Kebohongan itu begitu enteng, begitu biasa, hingga rasanya lebih menghancurkanku daripada perselingkuhan itu sendiri.
Lalu dia membawa perempuan itu ke taman kenangan ibuku. Dia hanya berdiri di sana sementara perempuan itu mencoba mendirikan sebuah monumen untuk kucingnya yang sudah mati, tepat di sebelah bangku ibuku.
Ketika aku mengonfrontasi mereka, dia punya nyali untuk memintaku menunjukkan belas kasihan.
"Tunjukkanlah sedikit belas kasihan," katanya.
Belas kasihan untuk perempuan yang menodai kenangan ibuku. Belas kasihan untuk perempuan yang telah dia ceritakan tentang keguguranku, sebuah duka suci yang dia bagikan seolah-olah itu adalah rahasia kotor.
Saat itulah aku sadar, ini bukan lagi sekadar soal patah hati. Ini tentang membongkar kebohongan yang telah kubantu dia bangun.
Malam itu, saat dia tidur, aku memasang alat penyadap di ponselnya. Aku seorang ahli strategi politik. Aku sudah menghancurkan karier orang dengan modal yang jauh lebih sedikit. Buku kelima puluh tidak akan menjadi permintaan maafnya. Buku itu akan menjadi pernyataan penutupku.
Bab 1
Hal pertama yang kulakukan setibanya di rumah adalah menuang segelas besar anggur merah untuk diriku sendiri. Aku berjalan melewati ruang tamu, mengabaikan tumpukan materi kampanye di meja makan, dan langsung menuju ruang kerjaku. Aku membuka kunci lemari kaca dan dengan hati-hati meletakkan buku itu di rak yang kosong.
Itu adalah edisi pertama *Bumi Manusia* karya Pramoedya Ananta Toer. Indah, langka, dan luar biasa mahal.
Itu adalah buku keempat puluh sembilan yang diberikan Baskara padaku. Empat puluh sembilan permintaan maaf untuk empat puluh sembilan pengkhianatan.
Dia masuk tepat saat aku hendak menutup lemari.
"Anjani, kamu sudah pulang," katanya, suaranya lembut dan menawan, suara yang sama yang memenangkan suara untuknya.
Dia mendekat dari belakang, melingkarkan lengannya di pinggangku. Aku menegang. Sentuhannya terasa seperti kebohongan.
"Kamu melewatkannya," kataku, suaraku datar.
Aku sedang membicarakan upacara Penghargaan Pengabdian Seumur Hidup untuk ayahku. Upacara yang Baskara bersumpah tidak akan dia lewatkan demi apa pun di dunia ini. Dia telah berjanji pada ayahku, memegang tangannya, dan menatap matanya.
Ayahku sedang sakit parah. Janji itu berarti segalanya.
"Aku tahu, Sayang, aku minta maaf sekali," kata Baskara, menyandarkan dagunya di bahuku. "Ada pertemuan mendadak dengan donatur. Benar-benar darurat. Kamu tahu kan bagaimana keadaannya."
Aku tahu persis bagaimana keadaannya. Temanku, seorang agen properti, baru saja meneleponku satu jam yang lalu. Dia baru saja menyelesaikan transaksi sebuah apartemen mewah di kawasan Kuningan. Pembelinya adalah Baskara Wijoyo. Dia membayar tunai. Sertifikatnya atas nama Jelita Permata.
Jelita Permata. Kekasih masa SMA-nya. Hantu yang tidak pernah benar-benar pergi dari pernikahan kami.
Kebohongan itu begitu enteng, begitu mudah baginya. Rasanya lebih menghantamku daripada perselingkuhan itu sendiri. Dia telah membiarkan ayahku yang sedang sekarat menunggunya, semua demi membeli sarang cinta untuk perempuan lain.
Selama bertahun-tahun, inilah polanya. Dia akan berselingkuh, aku akan mengetahuinya, dan sebuah buku langka akan muncul. Permintaan maaf yang sunyi dan mahal yang diharapkan akan kuterima. Itu adalah sebuah transaksi. Kebungkamanku ditukar dengan sebuah benda yang indah.
