Senyum yang penuh harapan, harapan agar Yuna bisa melunasi tumpukan hutang yang kini menjadi beban di pundak kecilnya.
Hutang itu berawal dari pinjaman rentenir untuk membiayai pengobatan sang ayah yang sakit keras. Pinjaman yang awalnya terasa seperti penyelamat, kini berubah menjadi jerat yang mencekik. Yuna tahu, satu-satunya cara untuk membebaskan orang tuanya dari penderitaan adalah dengan bekerja keras. Dan pekerjaan ini, menjadi baby sitter untuk anak Tuan Jackson, adalah satu-satunya kesempatan yang ia miliki. Ia tak peduli seberapa berat atau membosankan pekerjaan itu nantinya. Yuna hanya ingin bekerja, mengumpulkan setiap sen yang ia dapat, dan mengirimkannya pulang.
Ia menekan bel interkom, jantungnya berdegup kencang. Suara satpam yang ramah menyapa dari balik speaker, menanyakan keperluannya. Yuna dengan suara bergetar menyebutkan namanya dan tujuannya. Tak lama kemudian, gerbang besi itu terbuka perlahan, memberikan jalan bagi Yuna untuk melangkah masuk ke dalam pekarangan yang begitu luas. Halamannya ditanami berbagai jenis bunga dan pepohonan yang tertata rapi, air mancur di tengahnya memancarkan gemericik suara yang menenangkan. Semuanya begitu sempurna, kontras dengan kekacauan hidup yang Yuna alami.
Seorang asisten rumah tangga menyambutnya di depan pintu utama. Ia mengantar Yuna masuk, melewati ruang tamu yang didominasi oleh sofa kulit mahal dan lukisan-lukisan abstrak yang tak Yuna mengerti maknanya. Langit-langitnya tinggi dengan lampu kristal yang menggantung megah, memancarkan cahaya keemasan. Yuna hanya bisa menunduk, takut matanya yang desa ini merusak pemandangan indah di depannya. Ia merasa kecil, sangat kecil, di tengah kemewahan yang begitu asing.
"Yuna, ini ruang makan," suara asisten rumah tangga itu memecah lamunannya. "Tuan Jackson sudah menunggu di dalam bersama Nona Lily."
Yuna mengangguk, lalu mengikuti asisten itu ke dalam sebuah ruangan besar yang didominasi oleh sebuah meja makan panjang. Di sana, duduklah Tuan Jackson, seorang pria paruh baya dengan rahang tegas dan tatapan mata yang tajam. Di sampingnya, seorang anak perempuan berambut ikal duduk manis, memainkan sendoknya. Ia mengenakan seragam sekolah taman kanak-kanak, tas ransel kecilnya diletakkan di kursi sebelahnya. Itulah Lily, anak yang akan ia asuh.
"Selamat pagi, Tuan," sapa Yuna pelan, suaranya nyaris berbisik.
Tuan Jackson mengangkat kepalanya, mengangguk sopan, dan mempersilakan Yuna untuk duduk. Ia tak banyak bicara, hanya menunjuk sebuah piring berisi sarapan untuk Lily dan memerintahkan Yuna untuk menyuapi anak itu. Yuna mengangguk patuh. Ia duduk di kursi seberang, mengambil piring Lily, dan mulai menyuapi anak itu.
"Nanti, Yuna akan menemanimu sekolah, ya?" ujar Tuan Jackson pada Lily, suaranya lembut, sangat berbeda dengan tatapannya yang dingin.
Lily mengangguk antusias, "Asyik! Nanti aku ajak Kak Yuna main ayunan di taman sekolah!"
"Tentu," Yuna tersenyum, hatinya menghangat melihat antusiasme anak itu. Lily adalah anak yang manis dan ceria, membuat pekerjaan ini terasa lebih ringan.
Saat Yuna menyuapi Lily, Tuan Jackson sibuk dengan ponselnya. Tak lama kemudian, wajahnya mengeras, ia terlihat kesal. Yuna menduga Tuan Jackson sedang beradu argumen dengan seseorang. Yuna berusaha mengabaikan, melanjutkan tugasnya. Namun, tak lama kemudian, suasana tegang tiba-tiba menyelimuti ruang makan.
Suara langkah kaki yang tergesa-gesa terdengar dari arah pintu, lalu seorang perempuan muncul. Rambutnya dicat pirang dengan model bob. Ia mengenakan pakaian yang sangat terbuka, menonjolkan setiap lekuk tubuhnya. Make-up-nya tebal dengan bibir merah mencolok. Yuna terkejut, ia tahu siapa perempuan itu. Ia adalah Bella, istri Tuan Jackson, yang sering ia lihat di majalah-majalah fesyen. Bella adalah seorang model yang terkenal, dan ia sering melakukan perjalanan ke luar negeri. Tak heran jika Yuna sering melihatnya di bandara saat ia akan menjemput barang di sana.
