Suara berat dan menusuk itu, milik Rendra, suaminya. Atau lebih tepatnya, si pemilik sah penderitaannya.
Kania terperanjat, buru-buru menunduk. Tangan kurusnya gemetar memegang nampan perak. Udara di ruang tamu itu begitu tebal, dipenuhi aroma kopi mahal dan bau arogansi. Di sofa, duduk Rendra, dengan tatapan mata yang tak pernah menunjukkan kehangatan. Di sebelahnya, ada Mertua Kania, Nyonya Besar Ratna, yang selalu menatap Kania seolah ia adalah kotoran di bawah sol sepatu mahalnya.
"Maaf, Mas. Saya akan segera ganti." Kania berusaha agar suaranya tidak bergetar. Bergetar sedikit saja, hukuman yang didapat bisa berlipat ganda.
Rendra mendengus kasar. "Dasar perempuan bodoh. Teh saja tidak becus. Apa gunanya kamu di rumah ini selain menghabiskan jatah oksigen?"
Nyonya Ratna ikut menimpali, suaranya melengking tajam, "Dengar itu, Kania. Jangan pernah lupa posisimu. Di rumah ini, kamu hanya pelayan yang kebetulan berstatus istri. Jangan samakan dirimu dengan menantu lain yang berpendidikan tinggi."
Kania mengepalkan jemari di balik punggung. Ucapan itu adalah menu harian, sarapan, makan siang, dan makan malamnya. Ia sudah mati rasa, tapi setiap kata itu tetap meninggalkan bekas luka baru. Ia tahu ia hanya perempuan kampung yang didatangkan ke rumah ini karena "Wasiat Konyol" yang dibuat mendiang kakek Rendra, yang entah bagaimana, hanya dia yang bisa memenuhinya. Kania tak pernah tahu detail pastinya. Ia hanya tahu, pernikahan ini adalah kontrak, dan ia adalah budak bayaran.
Saat Kania berbalik menuju dapur, Rendra melemparkan majalah tebal yang baru ia baca, mendarat tepat di punggung Kania.
Malam harinya, setelah semua tugas rumah selesai, Kania baru bisa menyentuh telepon genggamnya yang usang. Ia membuka galeri, melihat foto adiknya, Bintang. Bintang yang tersenyum lemah, terbaring di ranjang rumah sakit dengan selang-selang di sekitarnya. Melihat wajah Bintang adalah satu-satunya alasan ia masih bernapas, masih kuat menelan semua hinaan dan perlakuan kasar.
Bintang sakit parah, penyakit langka yang butuh biaya pengobatan ratusan juta. Dan keluarga Rendra, melalui wasiat itu, adalah pihak yang menanggung penuh semua biaya.
Kania menghela napas panjang. Ia harus kuat. Ini semua demi Bintang.
Tiba-tiba, pintu kamar didobrak keras. Rendra masuk dengan wajah merah padam. Jelas, ia baru saja minum lagi.
"Kamu, dari mana saja?!" bentaknya, menarik kasar rambut Kania hingga kepala Kania mendongak.
"Di dapur, Mas. Saya baru selesai mencuci piring..."
"Dapur?!" Rendra tertawa sinis. "Sejak kapan pembantu bisa mencuci piring sampai selarut ini? Jangan bohong. Tadi siang, kamu bertemu siapa di luar?"
Kania membeku. Ia ingat, tadi siang saat ia disuruh membeli kebutuhan mendadak, ia sempat berpapasan dengan seorang pria di minimarket, dan pria itu-seorang asing-sempat membantunya memungut barang belanjaan yang jatuh. Itu saja. Hanya beberapa detik.
"Saya tidak bertemu siapa-siapa, Mas. Saya hanya di minimarket."
PLAK!
Tamparan keras mendarat di pipi Kania. Panas, perih, dan memekakkan. Air mata Kania tumpah, namun ia tak berani mengeluarkan suara isak.
"Jangan anggap saya bodoh! Saya lihat CCTV di luar! Kamu berani menggoda pria lain saat kamu adalah istri sah saya?! Ingat Kania, kamu milik saya! Sampai saya bosan dan membuangmu!" Rendra mencengkeram rahang Kania.
"Saya tidak menggoda siapa-siapa, Mas. Saya mohon..."