Aku telah memutuskan bahwa buku kelima puluh akan menjadi yang terakhir. Akhir dari kami. Tapi berdiri di sana, dengan beban kebohongannya yang menekanku, aku tahu aku tidak bisa menunggu. Pengkhianatan ini, yang menyakiti ayahku, adalah batas kesabaranku.
"Buku yang indah, ya kan?" bisiknya, napasnya hangat di leherku. Dia pikir, seperti biasa, bahwa hadiah itu telah memperbaiki segalanya.
"Ya," kataku, berbalik menghadapnya. Aku memaksakan seulas senyum tipis. "Sangat indah."
Aku butuh bukti. Aku perlu melihat seluruh kebenaran yang busuk itu sebelum aku membakar semuanya hingga menjadi abu.
Malamnya, saat dia sedang mandi, aku mengambil ponselnya. Tanganku gemetar, tapi pikiranku jernih. Aku seorang ahli strategi politik. Aku sudah menghancurkan karier orang dengan informasi yang jauh lebih sedikit dari ini. Memasang aplikasi penyadap sederhana adalah permainan anak-anak.
Hanya butuh kurang dari dua menit. Aku meletakkan kembali ponsel itu di meja samping tempat tidur tepat saat suara air berhenti.
Dia keluar dari kamar mandi, handuk melilit pinggangnya, tersenyum dengan senyum kandidat yang sempurna itu.
"Aku akan menebus kesalahanku padamu dan ayahmu, aku janji," katanya.
Dia mencondongkan tubuh untuk menciumku, tapi aku sedikit memalingkan wajah, sehingga bibirnya mendarat di pipiku.
"Aku hanya lelah," kataku.
Dia menerimanya dengan mudah, terlalu sibuk dengan dirinya sendiri untuk menyadari dinginnya tatapanku.
Satu jam kemudian, saat dia mendengkur pelan di sampingku, ponselnya bergetar di meja. Notifikasi pesan menerangi layar. Di ponselku sendiri, aplikasi itu langsung mencerminkannya.
Jelita: Mikirin kamu. Nggak sabar buat 'meresmikan' tempat baru kita.
Aku memandangnya tidur, pria yang telah kubangun hidup bersamanya, orang asing ini.
Aku membuka profil Instagram publiknya. Ada postingan baru dari dua jam yang lalu. Sebuah foto kunci dengan gantungan kunci besar berbentuk hati yang norak di atas meja marmer.
Keterangannya berbunyi: Awal yang baru. Dia tahu jalan menuju hatiku.
Baskara menyukai postingan itu. Dia bahkan berkomentar dengan satu emoji hati merah. Dia melewati puluhan foto diriku di halaman kampanyenya sendiri, foto-foto kami tersenyum, pasangan politisi yang sempurna, hanya untuk menyukai foto kunci apartemen yang dia beli untuk selingkuhannya.
Lalu pesan lain dari Jelita masuk.
Jelita: Besok? Jam yang sama?
Ponsel Baskara bergetar lagi. Dia bergerak dalam tidurnya tetapi tidak bangun. Aku menahan napas. Balasan yang kulihat di layarku adalah pesan terjadwal yang pasti sudah dia atur sebelum tertidur.
Baskara: Nggak sabar. Aku akan bilang ke Anjani ada rapat anggaran.
Kebohongan itu sudah disiapkan. Tanpa usaha.
Aku berbaring dalam kegelapan, layar ponselku memancarkan cahaya pucat di wajahku. Ahli strategi di kepalaku sudah mulai bekerja, memetakan langkah-langkahnya. Ini bukan lagi sekadar soal patah hati. Ini tentang membongkar sebuah kebohongan. Kebohonganku. Kehidupan yang telah kubantu dia bangun.
Buku kelima puluh satu tidak akan menjadi hadiah. Itu akan menjadi pernyataan penutupku.