar, kedua tangannya gemetar memegangi perutnya yang mulai membuncit. Ia berdiri di depan pintu apartemen, wajahnya pucat, nafasnya pendek-pendek.
Dimas menoleh sambil menaruh ponselnya. "Aku baru aja anterin Citra ke dokter. Dia lagi kambuh asmanya, Sar. Kamu tahu dia tinggal sendirian."
Sarah menelan ludah. Hatinya terasa diremas.
"Aku juga lagi hamil tujuh bulan. Aku pendarahan tadi siang dan kamu malah pergi ke rumah dia?"
Dimas mendekat, tapi Sarah mundur selangkah.
"Kamu marah karena aku bantuin Citra? Bukannya kamu selalu bilang dia udah kayak saudara kita sendiri?" Dimas mengerutkan dahi, terlihat bingung dan tersinggung sekaligus.
"Saudara? Dia sahabatku, bukan istrimu. Tapi kamu lebih banyak habiskan waktu sama dia sekarang. Kenapa, Mas? Ada yang kamu sembunyikan?"
Dimas terdiam. Satu detik. Dua detik. Terlalu lama untuk disebut wajar.
"Aku capek bahas ini terus, Sar. Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Citra. Kamu aja yang terlalu sensitif akhir-akhir ini."
Sarah tertawa hambar. "Ya, mungkin aku terlalu sensitif. Wajar kan? Aku hamil. Sendirian. Ditinggal suami tiap malam. Karena 'sahabatnya' butuh ditemani."
Tiba-tiba suara notifikasi ponsel Dimas berbunyi. Sarah menoleh. Nama 'Citra' terpampang di layar. Hatinya tenggelam makin dalam.
Dimas buru-buru menyembunyikan layar ponsel. Terlambat.
"Kamu tahu, Mas? Aku udah curiga dari awal. Tapi aku bodoh. Aku pikir kamu cuma kasihan sama dia. Tapi ternyata... dia lebih dari sekadar sahabat buat kamu, ya?"
Dimas tidak menjawab.
"Jawab, Mas!" bentak Sarah, matanya berkaca-kaca.
"Aku nggak pernah berniat ninggalin kamu. Tapi Citra... dia butuh aku. Dia sendiri. Dia nggak punya siapa-siapa."
"Dan aku? Aku ini apa buat kamu? Penjaga rumah? Pengasuh bayi?"
Tangis Sarah pecah. Dimas ingin memeluknya, tapi Sarah mengibaskan tangan suaminya.
"Kalau kamu memang mencintainya, bilang sekarang. Aku akan pergi. Aku nggak mau anakku lahir dalam kebohongan."
"Jangan gitu, Sar... aku bingung. Aku-"
"Kamu bingung karena kamu udah buka hati buat dua perempuan sekaligus. Tapi aku cuma punya satu pilihan. Anak ini." Sarah menatapnya dalam-dalam. "Aku akan pilih harga diriku. Dan anakku."
Dengan langkah berat, Sarah menuju kamar, meninggalkan Dimas berdiri di ruang tengah yang terasa dingin dan sepi.