Tujuh tahun yang lalu, ia menikahi Nareswari, wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati. Mereka memulai bahtera rumah tangga dengan janji-janji manis, impian tentang keluarga, dan tawa yang mengisi setiap sudut rumah mereka. Namun, janji-janji itu kini bagai debu yang berterbangan, dan tawa itu telah lama mati.
Pernikahan mereka kini hanya sebuah kesepakatan yang tak terucap, sebuah rutinitas yang membosankan. Mereka tinggal di bawah atap yang sama, berbagi meja makan yang sama, tapi jiwa mereka terpisah ribuan mil. Komunikasi di antara mereka hanya sebatas urusan logistik-siapa yang akan menghadiri acara sosial, tagihan mana yang harus dibayar, dan kapan mereka akan pulang. Kata "cinta" dan "sayang" telah lama lenyap dari percakapan mereka, digantikan oleh kesunyian yang mencekam.
Alasan di balik keretakan ini adalah sesuatu yang Aksara tidak pernah bisa terima: Nareswari tidak mau memiliki anak. Bukan karena masalah medis, melainkan karena ia tidak ingin tubuhnya yang sempurna rusak oleh proses kehamilan dan melahirkan. "Tubuhku adalah asetku, Aksara. Aku tidak mau ada stretch mark atau perut kendur. Lagipula, anak hanya akan mengganggu kebebasan kita," adalah kalimat yang sering Nareswari lontarkan, yang menusuk hati Aksara setiap kali mendengarnya.
Bagi Aksara, impian memiliki keluarga kecil yang bahagia adalah segalanya. Ia membayangkan berlari-lari di halaman bersama anak-anaknya, melihat mereka tumbuh, dan merasakan cinta tanpa syarat yang hanya bisa diberikan oleh seorang anak. Namun, impian itu kini hanyalah ilusi. Ia menyadari, percuma saja ia membangun kerajaan bisnis jika ia pulang ke rumah yang kosong.
Kecemasan tentang rumah tangganya sering kali menggerogoti fokusnya di kantor. Aksara sering kali melamun, menatap kosong ke luar jendela, sementara tumpukan berkas di mejanya terus bertambah. Ia melupakan rapat penting, melewatkan panggilan telepon dari klien, dan hampir membuat kesalahan fatal dalam negosiasi besar.
Di tengah semua kekacauan itu, ada satu orang yang selalu menjadi penopang dan penyelamatnya: Rumi Kamila, sekretaris pribadinya. Rumi, dengan ketenangannya yang luar biasa dan otaknya yang brilian, selalu bisa membaca situasi. Saat Aksara melamun, Rumi akan dengan sigap mengingatkannya tentang jadwalnya. Saat Aksara lupa mengirim email penting, Rumi akan mengambil alih dan menyelesaikannya dengan sempurna.
Rumi tidak hanya cerdas, ia juga penuh empati. Ia tidak pernah bertanya tentang masalah pribadi Aksara, namun matanya yang hangat dan senyumnya yang tulus selalu menyampaikan pesan dukungan. Setiap pagi, Rumi akan menyiapkan kopi kesukaan Aksara persis seperti yang ia suka. Setiap kali Aksara terlihat lelah, Rumi akan datang dengan segelas air putih dan camilan sehat. Perhatian-perhatian kecil itu, yang tidak pernah ia dapatkan di rumah, mulai meresap ke dalam hati Aksara.
Suatu malam, Aksara masih berada di kantor hingga larut. Hujan deras mengguyur kota, dan suaranya membuat suasana semakin melankolis. Nareswari tidak menelepon, tidak juga mengirim pesan. Aksara hanya bisa membayangkan Nareswari sedang bersenang-senang di luar sana, tanpa memedulikan dirinya.
Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka. Rumi masuk dengan membawa dua cangkir teh hangat. "Ini untuk Anda, Pak Aksara. Hujan deras, jadi saya pikir teh bisa membuat Anda lebih rileks," ucap Rumi dengan lembut.
Aksara menatap Rumi. Di bawah cahaya lampu yang temaram, wajah Rumi terlihat damai. Tidak ada tuntutan, tidak ada paksaan, hanya perhatian murni. Malam itu, mereka mengobrol santai. Mereka membicarakan pekerjaan, impian, dan hal-hal kecil yang membuat hidup terasa lebih indah. Aksara merasa, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak sendirian.
Perhatian Rumi menjadi candu bagi Aksara. Ia mulai sengaja berlama-lama di kantor, menunggu Rumi, mencari alasan untuk berinteraksi dengannya. Ia bahkan mengundangnya makan malam, awalnya dengan alasan pekerjaan, namun percakapan mereka selalu berujung pada hal-hal pribadi.
Di tengah perhatian yang tulus dan kasih sayang yang tumpah ruah dari Rumi, hati Aksara mulai goyah. Ia tahu, Rumi adalah batas yang seharusnya tidak ia lewati. Namun, kekosongan di hatinya begitu besar, dan kehadiran Rumi adalah satu-satunya hal yang bisa mengisinya. Di luar nalar dan janji pernikahannya, Aksara mulai melakukan hal-hal yang tidak seharusnya ia lakukan dengan sekretarisnya sendiri, Rumi Kamila.