Untuk melindungi IPO perusahaannya yang bernilai triliunan rupiah, Bima, ibunya, dan bahkan orang tua angkatku sendiri bersekongkol melawanku. Mereka memindahkan Rania ke rumah kami, ke tempat tidurku, memperlakukannya seperti ratu sementara aku menjadi tahanan.
Mereka menggambarkanku sebagai wanita labil, ancaman bagi citra keluarga. Mereka menuduhku berselingkuh dan mengklaim anakku bukanlah darah dagingnya.
Perintah terakhir adalah hal yang tak terbayangkan: gugurkan kandunganku. Mereka mengunciku di sebuah kamar dan menjadwalkan prosedurnya, berjanji akan menyeretku ke sana jika aku menolak.
Tapi mereka membuat kesalahan. Mereka mengembalikan ponselku agar aku diam. Pura-pura menyerah, aku membuat satu panggilan terakhir yang putus asa ke nomor yang telah kusimpan tersembunyi selama bertahun-tahun-nomor milik ayah kandungku, Antony Suryoatmodjo, kepala keluarga yang begitu berkuasa, hingga mereka bisa membakar dunia suamiku sampai hangus.
Bab 1
Sudut Pandang Kirana Adiwijaya:
Aku mengetahui pernikahanku akan berakhir dengan cara yang sama seperti seluruh dunia: dalam kilatan membutakan lampu kamera di sebuah acara amal yang telah kuorganisir.
Satu saat, aku sedang tersenyum, segelas *sparkling water* kupegang dengan anggun, pikiranku tertuju pada bayi yang tumbuh di dalam rahimku-rahasia kami, kebahagiaan kami. Saat berikutnya, seorang reporter menyodorkan ponsel ke wajahku, layarnya bersinar dengan berita terkini.
"Nyonya Nugraha, ada komentar tentang pengumuman besar suami Anda?"
Judul beritanya begitu tajam, begitu brutal. *Maestro Teknologi Bima Nugraha dan Kekasih Masa Kecil Rania Putri Menantikan Anak Pertama.*
Udara di paru-paruku seakan membeku. Senyumku membeku di wajah, topeng rapuh yang terasa bisa retak dan hancur berkeping-keping. Aku bisa merasakan ratusan mata tertuju padaku, bisik-bisik mulai berdesir di ballroom mewah itu seperti gelombang racun.
Aku berbalik, gerakanku lambat, seperti robot. Dan di sanalah dia. Suamiku, Bima. Dia berdiri di seberang ruangan bersama Rania Putri, tangannya bertengger posesif di punggung wanita itu. Rania menatapnya dengan mata penuh air mata dan puja, tangannya sendiri melindungi tonjolan kecil di perutnya.
Mereka adalah gambaran yang sempurna. Pasangan penuh cinta yang berbagi rahasia indah dengan dunia.
Sebuah rahasia yang seharusnya menjadi milikku.
Reporter itu, seekor burung bangkai yang mencium bau mangsa, bergerak mendekat. "Benarkah Anda dan Tuan Nugraha sudah pisah ranjang?"
Kepanikan berkilat di mata Bima saat dia akhirnya melihatku. Dia melihat reporter itu, ponselnya, dan ekspresi hancur di wajahku. Cengkeramannya pada Rania mengencang sesaat sebelum dia melepaskannya, wajahnya memucat.
Mata kami bertemu di seberang ruangan yang ramai. Dalam satu momen yang menegangkan itu, tujuh tahun kehidupan kami bersama diputar ulang dan mati. Malam-malam larut saat aku membantunya menyusun kode untuk aplikasi pertamanya, cara dia memelukku ketika orang tua angkatku mengkritik pilihan karierku, janji yang dibisikkan minggu lalu bahwa bayi kita, putra kita, akan memiliki cinta yang tidak pernah benar-benar kami miliki.
Semuanya berubah menjadi abu.
Kemarahan yang dingin dan sunyi mulai membara di dadaku, kekuatan glasial yang menyingkirkan keterkejutan. Aku mulai berjalan ke arahnya. Gumaman di ruangan itu senyap, kerumunan terbelah di hadapanku seperti Laut Merah. Satu-satunya suara adalah ketukan sepatu hak tinggiku yang mantap dan disengaja di lantai marmer. Setiap langkah adalah pukulan palu terhadap fondasi pernikahan kami.
Aku berhenti tepat di depannya. Aku tidak melihat Rania. Seluruh duniaku telah menyempit pada wajah tampan dan pengkhianat Bima.
