"Jangan lupa minum pil pencegah kehamilan."
Cinta sepuluh tahunku ternyata hanyalah sebuah kebohongan. Aku hanyalah batu loncatan untuk ambisinya, seorang gadis naif yang dibutakan cinta.
Dihina dan dikhianati, aku memutuskan untuk menghilang. Aku pindah ke kota lain, membangun kembali hidupku, dan menemukan cinta sejati. Aku pikir aku sudah bebas, sampai suatu hari, pria itu muncul lagi di depan pintuku, terobsesi untuk mendapatkanku kembali.
Bab 1
Aluna POV:
"Lihat saja si Aluna itu, apa dia pikir dia bisa menyingkirkan Zahira dengan mudah?"
Kepalaku terasa pening, seperti ada palu godam yang menghantam tenggorokan. Suara itu, suara yang familiar, membuat darahku seolah membeku. Aku berhenti tepat di ambang pintu, tangan gemetar memegang kenop.
"Aluna? Siapa dia? Dia tidak punya apa-apa dibandingkan dengan Zahira," Rangga berkata, suaranya dipenuhi ejekan. Kata-kata itu menusuk jantungku, setiap suku kata bagai pecahan kaca yang mengoyak.
"Tapi dia selalu menempel padamu seperti lintah. Apa kau akan mengumumkan hubungan kalian setelah kau memenangkan kompetisi ini?" Suara lain, seseorang yang kukenal sebagai teman Rangga, bertanya. Nada bicaranya santai, seolah membicarakan hal sepele.
Jantungku berdebar kencang, menabuh di dadaku seperti genderang perang. Aku menahan napas, berharap apa yang kudengar hanyalah mimpi buruk.
"Hubungan?" Rangga tertawa kecil, tawa yang dingin dan menusuk. "Dia hanya alat yang berguna, tidak lebih. Setelah kompetisi ini, aku akan bertunangan dengan Zahira. Ini semua adalah bagian dari strategi bisnis, untuk mengamankan kerja sama dengan keluarga Radjiman."
Duniaku runtuh. Kata-kata itu menghantamku seperti gelombang pasang, menarik semua udara dari paru-paruku. Kakiku lemas, dan aku harus berpegangan pada dinding agar tidak jatuh. Punggungku terasa dingin, seperti diguyur es. Aku merasakan mual yang luar biasa, seolah isi perutku ingin keluar.
"Hebat juga rencanamu, Rangga," teman Rangga memuji. "Menggunakan desainnya, lalu membuangnya. Dan dia, si Aluna kecil yang naif, pasti tidak akan curiga."
"Dia terlalu dibutakan cinta untuk melihat kenyataan," Rangga menjawab, suaranya terdengar sombong. "Lagipula, apa yang bisa dia lakukan? Dia hanya seorang gadis biasa yang beruntung bisa dekat denganku."
Aku menutup mata, berharap kegelapan bisa menelan semua rasa sakit ini. Tapi suara mereka terus berdenging di telingaku, menghantam dinding batinku berulang kali. Ini adalah kenyataan. Ini adalah kebenaran yang kejam.
Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan tangis yang mendesak. Aku harus kuat. Aku tidak boleh terlihat rapuh di hadapan mereka. Aku membersihkan tenggorokanku, berusaha menormalkan suaraku.
"Rangga, sayang? Ada apa? Kenapa lama sekali?" Aku berjalan masuk, mencoba memasang senyum terbaikku, senyum yang terasa hambar di bibirku. Hatiku menjerit, tapi aku harus bertindak seolah tidak ada yang terjadi.
Rangga menoleh, senyum manis langsung terukir di wajahnya, seolah beberapa detik yang lalu ia tidak mengatakan hal-hal mengerikan tentangku. "Tidak apa-apa, Luna. Hanya bicara bisnis sebentar. Kau sudah menunggu lama?" Dia menarik tanganku, menatapku dengan mata yang penuh kebohongan. Matanya, yang dulu selalu kuanggap sebagai jendela hatinya, kini terlihat seperti jurang kegelapan.
Aku membiarkan dia menarikku lebih dekat, tubuhku terasa seperti robot. Setiap sentuhan darinya kini terasa menjijikkan, kotor, dan penuh kepalsuan. "Tidak juga," jawabku, suaraku nyaris berbisik. Aku merasa udara di sekitarku menipis, menyesakkan napas. Aku ingin lari, jauh dari sini, jauh dari kebohongan ini.
Dia munafik. Dia bajingan.
Pikiranku berteriak, tapi bibirku tetap terkatup rapat. Aku harus pura-pura. Aku harus menunggu saat yang tepat.
"Aku... aku merasa tidak enak badan, Rangga," kataku, berusaha melepaskan diri dari genggamannya. Aku harus keluar dari ruangan ini, segera. "Aku butuh ke kamar mandi."
"Kau baik-saja? Wajahmu pucat sekali," Rangga bertanya, nada suaranya terdengar khawatir. Kekhawatiran yang terasa sangat palsu.
"Aku butuh sendirian sebentar," kataku, tanpa menatap matanya. Aku berbalik dan berlari, secepat yang aku bisa, meninggalkan suara tawa dan obrolan mereka di belakangku.
