Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Harga Cinta Terpendam
Harga Cinta Terpendam

Harga Cinta Terpendam

5.0
19 Bab
128 Penayangan
Baca Sekarang

Enam tahun lalu, aku menghancurkan pria yang paling kucintai demi menyelamatkannya. Hari ini, dia kembali ke dalam hidupku untuk merebut satu-satunya yang tersisa dariku. Aku sekarat karena leukemia, hidupku tinggal hitungan bulan. Satu-satunya harapanku adalah menghabiskan sisa waktuku bersama putriku, Kania. Tapi aku digugat hak asuh oleh adik iparku, saudara dari mendiang suamiku, yang menuntut harta gono-gini yang tak kumiliki. Lalu, pengacara lawan masuk. Dia adalah Bram Prasetyo. Dia hanya berdiri, wajahnya sedingin es, saat kliennya menamparku. Dia mengancam akan merebut putriku, menyebutku ibu yang tidak becus. "Tanda tangani," katanya, suaranya menusuk. "Atau kita bertemu di pengadilan, dan aku akan mengambil segalanya darimu. Dimulai dari putrimu." Dia tidak tahu Kania adalah anaknya. Dia tidak tahu aku sedang sekarat. Dia hanya tahu dia membenciku, dan dia sekarang punya keluarga baru dengan wanita yang keluarganya telah menghancurkan keluargaku. Aku telah mengorbankan segalanya untuk melindunginya, mendorongnya pergi dengan kebohongan kejam agar dia bisa punya masa depan. Tapi pengorbananku telah mengubahnya menjadi monster, dan dia sekarang adalah senjata yang digunakan untuk menghancurkanku sepenuhnya. Untuk menyelamatkan putri kami, aku menyerahkan uang pengobatanku dan mengirimnya pergi jauh. Saat dia merayakan kelahiran anak barunya di lantai atas, aku mati sendirian di ranjang rumah sakit. Tapi aku meninggalkan sepucuk surat untuknya. Surat yang akan membakar dunia sempurnanya hingga menjadi abu.

Konten

Bab 1

Enam tahun lalu, aku menghancurkan pria yang paling kucintai demi menyelamatkannya. Hari ini, dia kembali ke dalam hidupku untuk merebut satu-satunya yang tersisa dariku.

Aku sekarat karena leukemia, hidupku tinggal hitungan bulan. Satu-satunya harapanku adalah menghabiskan sisa waktuku bersama putriku, Kania. Tapi aku digugat hak asuh oleh adik iparku, saudara dari mendiang suamiku, yang menuntut harta gono-gini yang tak kumiliki.

Lalu, pengacara lawan masuk. Dia adalah Bram Prasetyo.

Dia hanya berdiri, wajahnya sedingin es, saat kliennya menamparku. Dia mengancam akan merebut putriku, menyebutku ibu yang tidak becus.

"Tanda tangani," katanya, suaranya menusuk. "Atau kita bertemu di pengadilan, dan aku akan mengambil segalanya darimu. Dimulai dari putrimu."

Dia tidak tahu Kania adalah anaknya. Dia tidak tahu aku sedang sekarat. Dia hanya tahu dia membenciku, dan dia sekarang punya keluarga baru dengan wanita yang keluarganya telah menghancurkan keluargaku.

Aku telah mengorbankan segalanya untuk melindunginya, mendorongnya pergi dengan kebohongan kejam agar dia bisa punya masa depan. Tapi pengorbananku telah mengubahnya menjadi monster, dan dia sekarang adalah senjata yang digunakan untuk menghancurkanku sepenuhnya.

Untuk menyelamatkan putri kami, aku menyerahkan uang pengobatanku dan mengirimnya pergi jauh. Saat dia merayakan kelahiran anak barunya di lantai atas, aku mati sendirian di ranjang rumah sakit.

Tapi aku meninggalkan sepucuk surat untuknya. Surat yang akan membakar dunia sempurnanya hingga menjadi abu.

Bab 1

POV Elara Wijaya:

Enam tahun lalu, aku menghancurkan satu-satunya pria yang pernah kucintai demi menyelamatkannya. Hari ini, dia kembali ke dalam hidupku untuk merebut satu-satunya yang tersisa dariku.

Ruang mediasi itu dingin, udaranya pekat dengan aroma kopi murahan dan kebencian yang tak terucap. Di seberang meja mahoni yang mengilap, Ratna Susanti, saudara dari mendiang suami kontrakku, menyeka matanya yang kering dengan tisu. Sebuah pertunjukan duka, sekosong pernikahan yang menghubungkan kami.

Dukaku sendiri adalah rasa sakit yang sunyi dan konstan, seorang teman yang sudah biasa menemaniku, sama seperti kelelahan yang mengendap jauh di tulang-tulangku. Leukemia, kata dokter. Sebuah bom waktu yang tak sanggup kulihat detiknya. Yang kuinginkan hanyalah menghabiskan sisa waktuku bersama putriku, Kania, bukan di ruangan steril memperjuangkan gugatan hak asuh yang tak berdasar.