"Kau punya waktu enam puluh detik untuk mengarang kebohongan yang mungkin bisa kupercaya," kataku, suaraku sangat rendah, tanpa kehangatan sama sekali.
Dia membuka mulutnya, pesona karismatiknya sudah mulai bekerja. "Kirana, sayang, ini tidak seperti yang kau lihat. Ayo kita pulang dan aku bisa jelaskan semuanya."
Aku tidak membiarkannya selesai. Tanganku bergerak dengan sendirinya, kabur dalam gerakan cepat.
PLAK!
Suara tamparanku di pipinya menggema dalam keheningan ballroom yang luas. Desahan kolektif berdesir di antara penonton kami.
Bima berdiri di sana, tertegun, jejak merah tanganku mekar di kulitnya. Dia tidak terlihat marah. Dia hanya terlihat... tertangkap basah.
"Tolong, jangan salahkan Bima!" Suara Rania adalah bisikan manis, dibalut dengan kepalsuan saat dia melangkah di antara kami, meletakkan tangan di dada Bima. "Ini semua salahku. Aku... aku kesepian. Dia hanya bersikap baik."
Matanya, berkilauan dengan air mata yang diatur waktunya dengan sempurna, terkunci padaku. Tidak ada permintaan maaf di sana. Hanya kemenangan.
Amarah di dalam diriku akhirnya menembus lapisan es, dan setetes air mata panas lolos, menelusuri pipiku yang dingin. Aku merasakan sisa ketenanganku hancur berkeping-keping.
Bima meraihku, suaranya serak putus asa. "Kirana, tolong."
Dia mencoba menarikku ke dalam pelukannya, tapi aku menghindar dari sentuhannya seolah terbakar.
"Jangan sentuh aku," kataku tercekat.
Humasnya muncul di sisinya, berbisik mendesak di telinganya. Rahang Bima mengeras. Dia memandang dari humasnya, ke lautan wajah yang menonton, ke ekspresi memohon Rania, dan akhirnya, kembali padaku. Perhitungan di matanya membuatku muak.
"Bayi itu anakku," katanya, suaranya kini jelas dan tegas, bukan untukku, tapi untuk semua orang yang mendengarkan. "Rania dan aku punya sejarah panjang. Kami akan melewati ini bersama."
Rania terisak pelan dan bersandar padanya, membenamkan wajahnya di setelan mahalnya. Bima melingkarkan lengan di sekelilingnya, memeluknya erat. Sebuah gestur protektif. Gestur yang tidak dia tawarkan padaku, istrinya yang sedang hamil, yang berdiri sendirian di tengah reruntuhan yang dia ciptakan.
"Bima, apa yang kau katakan?" bisikku, kata-kata itu tersangkut di tenggorokanku. "Bagaimana dengan bayi kita?"
Dia akhirnya menatapku, matanya gelap dengan rasa sakit yang kutahu bukan untukku, tapi untuk dirinya sendiri. Untuk ketidaknyamanan yang kuwakili.
"Kita bicara di rumah," gumamnya, suaranya rendah dan tegang. Dia mulai menuntun Rania yang menangis ke arah pintu keluar, timnya membentuk barisan di sekitar mereka seperti pengawal kerajaan.
Dia meninggalkanku. Dia meninggalkanku di sini, sendirian, untuk menghadapi penghinaan ini.
Aku berdiri membeku saat mereka berjalan pergi. Beban deklarasi publiknya menyelimutiku, kain kafan yang menyesakkan. Dia tidak hanya mengakui perselingkuhan. Dia secara terbuka mengklaim anak wanita lain dan, dengan melakukan itu, telah menghapus anak kami.
Kakiku lemas dan aku terhuyung mundur, menahan diri di atas meja yang penuh dengan gelas sampanye yang tak tersentuh. Ruangan mulai berputar.
Perusahaannya, Nugraha Tech, berada di ambang IPO terbesar dalam satu dekade. Skandal, perceraian yang berantakan, anak haram-itu akan menjadi bencana. Tapi seorang maestro teknologi yang mendampingi teman masa kecilnya yang hamil? Itu adalah kisah kesetiaan. Itu mulia.
Itu adalah kebohongan yang mengorbankan aku dan anak kami yang belum lahir di altar ambisinya.
Saat salah satu penjaga keamanannya mendekat untuk mengantarku keluar melalui pintu samping, jauh dari mata-mata usil dan kilatan kamera, sebuah kesadaran yang memuakkan muncul. Bima tidak hanya membuat kesalahan.
Dia telah membuat pilihan. Dan dia tidak memilihku.
Dia telah memilih wanita itu.