Rayden menyesap habis scotch di gelasnya, lalu menuangkan lagi, tanpa ragu. Hatinya terasa kosong, setelah pertengkaran hebat dengan ayahnya. Ayahnya menuntut Rayden untuk segera bertunangan, menikah dengan wanita yang ia pilihkan, demi kepentingan bisnis. Rayden muak dengan semua itu. Ia ingin kebebasan, ia ingin hidup sesuai keinginannya, bukan boneka yang diatur ayahnya. Ia terus minum, seolah ingin menenggelamkan semua masalahnya dalam alkohol.
Beberapa gelas kemudian, Rayden merasa kepalanya mulai pening. Dunia di sekitarnya terasa berputar. Ia menyadari dirinya sudah mabuk, namun ia tidak peduli. Ia hanya ingin melupakan segalanya, bahkan jika hanya untuk sesaat.
Di tengah kekacauan pikirannya, matanya menangkap siluet seorang wanita di kerumunan. Wanita itu menari dengan anggun, tubuhnya lentur, seperti penari profesional. Ia mengenakan gaun mini ketat berwarna merah yang membalut lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya terurai panjang, menutupi sebagian wajahnya, namun Rayden bisa melihat senyum misterius di bibir wanita itu.
Rayden bangkit dari duduknya, berjalan sempoyongan mendekati keramaian. Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wanita itu. Ia merasa ada dorongan aneh yang menariknya, sesuatu yang lebih kuat dari rasa mabuknya.
Wanita itu merasakan tatapan Rayden. Ia berbalik, lalu menatap Rayden dengan mata berbinar. Wajahnya cantik dengan riasan minimalis. Ia tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya. Rayden menyambut uluran tangan itu.
"Kenapa sendirian di sini?" bisik wanita itu, suaranya lembut, namun terdengar sangat sensual di telinga Rayden.
Rayden tidak menjawab, ia hanya menatap wanita itu lekat. Meskipun penampilannya menggoda, matanya memancarkan kepolosan yang kontras.
Wanita itu tersenyum lagi. Ia melingkarkan tangannya di leher Rayden, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Rayden. "Ingin... bersenang-senang denganku?" bisiknya, suaranya serak.
Rayden merasakan gejolak gairah yang kuat. Ia menunduk, menatap bibir penuh wanita itu. Tanpa sadar, ia menempatkan tangannya di pinggang wanita itu, menariknya mendekat.
"Siapa namamu?" tanya Rayden, suaranya parau.
"Kau bisa memanggilku Vella," jawab wanita itu, lalu ia mencium leher Rayden, membuat Rayden merinding.
Rayden tidak bisa menahannya lagi. Ia menangkup wajah Vella, lalu mencium bibir wanita itu. Ciuman itu intens, liar, dan penuh gairah. Vella membalasnya dengan sama beraninya. Rayden tahu, ia sudah tidak bisa mengendalikan dirinya lagi.
Ia melepaskan ciuman itu, lalu menggendong Vella ke kamar hotel di lantai atas Djakarta Club. Vella hanya terkekeh, melingkarkan kakinya di pinggang Rayden, menikmati sensasi digendong oleh pria tampan dan gagah ini.
Sesampainya di kamar hotel mewah, Rayden menurunkan Vella di atas tempat tidur. Ia tidak membuang waktu. Ia mencium Vella lagi, kali ini lebih dalam, lebih menuntut. Rayden mencium Vella dengan liar, seolah ingin melampiaskan seluruh kekacauan di kepalanya.
Vella merespons setiap sentuhan Rayden. Tangannya dengan sigap membuka kemeja Rayden, lalu ia mengelus dada Rayden yang bidang, membuat Rayden mendesah.
"Kau sangat tampan, tuan," bisik Vella.
Rayden tersenyum. "Kau juga sangat cantik, Vella. Sangat cantik."
Rayden mencium leher Vella, lalu turun ke bagian tubuhnya. Vella melayani Rayden dengan sangat baik. Ia tahu cara memuaskan pria. Ia menciumi Rayden, mengelus Rayden, membuat Rayden hampir gila. Vella mulai membelai Rayden, lalu ia menunduk dan memanjakannya.
"Aahhh... Vella... ahh...." desah Rayden. Ia merasakan sensasi yang begitu kuat. Ia mencengkeram sprei, menikmati sentuhan Vella yang begitu profesional dan memabukkan.
Setelah beberapa saat, Rayden tidak bisa menahannya lagi. Ia menarik Vella ke atas, lalu memposisikan dirinya di atas tubuh Vella.
"Ahh... Rayden... pelan-pelan..." desah Vella, saat Rayden mulai memasukinya.
"Ahhh... sempit sekali... ahhhh..." desah Rayden, merasakan sensasi penuh dan hangat yang luar biasa. Ia mulai menggerakkan pinggulnya, perlahan pada awalnya, lalu semakin cepat.
"Ehhh... uhhh... ahhhh... lebih cepat Rayden... lebih cepat..." pinta Vella, suaranya serak. Ia mendesah, tangannya merangkul leher Rayden, melengkungkan tubuhnya ke atas.
"Ssss... ahhhhh... Vella... kau... membuatku gila..." desah Rayden, ia merasa hampir mencapai puncaknya. Ia menggerakkan pinggulnya semakin cepat dan kuat.
"Rayden... ahhhhhh... ahhh...." desah Vella. "Nikmat sekali... ahhhhh... lagi... lagi..."
Kamar itu dipenuhi oleh suara desahan mereka. Mereka berdua terhanyut dalam gairah yang membara. Tubuh mereka saling bergesekan, kulit bertemu kulit, menciptakan melodi kenikmatan.
Rayden merasakan puncaknya sudah dekat. Ia memeluk Vella erat, lalu ia melepaskan desahannya yang panjang saat ia mencapai puncak. Vella juga demikian, tubuhnya menegang, lalu lemas dalam pelukan Rayden.
Setelah beberapa saat, Rayden membaringkan Vella di tempat tidur. Ia memeluknya erat, menciumi rambut wanita itu.
"Kau... kau membuatku gila, Vella," bisik Rayden.
Vella tersenyum, lalu mencium pipi Rayden. "Aku tahu, tuan."
Rayden membaringkan dirinya di samping Vella, memeluknya erat. Ia merasa lelah, namun hatinya sedikit lebih tenang. Untuk sesaat, ia melupakan semua masalahnya.
"Berapa biayanya?" tanya Rayden, suaranya parau.
Vella menatap Rayden. "100 juta."
Rayden terkejut. Jumlah itu sangat besar untuk 'layanan' seperti ini. Namun, ia tidak peduli. Vella memang pantas mendapatkan lebih. Tanpa ragu, ia membuka ponselnya dan melakukan transfer.
"Sudah," kata Rayden, singkat.
Vella tersenyum misterius. Ia bangkit, lalu mengenakan gaunnya kembali. Rayden menatapnya dengan bingung. Vella mengambil tas kecilnya, lalu berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, ia berbalik, menatap Rayden dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Suatu hari nanti... kita akan bertemu lagi, Rayden. Dengan cara yang lebih baik," bisik Vella, lalu ia menghilang di balik pintu, meninggalkan Rayden sendirian di kamar hotel, diliputi kebingungan dan rasa ingin tahu yang besar.