"Diam!" Rendra mendorong Kania ke dinding. "Kamu tahu apa yang terjadi kalau kamu berkhianat? Malam ini juga, Bintang akan saya pindahkan dari rumah sakit terbaik itu ke puskesmas kumuh. Biaya perawatannya akan saya hentikan. Kamu mau adik kesayanganmu mati, hah?"
Ancaman itu selalu berhasil. Ini adalah kartu mati Rendra. Mendengar nama Bintang, Kania langsung merosot ke lantai, menangis tanpa suara. Tamparan tidak seberapa sakit dibandingkan ketakutan kehilangan Bintang.
"Tolong, Mas. Jangan lakukan itu pada Bintang. Saya janji, saya tidak akan bertemu siapa-siapa lagi. Saya akan melakukan apa pun yang Mas mau." Kania memohon dengan suara serak.
Rendra menatap tubuh Kania yang bergetar di lantai dengan pandangan puas. Kekuasaan. Ia suka melihat Kania tak berdaya.
"Bagus. Sekarang, berdiri. Dan jangan pernah lupa, kamu itu hanya boneka di rumah ini. Milik saya. Dan jangan pernah berani menolak sentuhan saya, karena itu juga bagian dari kontrakmu."
Kania menutup mata. Ia merasakan jijik yang tak terhingga, tapi ia membiarkan Rendra melakukan apa yang ia mau. Membiarkan dirinya menjadi benda mati. Ini adalah harga yang harus ia bayar agar Bintang tetap hidup. Di balik kemewahan rumah ini, di dalam kamar yang seharusnya menjadi saksi cinta, hanya ada pemaksaan, ketakutan, dan air mata yang mengering setiap malam.
Keesokan paginya, Kania harus tetap menjalankan peran sempurna sebagai menantu, meskipun wajahnya lebam dan hatinya hancur. Ia menyiapkan sarapan, menyetrika baju Rendra, dan membersihkan setiap sudut rumah. Tubuhnya terasa remuk redam, tapi ia memaksakan diri.
Saat sedang membersihkan taman belakang, ia mendengar percakapan antara Nyonya Ratna dan Ibu Mertua.
"Aku tidak mengerti, Bu. Kenapa Kania masih di sini? Rendra sudah punya kekasih, kenapa harus menahan perempuan kampung itu?" tanya Ibu Mertua, suara berbisik tapi cukup terdengar.
Nyonya Ratna menyesap tehnya dengan anggun. "Sabar, Sayang. Sampai kontrak itu selesai. Kita butuh dia. Ingat, hanya dengan dia, kita bisa menguasai semua aset warisan Kakek. Jika kita menceraikannya sekarang, wasiat itu akan batal, dan semua aset jatuh ke tangan yayasan. Kita tidak bisa biarkan itu terjadi."
"Tapi Rendra sudah semakin tidak sabaran dengannya."
"Biarkan saja. Selama dia tidak membunuh anak itu, itu baik. Perempuan seperti Kania itu gampang diatur. Cukup ancam adiknya yang sakit, dia akan patuh seperti anjing terlatih." Nyonya Ratna tertawa jahat.
Kania yang mendengar itu, hatinya seperti tertusuk belati es. Jadi, ini semua tentang aset dan warisan. Bukan sekadar wasiat kosong. Pernikahan ini, penderitaannya, semua hanyalah strategi licik untuk memindahkan kekayaan. Kania bukan istri. Dia adalah kunci, objek, alat tawar-menawar. Dan yang paling menyakitkan, mereka menggunakan Bintang-adiknya-sebagai rantai untuk mengikatnya.
Kania menyandarkan diri di pohon. Air matanya tak keluar, tapi dadanya terasa sesak sampai ia sulit bernapas. Kania menyadari, ia tidak hanya terjebak dalam pernikahan yang kejam, tapi ia adalah korban dari permainan kotor yang jauh lebih besar dan rumit daripada yang ia bayangkan. Penderitaannya di rumah ini, di mata mereka, adalah hal yang sangat murah dan sebanding dengan miliaran rupiah aset yang mereka incar.
Ia harus mencari cara, mencari celah. Tidak hanya untuk dirinya, tapi untuk Bintang. Tapi bagaimana? Di rumah sebesar ini, ia bahkan tak punya teman bicara. Ia benar-benar sendirian, terisolasi, dan tak berdaya. Babak baru penderitaan Kania baru saja dimulai, dan ia tahu, hari-hari di depan akan semakin gelap.