Aku mengunci diri di kamar mandi, tubuhku merosot ke lantai. Air mata mengalir deras, membasahi pipiku, leherku, hingga ke bajuku. Aku menutup mulutku, berusaha meredam isak tangis yang histeris. Aku tidak ingin ada yang mendengar.
Kata-kata Rangga terus terngiang di kepalaku, berputar-putar seperti rekam jejak yang tak ada habisnya. "Hanya alat yang berguna." "Bertunangan dengan Zahira." "Bagian dari strategi bisnis."
Aku memukul lantai dengan kepalan tanganku, rasa sakit di pergelangan tanganku tidak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit di hatiku. Kepalaku terasa kosong, namun pada saat yang sama, dipenuhi oleh jutaan pertanyaan.
Apa yang salah? Apa yang kulakukan sehingga pantas mendapatkan ini?
Aku mengingat kembali malam kemarin, malam "perayaan" kami. Rangga memelukku erat, berbisik janji-janji manis tentang masa depan kami. Dia bilang, setelah kompetisi ini, dia akan mengumumkan hubungan kami. Dia akan melamarku.
Kebohongan. Semuanya kebohongan.
Dia membelai rambutku, senyumnya begitu lembut, tangannya begitu hangat. "Kau adalah segalanya bagiku, Aluna. Kau tahu itu, kan?"
Aku mengangguk, mencium bibirnya, merasakan kebahagiaan yang melingkupiku. Aku percaya padanya, sepenuhnya. Aku telah memberikan segalanya untuknya, bahkan karyaku yang paling berharga.
Tiba-tiba, ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Rangga.
Rangga: Jangan lupa minum pil pencegah kehamilan.
Mataku terbelalak. Pil pencegah kehamilan. Dia... dia bahkan tidak ingin ada jejakku di hidupnya. Dia tidak ingin ada konsekuensi dari malam kami. Dia begitu dingin, begitu kejam.
Aku mengingat betapa bahagianya aku setelah malam itu. Aku membayangkan masa depan kami, rumah yang akan kami bangun bersama, anak-anak kami. Semua itu kini terasa seperti lelucon yang kejam.
Dia tidak pernah mencintaiku. Dia hanya memanfaatkan kebodohanku, cintaku yang buta. Aku telah menjadi boneka dalam permainannya, alat untuk mencapai tujuannya.
Pikiranku dipenuhi dengan skenario terburuk. Bagaimana jika aku hamil? Aku tidak punya siapa-siapa. Aku sendirian. Rasa takut mencengkeramku, membuatku gemetar hebat.
Dengan tangan gemetar, aku membuka tas tanganku. Aku mengeluarkan uang tunai dan kunci mobil. Aku harus pergi. Sekarang. Sebelum aku berubah pikiran.
Aku harus membeli pil itu. Aku harus menghapus semua jejaknya dari tubuhku.
Sepuluh tahun. Sepuluh tahun aku mencintainya. Sejak kami masih kecil, sejak dia adalah anak laki-laki pendiam yang selalu bersembunyi di balik buku-buku. Aku selalu ada untuknya, selalu mendukungnya, selalu mencintainya.
Aku ingat saat pertama kali bertemu dengannya. Dia duduk sendirian di taman, membaca buku arsitektur. Aku mendekatinya, menawarkan persahabatan. Dia tersenyum, senyum yang mengubah duniaku.
Dia adalah anak yang kesepian, orang tuanya terlalu sibuk dengan bisnis mereka. Aku menjadi satu-satunya temannya, satu-satunya orang yang dia percayai. Aku selalu berpikir, kami memiliki ikatan yang spesial. Ikatan yang tidak akan pernah putus.
Ternyata salah.
Aku tertidur di lantai kamar mandi yang dingin, air mata membasahi pipiku. Rasa sakit di hatiku begitu besar, aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.
Ponselku berdering keras, membangunkan aku dari tidur yang gelisah. Aku meraih ponselku, mataku terasa berat. Nama Raisa terpampang di layar.
"Aluna? Kau di mana? Kenapa tidak datang ke pesta perayaan? Rangga mencarimu," Raisa terdengar khawatir.
"Aku... aku tidak enak badan," kataku, suaraku parau.
"Tidak enak badan? Rangga baru saja mengumumkan pertunangannya dengan Zahira di atas panggung! Mereka berdua berdansa dengan mesra! Semua orang melihatnya!" Raisa berteriak, suaranya dipenuhi kemarahan.
Kata-kata itu menghantamku seperti pukulan telak. Aku sudah tahu, tapi mendengarnya dari Raisa, dengan detail yang begitu jelas, membuat rasa sakit itu semakin nyata.
"Dia... dia melakukannya?" tanyaku, suaraku gemetar.
"Tentu saja! Bajingan itu! Dia bilang desain yang memenangkan kompetisi adalah hasil kolaborasi dengan perusahaan Zahira! Dia mencuri semua karyamu, Aluna!" Raisa marah. Kemarahannya terasa begitu tulus.
Aku menutup mata, membayangkan Rangga berdiri di atas panggung, dengan Zahira di sampingnya, mengumumkan pertunangan mereka, mengklaim karyaku sebagai miliknya. Rasa sakit, kemarahan, dan penghinaan bercampur aduk di dalam diriku.
Ini adalah akhirnya.