"Bella, dari mana saja kamu?" Suara Tuan Jackson terdengar dingin, penuh amarah.
Bella mengibaskan rambutnya, mengabaikan pertanyaan itu. Ia berjalan ke arah kulkas, mengambil sebotol air mineral, lalu meneguknya hingga habis. "Aku baru pulang, Jack. Kenapa? Ada masalah?"
"Masalah? Tentu ada masalah!" Tuan Jackson membanting ponselnya di atas meja, membuat Yuna dan Lily terkejut. "Kamu sadar tidak, kamu punya suami dan anak?! Kamu pergi berhari-hari tanpa kabar, hanya untuk bekerja! Apa kamu pikir aku tidak bisa menafkahimu?! Aku bisa memberimu jauh lebih dari gaji model yang kamu dapatkan itu!"
Bella tertawa sinis, tawa yang terdengar hampa di telinga Yuna. "Gajiku? Ini bukan tentang uang, Jack! Ini tentang mimpiku! Ini tentang karierku! Apa kamu tidak mengerti itu?!"
"Mimpi? Apa kamu tidak memimpikan keluarga yang utuh, Bella? Kamu hampir tidak pernah di rumah! Lily membutuhkan ibunya! Dia membutuhkanmu di sisinya!"
Air muka Bella berubah. Ia menatap Lily yang sedang makan. "Lily? Dia baik-baik saja, Jack. Dia punya baby sitter, 'kan? Lagipula, aku tidak pernah ingin menjadi ibu rumah tangga yang bisanya hanya duduk diam di rumah, mengurus anak dan suami. Itu bukan aku, Jack!"
Yuna hanya bisa menunduk, menyuapi Lily dengan perlahan. Anak itu tak berani menatap kedua orang tuanya yang sedang bertengkar. Yuna bisa melihat raut wajah Lily yang sedih. Ia tidak mengerti mengapa ibu dan ayahnya bertengkar. Yuna merasa iba pada anak sekecil itu. Ia tidak seharusnya melihat hal-hal seperti ini.
"Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan di sana? Kamu berpose dengan pakaian minim, berdekatan dengan pria-pria lain! Apa itu pantas untuk seorang istri dan ibu?!" suara Tuan Jackson meninggi.
Bella mendengus. "Jangan sok suci, Jack. Itu pekerjaanku! Aku seorang model, wajar jika aku berpose dengan pakaian terbuka. Lagipula, aku tidak melakukan apa-apa dengan pria-pria itu!"
"Cukup, Bella! Aku tidak peduli dengan pekerjaanmu! Aku hanya ingin kamu di rumah! Menjadi istri dan ibu yang seharusnya!"
Bella menggelengkan kepalanya, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak bisa, Jack! Aku tidak mau! Kamu tahu, melahirkan Lily saja membuat tubuhku jadi gemuk! Aku butuh diet mati-matian untuk mengembalikan bentuk tubuhku! Dan sekarang, kamu mau aku di rumah lagi? Duduk diam di rumah, mengurus anak? Itu akan membuatku stres!"
Suasana di ruang makan semakin memanas. Tuan Jackson terlihat frustrasi, ia mengusap wajahnya kasar. Bella, yang kini sudah terlihat lelah dan marah, berbalik, berjalan menuju kamarnya. Ia tidak menoleh sedikit pun, mengabaikan tatapan Yuna dan Lily yang mengikuti langkahnya.
"Aku capek, Jack! Aku mau istirahat! Jangan ganggu aku!" teriak Bella sebelum ia menutup pintu kamar dengan keras.
Suara dentuman pintu itu bergema di seluruh ruangan, meninggalkan keheningan yang canggung. Yuna hanya bisa menunduk, merasa tak enak hati karena harus menyaksikan pertengkaran pasangan suami istri itu. Ia melirik Tuan Jackson, pria itu hanya terdiam, rahangnya mengeras, matanya menatap kosong ke arah pintu yang baru saja ditutup oleh istrinya. Yuna merasa kasihan padanya. Ia pasti sangat mencintai Bella, hingga ia rela menahan amarahnya. Yuna tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Tuan Jackson yang harus melihat istrinya lebih mementingkan pekerjaannya.
Yuna hanya bisa mendengarkan. Ia tidak punya hak untuk ikut campur. Tugasnya di sini hanyalah mengasuh Lily, memastikan anak itu bahagia. Ia harus melunasi hutang orang tuanya. Dan dengan begitu, ia akan kembali ke kampung halaman, bertemu dengan ayah dan ibunya. Tidak akan peduli dengan semua kemewahan yang ia lihat di mansion ini, yang hanya membuatnya merasa lebih kecil dari debu. Tidak peduli dengan pertengkaran Tuan dan Nyonya Jackson, yang membuatnya sadar bahwa uang tidak bisa membeli kebahagiaan.