/0/2789/coverbig.jpg?v=4947cdd3063828a24889f7f2c897321c)
Warning 21+ mengandung adegan keras dan bahaya. Setting budaya barat. Selera global, harap bijak dalam membaca dan sesuaikan dengan umur. Keluarga Vallage mendapatkan warisan sebuah rumah di desa kecil di pelosok kota Nevada. Claire yang baru menyandang status janda membawa Bianca dan Lisa pindah ke rumah warisan tersebut. Namun, ternyata rumah itu membawa petaka buat keluarga Vallage. Sebuah teror menghampiri keluarga tersebut dan mengancam nyawa mereka. Bagaikan terperangkap di rumah warisan tersebut, mereka bertiga tidak bisa keluar dari rumah pembawa petaka. Bagaimanakah nasib mereka bertiga? Akankah mereka selamat atau nyawa mereka bertiga melayang?
HAPPY READING
"Tidak! Ja-jangan dekati aku! Pergi!" teriak Bianca ketakutan. Tubuh itu meringkuk di pojokan, menyembunyikan kepalanya. Suara erangan kian terdengar jelas memekakkan telinga. Bianca menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya. Matanya terpejam erat, seolah dia tidak ingin melihat apapun.
Bianca kembali berteriak lantang dan keras ketika sosok pria misterius dengan perawakan tubuh tinggi besar dan wajah yang sangat menakutkan mendekatinya. Tangan kekar itu memegang kakinya dengan cengkeraman yang sangat kuat.
"Lepas! Tolong lepaskan aku," ronta Bianca ketakutan. Gadis itu makin takut ketika pria itu menarik kuat kakinya. Pria itu menarik dengan kasar hingga beberapa kali tubuhnya terbentur.
"Aaaahh!" teriaknya kencang membuatnya terbangun dari tidurnya. Bianca meraup-kan kedua tangannya ke muka. Keringat membasahi tubuhnya. "Ternyata aku hanya bermimpi, tapi kenapa seperti nyata." Bianca mengelap keringat yang mengalir melewati pipinya.
"Aku haus sekali ...." Bianca memegang lehernya. Lalu menyibakkan selimut dan menurunkan kedua kakinya.
Bianca melangkah menuruni anak tangga dan menuju ke dapur. Membuka lemari es dan mengambil sebotol air mineral. Bianca duduk dan membuka tutup botol, lalu meneguknya. Bianca diam dan menatap kosong ke depan. Pikirannya jauh kembali menerawang tentang mimpinya yang terjadi beberapa menit yang lalu.
"Ah, mikir apa aku ini," gumamnya lalu beranjak dari kursi kembali ke lantai atas.
Di tempat lain, kamar yang bersebelahan dengan kamar Bianca. Lisa Vallage meremas selimutnya, tubuhnya tampak bergetar hebat, keringat mulai membasahi tubuhnya. Kedua tangannya tampak sibuk menghalau sesuatu.
"Ti-tidak ... ja-jangan-jangan sentuh aku!" teriaknya.
Bianca yang tengah berjalan menuju kamarnya, sayup-sayup mendengarkan sesuatu. Bianca memasang kupingnya dengan tajam, dia berusaha menangkap suara tersebut.
"Seperti suara Lisa. Ada apa dengannya? Apa dia mengalami hal yang sama sepertiku?" pikir Bianca. Dia pun bergegas berlari menuju kamar Lisa.
Untung pintu kamar Lisa tidak terkunci, Bianca langsung masuk ke dalam kamar dan melihat Lisa seperti sedang menahan sesuatu. Ya, Lisa sepertinya sedang dalam pengaruh mimpinya. Bianca bergerak cepat menghampiri sisi kanan tempat tidur Lisa. Dia langsung menyadarkan Lisa dari mimpinya.
"Lisa ... Lisa, bangun!" Bianca menggoyangkan tubuh Lisa berlanjut menepuk pipi Lisa.
Lisa langsung terbangun dengan napas tak beraturan, keringat mengucur setetes demi setetes melewati pipinya hingga berakhir pada dagunya. Bahunya bergejolak naik turun serta degup jantung dua kali lebih cepat. Lisa memegangi dadanya dan matanya terpejam. Gadis itu berusaha menenangkan diri.
"Minumlah ini." Bianca memberi botol air mineral yang dia bawa tadi. Lisa segera meminum air dalam botol itu. "Kau kenapa? Apa kau baru saja mengalami mimpi buruk?" tanya Bianca menepuk-nepuk bahu Lisa.
"A-aku baru saja mengalami mimpi buruk." Lisa menganggukkan kepalanya, menatap Kakaknya yang duduk di sampingnya. "Apa Kak Bianca juga-"
"Iya, beberapa waktu yang lalu aku juga bermimpi buruk," balas Bianca.
"Kenapa bisa kebetulan seperti ini," sambung Lisa.
"Apa mimpi kita sama dan ada kaitannya?" Bianca mengerutkan alisnya.
"Aku tidak tahu dan kenapa aku jadi merasa merinding mengingatnya." Lisa memegang tengkuknya.
"Apa kau mau-"
"Tidak, Kak. Aku tidak mau mendengarkannya sekarang." Lisa menyela ucapan Bianca. Lalu dia membaringkan tubuhnya lagi ke ranjang. Merasa ada yang bergerak, Lisa bangun dan mencegahnya agar tidak pergi.
"Kak Bianca mau ke mana?" cegah Lisa memegang tangan kiri Bianca.
"Aku mau kembali ke kamar," imbuh Bianca.
"Tidak. Aku mau Kak Bianca tidur di sini bersamaku!" pinta Lisa.
Bianca menarik napas dan memutar bola matanya. "Baiklah." Gadis itu tidak bisa menolaknya permintaan adiknya. Dia pun kembali naik ke atas ranjang dan tidur di samping Lisa. Bianca menepuk-nepuk paha Lisa agar dia tidur kembali.
°°°
Pagi itu Lisa hanya terdiam menatap piring di depannya yang berisi dua rangkap roti oles selai strawberry. Claire yang memperhatikan putri keduanya tampak heran.
"Kenapa rotimu tidak di makan? Kau mau berapa menit lagi menatap roti itu?" tegur Claire. Dari atas terdengar derap kaki yang berlari. Bianca menuruni anak tangga sambil menenteng totebag-nya.
"Pagi semua ...," sapa Bianca langsung duduk dan meraih segelas susu hangat. Dia meminum susu itu sambil melirik Lisa. "Roti itu tidak akan berubah bentuk walau kau terus-menerus melototi-nya." Bianca mencomot roti milik Lisa dan spontan Lisa protes.
"Hei ... ini rotiku!" pekik Lisa merebut kembali rotinya. "Kau sudah punya jatah roti sendiri, kenapa masih mencomot roti milikku!"
Bianca kembali duduk di kursinya, dia tertawa terkekeh-kekeh melihat tingkah pola adiknya. Lalu meraih roti yang ada di depannya.
"Kenapa kau memakan rotimu seperti itu." Claire heran melihat Bianca.
"Maaf Bu, jam sudah mepet. Aku harus segera berangkat biar tidak ketinggalan bus." Bianca meneguk susu hangatnya sampai habis dan dia segera pamit dengan memakan sisa rotinya.
"Kaak, kau mau meninggalkanku?" teriak Lisa dengan mulut penuh dengan roti.
"Kau mau ikut denganku atau di antar Mommy?" kata Bianca dari balik tembok.
"Sudahlah, biar Mommy yang antar kau ke sekolah. Mommy ada urusan juga di luar." Claire membereskan meja makannya dan segera bersiap-siap.
"Baiklah," balas Lisa sambil mengunyah roti potongan terakhir.
"Pelan-pelan makannya, nanti kau bisa tersedak."
Claire memanaskan mesin mobilnya. Dia memperhatikan make up-nya pada kaca tengah. Sedangkan Lisa sibuk memasang seat-bell, lalu dia melirik Ibunya.
"Mommy hari ini akan pergi ke mana?" tanya Lisa penasaran.
"Hmm ... hari ini Mommy akan ke rumah Kakek mu, lalu-"
"Menemuinya?" sela Lisa menyandarkan kepalanya dan menatap ke depan menembus kaca saat mobil yang dinaikinya mulai berjalan menyusuri kota.
"Ah-soal itu-Mommy-"
"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Mom." Lisa kembali menyela perkataan Claire dan itu membuat wanita itu hanya diam tidak melanjutkan perkataannya.
