Tangannya menahan perut yang masih terasa nyeri.
"Aku udah bilang," lirih Rania, suaranya hampir tak terdengar. "Aku nggak bisa kerja dulu... badanku-"
PLAKK!
Tamparan itu datang tanpa aba-aba. Tidak keras. Tapi cukup membuat lutut Rania lemas.
"Aku bukan nyuruh kamu kerja!" bentaknya.
"Aku cuma bilang, bilang aja kamu janda. Cowok-cowok itu gampang kasihan. Ngemis dikit, rayu dikit, dapet deh duit!"
Ia tertawa pendek, tajam, getir.
"Emang susahnya di mana sih? Kau udah biasa pura-pura kuat kan?"
Air mata Rania jatuh. Tapi ia tak bersuara. Sudah terlalu sering. Sudah terlalu lama.
"Kenapa kamu tega, Mir?"
Pertanyaan itu keluar lirih. Tapi Emir terdiam. Matanya mengecil. Lalu ia mendekat lebih dekat, hingga napasnya terasa di wajah Rania yang pucat.
"Kamu pikir aku suka ngelakuin ini?! Aku muak! Aku juga capek! Tapi kamu ini beban, Rania. Kanker itu bukan alasan buat kamu jadi mandul dan miskin!"
Hana tiba-tiba menangis. Rania tersentak. Refleks, ia berlari memeluk anaknya yang menggigil.
Rafif menatap dari balik selimut, matanya penuh benci, pada ayahnya, pada dunia, dan mungkin... pada takdir.
Rania menatap dua anaknya. Tubuhnya masih bergetar. Tapi kali ini bukan karena takut. Tapi karena... cukup.
Ia peluk Hana erat-erat.
Lalu ia berkata pelan, tapi tegas,
"Besok aku pergi."
Emir tertawa, dingin.
"Mau ke mana? Rumah siapa? Siapa yang mau nampung kamu dan dua anak itu, hah?"
Rania diam.
Dia tahu, dia tak punya siapa-siapa.
Tapi malam itu, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun... dia percaya. Ia masih punya dirinya sendiri.
"Aku bahkan tak tahu harus pulang ke mana."
--
Langit pagi itu abu-abu. Matahari enggan muncul. Udara lembap, seperti paru-paru Rania, berat, penuh sesak.
Ia duduk di bangku halte kosong. Hana bersandar di pangkuannya, masih tertidur.
Rafif duduk di sebelah, diam, memeluk tas plastik berisi dua stel baju anak dan sisa obat kemo murah.
Ponselnya lowbat. Jemarinya gemetar saat mengirim pesan pinjaman uang ke 10 orang yang ada di kontaknya.
Tak satu pun yang mengirim. Yang balas hanya tiga.
Dan tak ada yang benar-benar menolong.
Rania membuka aplikasi tempat ia menjual tulisan. Hanya 8 orang baca novelnya bulan ini.
Aplikasi voice-over tempat ia biasa menjual suaranya juga sepi. Sudah enam bulan tak ada order.
Dokter bilang kankernya makin parah. Kemoterapi harus lanjut beberapa kalilagi. Tapi ia tak punya uang.
Dan ia tak punya siapa-siapa.
Ibunya meninggal waktu SMA. Ayahnya menyusul. Tak ada saudara. Dan sekarang, suaminya pun mengusir.
Tadi malam mereka tidur di mushola pasar. Penjaganya hanya bilang,
"Sebelum subuh, harus pergi."
"Bu, kita ke mana sekarang?" tanya Rafif lirih.
"Apa kita masih punya rumah, Bu?"
Rania mengangguk. Meski bohong.
Lalu di tengah siang yang panas, ia terima chat dari seorang teman lama.
[Maaf, aku nggak bisa bantu. Tapi kamu kuat, Ran. Kamu pasti bisa.]
Rania ingin balas:
[Kuat itu bukan pilihan. Kuat itu keterpaksaan.]
Tapi ponsel keburu mati.
Anaknya lapar. Ia bagi satu biskuit terakhir jadi dua.
Hana makan. Rafif bilang tak lapar, padahal bohong.
Dan saat semua terasa ingin diakhiri, Hana menatap ibunya dan berkata,
"Bu... jangan nangis. Nanti Allah marah."
Rania memeluk Hana.
Lalu berdiri. Pelan. Tapi yakin.
"Pulang itu bukan karena ada rumah. Tapi karena nggak ada pilihan."
"Rania?"
Suara itu datang dari balik mobil putih yang baru parkir.
Elsa.
Kakak ipar Emir. Istri abang kandung suaminya. Wajah licin, senyum plastik.
"Oh ya Allah... kamu beneran kamu?"
Elsa lalu berkata cepat,
"Gini... aku dan Bang Ucok besok mau ke Bandung. Tapi Mamak siapa yang jaga? Kamu kan udah biasa. Pulang aja deh, ya."
Bukan ajakan. Tapi titah.
Bukan karena sayang. Tapi karena butuh.
Rafif menoleh pelan dan berkata,
"Kita pulang aja, Bu. Kita kan nggak punya rumah."
---
Mereka sampai maghrib. Emir duduk di teras, rokok di tangan, tatapan penuh cemooh.
"Balik juga akhirnya si janda hidup segan mati pun ga bisa."
Elsa hanya senyum kecil dan berbisik,
"Kalau mau masak, pinjam dulu ke warung Bu Murni. Bilang aja saya yang suruh."
Malam itu, Rania menyelimuti dua anaknya. Ia tatap ibunya Emir, yang dulu sering menghinanya, yang kini terbaring lumpuh.
Dan ia tetap menyeka wajah wanita itu. Tetap mengganti popoknya. Karena meski hatinya luka, ia tetap manusia.
---
Pagi berikutnya, nasi habis. Anak-anak lapar. Rania ke warung Bu Murni.
"Boleh saya pinjam beras, Bu? Sama sayur seadanya..."
Bu Murni diam sejenak.
Lalu memberi sedikit.
"Kalau ikut hati, aku pengen kasih lebih. Tapi aku masih inget dulu Mamak kamu..."
Rania mengangguk. "Saya ngerti. Terima kasih, Bu."
Ia masak nasi dan kangkung di dapur kecil itu.
Anaknya makan hangat. Perutnya kenyang.
Dan malam itu, meski Rania tidur di lantai, ia tahu anak-anaknya tidak kedinginan
--
Pagi itu sunyi. Hanya suara cicak dan desah napas panjang Rafif yang bangun paling awal.
Hana masih meringkuk di kasur tipis. Rania menggigil di dapur, memasak air demi secangkir teh manis yang sisa gulanya harus dikorek dari kaleng biskuit kosong.
Emir tidak pulang semalam. Sudah dua malam.
Tidak ada kabar. Tidak ada pesan. Tidak ada uang.
Dan seperti biasanya... tidak ada penyesalan.
Saat air mulai mendidih, suara ketukan keras mengguncang pintu depan.
DUG DUG DUG DUG!!
Rafif melonjak kaget. Hana menangis ketakutan.
Rania meletakkan panci, menyeka tangannya, dan berjalan perlahan. Ketukan makin keras.
Pintu seakan mau jebol.
"BUKA!!"
Suara lelaki. Berat. Marah.
Dan bukan satu orang.
Rania mengintip dari sela tirai. Tiga orang. Satu bertato, satu bawa map lusuh, satu lagi pakai topi hitam.
Dan mereka membawa nota hutang.
"BUKA PINTUNYA SEKARANG, KALO NGGAK KAMI DOBRAAK!!"
Rania membuka perlahan. Suara tangis Hana menggema dari dalam. Rafif berdiri di belakang ibunya, mencoba terlihat berani.
"Pak... ada apa ya?" suara Rania gemetar.
Laki-laki bertato melotot.
"Mana Emir? Suruh keluar! Udah tiga bulan nunggak! Tanda tangan, cap jempol, semua ada!"
Yang bertopi menimpali,
"Ini KTA, Bu. 7 juta, sekarang bunganya udah hampir 10 juta. Kalau gak bayar, kita tarik barang!"
"Pak... ini bukan rumah saya... saya cuma... saya cuma numpang..."
Rania mencoba menjelaskan. Tapi mulutnya gemetar. Air matanya menahan di ujung kelopak.
"Pokoknya kita tarik aja barangnya ya!" Lelaki bertato sudah masuk ruang tamu. Matanya liar. Melihat kipas angin, TV, dan kulkas kecil di dapur.
"PAK! JANGAN! Itu... itu bukan punya kami!"
Rania berdiri di depan kipas. Rafif ikut berdiri di depan kulkas. Hana makin keras menangis.
"KAMI ITU CUMA NUMPANG!! SUAMI SAYA HILANG! KALIAN MAU NAGIH APA?!"
Nada suaranya pecah. Bukan karena marah. Tapi karena takut dan lelah. Dan malu.
Karena anak-anaknya melihat semuanya.
---
"Bu, kita bakal diusir ya?" bisik Rafif di kamar.
Matanya merah. Tangannya menggenggam ujung jilbab ibunya.
"Enggak, Nak... enggak... Ibu di sini. Selalu ada."
Tapi Rania sendiri tak yakin.
Karena sore itu, Elsa menelepon. Suaranya ketus.
"Kamu gimana sih?! Rumah kami digerebek tukang utang! Itu aib! Mamak kaget sampe sesak napas! Emir ke mana?!"
Rania tak tahu harus menjawab apa.
Ia ingin bilang:
"Aku nggak tahu. Aku juga korban."
Tapi ia hanya bilang,
"Maaf, Kak. Aku usahakan cari jalan keluar..."
Dan itu... kebohongan paling menyakitkan hari itu.
Karena ia tak tahu jalan mana yang tersisa.
---
Malamnya, Hana demam.
Rania menempelkan tisu basah di kening anaknya.
Listrik sempat padam karena token habis.
Ia harus menyalakan lilin kecil dari kamar mandi. Rafif duduk di dekat jendela, tak mau tidur. Ia merasa harus jaga ibunya.
"Minggu depan kita ke rumah sakit ya, Bu. Biar Ibu kemo lagi. Rafif temenin."
Rania hanya mengangguk.
Tapi hatinya berdarah. Karena biaya kemoterapi belum ada.
Obat nyeri juga sudah habis.
Dan esok harinya, ia berani melakukan hal yang paling menampar harga dirinya.
---