Aku menyetujui mediasi ini untuk menghindari biaya dan publisitas persidangan, berharap penyelesaian damai akan membuat Ratna dan keserakahannya lenyap.

Lalu pintu terbuka, dan duniaku jungkir balik.

Bram Prasetyo.

Dia bukan lagi pemuda yang tawanya menggema di kenangan kuliahku, yang pernah menjiplak rasi bintang di punggungku di kamar kosnya yang sempit. Pria ini adalah orang asing, terpahat dari es dan ambisi. Jasnya dijahit dengan sempurna, rahangnya sekeras batu, dan matanya-mata yang sama dalam dan penuh perasaan yang pernah membuatku tersesat-kini dingin, hampa, dan penuh perhitungan. Dia adalah pengacara lawan. Tentu saja. Semesta punya selera humor yang kejam.

Suara Ratna, cempreng dan menusuk telinga, memecah keheningan. "Itu dia. Si janda hitam. Lihat dia, Bram. Setetes air mata pun tak ada untuk kakakku yang malang."

Aku tersentak, pandanganku terpaku pada serat kayu meja.

"Dia mungkin selingkuh selama ini," desis Ratna, suaranya meninggi. "Kakakku itu orang baik, malaikat, mau menerima wanita sepertinya. Pewaris jatuh miskin dengan anak haram!"

Mediator, seorang wanita lelah berusia lima puluhan, berdeham. "Ibu Susanti, mari kita jaga sikap profesional."

Ratna mengabaikannya, matanya menyorot tajam padaku. "Aku mau kompensasi. Untuk penderitaan batin kakakku. Dia meninggal karena patah hati, tahu!"

"Dia meninggal karena kanker, Ratna," kataku, suaraku nyaris tak terdengar.

"Karena kamu!" jeritnya, menerjang ke seberang meja. Tangannya mendarat di pipiku, kekuatannya membuat kepalaku tertoleh ke samping. Rasa perihnya tajam, tapi tak ada apa-apanya dibandingkan es yang membanjiri pembuluh darahku saat aku menatap Bram.

Dia hanya berdiri di sana. Tak bergerak. Wajahnya topeng tanpa ekspresi saat dia melihat kliennya menyerangku. Bram yang kukenal dulu akan melemparkan dirinya ke depan bus untukku. Pria ini bahkan tidak mau melintasi ruangan.

Aku tidak bergerak. Aku tidak berteriak. Aku hanya menyerap pukulan itu, harga diriku satu-satunya perisai yang tersisa.

"Cukup, Ratna," kata Bram akhirnya, suaranya tanpa emosi. Tenang, terukur, suara seorang pengacara yang menguasai ruang sidang, bukan seorang pria yang menyaksikan wanita yang pernah dicintainya dipukul.

Aku teringat dia meneriakkan namaku di tengah badai, wajahnya basah oleh hujan dan air mata, memohon agar aku tidak meninggalkannya. Kontras itu adalah pukulan fisik, merenggut udara dari paru-paruku.

Dia melangkah maju, meletakkan sebuah map di atas meja di depanku dengan bunyi pelan. Jari-jarinya yang panjang dan elegan menyentuh kertas itu. "Tanda tangani ini."

Aroma parfumnya, wangi bersih dan tajam yang tidak kukenali, memenuhi ruang di antara kami. Aku teringat saat dia menulis 'Aku akan mencintai Elara Wijaya selamanya' di serbet bar dan menyodorkannya padaku, menyebutnya kontrak yang mengikat. Hatiku terasa diremas.

Aku menunduk, tak sanggup menatap matanya. Kenangan malam terakhir kami membakar di balik kelopak mataku. Wajahnya, hancur dan bingung saat aku melontarkan kata-kata paling kejam yang bisa kubayangkan. "Kamu itu cuma proyek amalku, Bram. Proyek kecil yang menyenangkan. Apa kamu benar-benar berpikir orang sepertiku akan berakhir dengan orang sepertimu?"

Itu semua bohong, setiap katanya, dirancang untuk memisahkannya dari bencana hidupku, untuk melindunginya dari rentenir dan penjahat yang dilepaskan oleh kehancuran ayahku. Tapi di ruangan dingin dan steril ini, kebohongan itu terasa seperti satu-satunya kebenaran yang ada di antara kami.

"Kamu menipu kakakku," cibir Ratna, kembali ke kursinya tapi masih bergetar karena amarah. "Kamu berutang pada kami. Kalau kamu tidak bisa bayar, kami akan ambil anak itu. Dia bisa bekerja untuk melunasi utangmu."

Kepalaku terangkat, raungan protektif membuncah di dadaku. "Kamu tidak akan menyentuh putriku."

Aku meraih pulpen, tapi tanganku gemetar hebat. Kemoterapi meninggalkan getaran yang tak bisa kukendalikan.

"Marco dan aku punya kesepakatan," kataku, suaraku bergetar. "Itu adalah perjanjian bisnis. Dia butuh perawat, dan aku butuh nama untuk putriku agar dia tidak di-bully."