Dalam perjalanan kurang lebih lima belas menit, mereka berdua hanya diam seribu bahasa. Sesekali Claire melirik ke arah Lisa. Sesampainya di sekolah Lisa, gadis itu langsung turun tanpa basa-basi terhadap Ibunya. Claire hanya menarik napas melihatnya.
"Maafkan Mommy, Lis. Mommy memang bersalah dalam hal ini. Mommy janji akan segera menyelesaikan masalah ini."
Hari beranjak siang, matahari bersinar sangat terik. Lisa terduduk di taman sekolah dengan pandangan kosong. Bianca yang baru keluar dari perpustakaan heran melihat adiknya yang sedang melamun di taman sekolah.
"Dia kenapa? Sedang banyak masalah kah? Kenapa melamun di taman siang-siang begini," gumamnya.
Bianca melangkah mendekati Lisa. Saat sudah dekat dengan Lisa yang hanya beberapa jengkal. Timbullah rasa ingin menjahili Lisa.
Hmm ... aku kerjain saja ini orang, batin Bianca tersenyum layaknya iblis yang ingin meracuni otak orang-orang. Bianca berjalan mengendap-endap pelan di belakang Lisa. Saat hendak memberi kejutan pada Lisa. Gadis itu sudah menoleh terlebih dulu ke belakang.
"Tidak lucu tahu, Kak. Seperti anak kecil saja main seperti itu," kesal Lisa.
Bianca menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Lalu dia duduk di samping Lisa.
"Lagi pula kenapa kau melamun? Tidak baik siang-siang melamun di taman, nanti kesambet setan lewat," ledek Bianca. Lisa langsung melirik Bianca.
"Tidak lucu!" dengkus Lisa.
"Ha ha ha ...." Justru Bianca malah tertawa, dia seperti meledek adiknya. "Kau ini sedang banyak pikiran?" tanya Bianca.
"Tidak!" Lisa menggelengkan kepalanya.
"Atau karena mimpi buruk itu?" Bianca menatap Lisa dengan penuh tanda tanya.
"Tidak!" elak Lisa.
Mimpi buruk yang akhir-akhir ini dialami oleh Bianca dan juga Lisa sangat membuat mereka resah. Mimpi itu juga membuat keduanya tidak fokus. Rasa takut dan was-was menyerang mereka.
Mimpi buruk yang tidak hanya semalam terjadi, akan tetapi mimpi itu selalu menghantui mereka tiap malam. Sosok misterius dengan tubuh tinggi besar selalu datang ke dalam mimpi mereka.
Sebenarnya apa yang sedang mengganggu pikiran Lisa?
°°°
Lisa duduk di bawah pohon rindang yang ada di belakang rumahnya. Di tangan kirinya memegang sebuah buku gambar dan tangan kanannya memegang sebuah pensil.
Lisa duduk sambil menatap cakrawala senja. Langit yang berwarna oranye kemerahan bercampur dengan sisa semburat warna putih dan biru. Sungguh sangat indah dipandang mata.
Putri kedua Claire ini memang menyukai menggambar. Dia sangat berbeda dengan Bianca yang suka bersolek dan menyanyi.
Bianca melintasi pintu belakang, langkah kakinya terhenti dan Bianca melangkah mundur beberapa langkah. Dia melirik keluar dan melihat Lisa duduk dengan kedua kaki selonjor.
"Sedang apa di situ?"
Lisa menoleh dan hanya melihat Bianca sekilas, lalu kembali memperhatikan langit senja. Lisa mengangkat pensilnya ke atas, meletakan fokus target yang ingin dia lukis saat itu.
Bianca yang merasa dicueki hanya menggelengkan kepalanya dan kembali melangkahkan kakinya ke dapur.
Selang beberapa menit Bianca kembali melintasi pintu belakang dengan membawa gelas. Bianca lalu duduk di ambang pintu dan memperhatikan adik perempuannya sedang sibuk mencorat-coret buku gambarnya.
Bianca berdecak, lalu mengangkat gelasnya dan meneguk susu hangatnya.
"Kau seperti tidak ada kerjaan lainnya. Kenapa selalu menguntitku?"
"Hah? Siapa yang menguntitmu? Jangan GR!" Bianca mengusap bekas susu yang ada di ujung bibirnya. "Aku menguntit apa? Aku dari tadi duduk di sini dan tidak melakukan apapun. Kenapa jadi kau yang sewot."
"Kau selalu penasaran dengan apa yang aku lakukan."
"Tidak!" elak Bianca. Sejujurnya memang Bianca penasaran, akan tetapi dia gengsi.
Lisa tidak merespon Bianca, dia kembali menggerakkan pensilnya di atas kertas putih. Entah apa yang sedang di gambar oleh Lisa.
Ah, dasar penggemar rahasiaku. Kenapa tidak bilang jujur saja kalau kau nge-fans sama adikmu ini. Lisa membatin sambil fokus menggambar.
Lisa semakin fokus dan cuek. Hal itu membuat Bianca makin penasaran.
"Memangnya dia sedang menggambar apa dan kenapa dia begitu seserius itu," lirihnya pelan.
Bianca berjalan mengendap-endap. Dia berjalan agak menjauh dari tempat Lisa agar mengecohnya, lalu dia memutar kembali. Berdiri sebentar dengan berakting menatap langit. Lisa hanya meliriknya sekilas. Namun, dia tidak sadar jika Bianca berjalan pelan di belakangnya dan mengintip hasil gambaran Lisa.
Betapa terkejutnya Bianca saat melihat hasil gambar tangan milik Lisa. Matanya membulat sempurna dan mulutnya menganga.
TO BE CONTINUE
Perpisahan yang tak bisa dicegah. Terlambat? Ya, mungkin itu yang aku rasakan. Ketika aku mulai sadar, semua sudah terlambat. Menangis pun tidak akan mengubah semuanya, yang ada hanya rasa penyesalan. Kau hadir mewarnai hidupku, memberi arti tersendiri dalam hidupku. Mengajariku arti kesetiaan dan pengorbanan. Mengenalmu, membuatku merasakan rasa sakit, sedih, serta arti kebahagiaan. Jika aku bisa memutar waktu. Aku ingin memutarnya kembali dan aku ingin mengulanginya bersama denganmu.
Sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa Tuan dan Nyonya Van Willem membuat sepasang Kakak Beradik menjadi Yatim Piatu. Mereka berdua dibesarkan oleh pengasuh kepercayaan keluarga Van Willem. Setelah dewasa sang kakak menjadi satu-satunya penerus keluarga Van Willem, sedangkan sang adik diterima kerja di sebuah perusahaan ternama. Jalan cerita bermula ketika sang adik dipertemukan dengan seorang CEO muda yang kaya dan terkenal memiliki banyak wanita. Ternyata CEO muda itu adalah atasan di mana Irish bekerja. Masalah datang saat para mantan pacar dari CEO muda itu bermunculan. Serta salah paham terjadi di antara dua CEO muda. Tak hanya sampai disitu, lika-liku yang mendebarkan terselip di dalam kisah ini, nyawa pun menjadi taruhannya.
Kisah seorang ibu rumah tangga yang ditinggal mati suaminya. Widya Ayu Ningrum (24 Tahun) Mulustrasi yang ada hanya sebagai bentuk pemggambran imajinasi seperti apa wajah dan bentuk tubuh dari sang pemain saja. Widya Ayu Ningrum atau biasa disapa Widya. Widya ini seorang ibu rumah tangga dengan usia kini 24 tahun sedangkan suaminya Harjo berusia 27 tahun. Namun Harjo telah pergi meninggalkan Widy sejak 3 tahun silam akibat kecelakaan saat hendak pulang dari merantau dan karna hal itu Widya telah menyandang status sebagai Janda di usianya yang masih dibilang muda itu. Widya dan Harjo dikaruniai 1 orang anak bernama Evan Dwi Harjono
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
"Tanda tangani surat cerai dan keluar!" Leanna menikah untuk membayar utang, tetapi dia dikhianati oleh suaminya dan dikucilkan oleh mertuanya. Melihat usahanya sia-sia, dia setuju untuk bercerai dan mengklaim harta gono-gini yang menjadi haknya. Dengan banyak uang dari penyelesaian perceraian, Leanna menikmati kebebasan barunya. Gangguan terus-menerus dari simpanan mantan suaminya tidak pernah membuatnya takut. Dia mengambil kembali identitasnya sebagai peretas top, pembalap juara, profesor medis, dan desainer perhiasan terkenal. Kemudian seseorang menemukan rahasianya. Matthew tersenyum. "Maukah kamu memilikiku sebagai suamimu berikutnya?"