Rama, pria yang berdiri beberapa langkah di belakangnya, hanya menghela napas panjang. Tangannya masih memegang keranjang belanja berisi kebutuhan rumah tangga: sabun cuci, pasta gigi, mie instan, dan beberapa botol air mineral.
"Kita lagi ngirit, Luna," katanya, nadanya tegas. "Kamu udah punya lima lipstik di rumah. Bahkan ada yang masih belum dibuka."
"Tapi ini diskon 40%, Ra! Sayang banget dilewatkan. Lagian aku butuh buat event kantor minggu depan." Suara Luna terdengar memohon, manja, seperti biasa.
"Luna." Rama meletakkan keranjang di lantai dan menatapnya lurus. "Kamu tahu kondisi keuangan kita. Minggu lalu kamu baru beli parfum. Sekarang lipstik lagi?"
Luna memutar bola matanya dan cemberut. Ia tak menjawab, hanya mengalihkan pandangannya ke arah kasir. Dalam sekejap, ia berjalan cepat ke arah antrean sambil menyembunyikan lipstik di balik jaketnya.
Rama, yang sadar akan gelagat istrinya itu, mengikutinya dengan langkah cepat. Tapi Luna sudah lebih dulu menyerahkan uang tunai kepada kasir dan membawa plastik kecil berisi lipstik barunya.
"Luna!" seru Rama begitu mereka tiba di parkiran. "Kamu pikir aku nggak lihat? Kamu tetap beli meskipun aku larang!"
"Rama, cuma satu lipstik. Nggak sampe seratus ribu. Kenapa sih kamu kayak-"
Belum selesai Luna bicara, Rama merebut lipstik itu dari tangannya. Dengan kasar, ia membuka tutupnya dan memutar batang lipstik merah itu hingga penuh, lalu...
"Sret!"
Ditariknya garis merah menyala dari pipi kiri ke pipi kanan Luna. Kemudian ia menggambar lingkaran besar di dahi, mencoret bibir Luna sendiri dengan penuh kemarahan.
"Kalau kamu pengen banget pake lipstik ini, ya udah! Nih, puas?!"
Luna terkejut. Matanya membelalak, bukan karena takut, tapi karena tak percaya Rama benar-benar melakukannya. Orang-orang di parkiran mulai memperhatikan. Tapi Luna tidak menangis, tidak berteriak. Ia hanya diam, wajahnya memerah bukan karena malu, tapi karena marah.
Beberapa detik kemudian, Luna merogoh tasnya. Dengan penuh percaya diri, ia mengeluarkan satu kantong plastik kecil. Lalu satu lagi. Dan satu lagi.
Totalnya ada sepuluh lipstik, semua warna berbeda.
"Kamu pikir aku cuma beli satu?" kata Luna, tersenyum sinis. "Aku beli semua warna yang diskon. Mau coret semua ke wajahku juga?"
Rama terpaku.
Luna mengangkat dagunya tinggi-tinggi, seolah menunjukkan bahwa harga dirinya lebih mahal dari lipstik manapun. Ia berjalan meninggalkan Rama begitu saja, dengan wajah masih tercoret, tapi langkah yang penuh kemenangan.
Rama (dalam hati):
"Aku cuma ingin dia belajar untuk menahan diri. Tapi kenapa justru aku yang merasa seperti pecundang sekarang?"
Luna (menatap kaca spion mobil, melihat wajahnya):
"Dia pikir dia bisa mempermalukan aku? Dia belum tahu siapa Luna sebenarnya."