"Bohong!" jerit Ratna. "Kakakku tidak akan-"

"Diam," perintah Bram, dan wanita itu terdiam. Dia mengalihkan tatapan sedingin esnya padaku. "Elara Wijaya. Elara Wijaya yang hebat. Aku tidak pernah menyangka akan melihat hari di mana kamu tawar-menawar recehan dalam sebuah mediasi."

Napas ku tercekat. Dia tahu persis di mana harus menyayat.

"Jangan buang-buang waktu lagi," lanjutnya, nadanya singkat dan profesional. "Klien saya bersedia menerima lima miliar rupiah. Harga yang kecil untuk mempertahankan putrimu, bukan begitu? Untuk seseorang yang dulu biasa menghabiskan sebanyak itu untuk satu pesta."

Aku menatap perjanjian di depanku, tinta hitamnya kabur oleh selaput air mata yang tak tertumpah. Aku teringat lagi wajahnya malam itu, cara bahunya merosot kalah, bayangan siluetnya yang hancur terpatri dalam ingatanku. Sekarang, dia penuh dengan sudut tajam dan kesuksesan, seorang pria yang diciptakan kembali oleh pengkhianatanku.

"Aku tidak punya uang sebanyak itu, Bram," bisikku, pengakuan itu merenggut sisa harga diriku. "Dan kesehatanku... aku tidak bisa..."

"Aku tidak tertarik dengan alasanmu, Ela," potongnya, suaranya seperti es yang retak. "Ini masalah hukum, bukan cerita sedih. Perasaanmu tidak relevan di sini."

Dia mencondongkan tubuh, mengetukkan jari terawatnya di garis tanda tangan. "Tanda tangani. Atau aku akan menemuimu di pengadilan, dan aku akan mengambil segalanya darimu. Dimulai dari putrimu."

Setetes air mata panas lolos dan menggores pipiku. Aku menyekanya dengan marah. Tidak. Aku tidak akan memberinya kepuasan. Aku tidak akan memberi mereka apa yang mereka inginkan.

Waktuku tinggal sedikit. Beberapa minggu. Mungkin beberapa bulan, jika aku beruntung. Setiap detik berharga, dan aku tidak akan menghabiskannya melawan pertempuran yang sia-sia melawan pria yang memegang masa laluku, dan kini masa depanku, di tangannya. Tapi aku tidak bisa kehilangan Kania.

Dia melihat semangat juangku padam. Dia melihatku hancur.

"Di pengadilan, Ela," peringatnya, suaranya bisikan rendah yang menusuk, "kamu akan tahu aku tidak punya belas kasihan."

Senyum pahit menyentuh bibirku. "Aku tahu. Aku sudah seperti mayat hidup, Bram."

Ponselnya bergetar di atas meja, menyala dengan gambar yang menghancurkan kepingan terakhir hatiku yang rapuh. Itu adalah foto lock screen dirinya dan seorang wanita cantik berwajah lembut, kepalanya bersandar di bahunya. Adelia Suryo. Keluarganya yang mengatur kehancuran keluargaku. Di foto itu, Adelia menggendong seorang anak laki-laki kecil, dan tangannya yang lain bertumpu pada perut yang sedikit membuncit.

Dia sudah menikah. Dia punya keluarga. Keluarga baru.

Udara di paru-paruku berubah menjadi abu. Semua harapan bodoh dan rahasia yang kupegang selama enam tahun-bahwa mungkin, suatu hari nanti, dia akan mengerti-semuanya mati pada saat itu.

Aku meraba-raba tas tanganku yang usang di lantai, dorongan putus asa untuk melarikan diri menguasaiku. Tanganku gemetar begitu parah hingga tas itu terlepas, isinya tumpah ke lantai. Lipstik, koin receh, dan selusin botol obat berwarna kuning. Obat penyelamat hidupku, obat perpanjangan umurku, berserakan di kakinya.

Dia berdiri untuk pergi, tapi kemudian dia membeku. Tatapannya turun dari wajahku ke lantai, lalu kembali ke atas. Secercah sesuatu-kebingungan, kecurigaan-melintas di wajahnya untuk pertama kalinya.

Dia melangkah ke arahku, suaranya dangerously quiet. "Gadis itu, Kania. Berapa umurnya?" Sebelum aku bisa menjawab, matanya menyipit. "Siapa ayahnya, Ela?"

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 19   11-06 21:58
img
img
Bab 1
29/10/2025
Bab 2
29/10/2025
Bab 3
29/10/2025
Bab 4
29/10/2025
Bab 5
29/10/2025
Bab 6
29/10/2025
Bab 7
29/10/2025
Bab 8
29/10/2025
Bab 9
29/10/2025
Bab 10
29/10/2025
Bab 11
29/10/2025
Bab 12
29/10/2025
Bab 13
29/10/2025
Bab 14
29/10/2025
Bab 15
29/10/2025
Bab 16
29/10/2025
Bab 17
29/10/2025
Bab 18
29/10/2025
Bab 19
29/10/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY