Sebelum Jordan bisa bertemu lagi dengan Melita, wanita itu sudah menelepon Departemen Sumber Daya Manusia dan mengundurkan diri dari pekerjaannya.
Dia tidak bisa terus menjadi asisten sementara Jordan. Segalanya menjadi sangat rumit.
Melita tidak punya pilihan selain melepaskan pesanan yang diterimanya dari Internet.
Dia berdoa dalam hati agar Jordan tidak menghubunginya lagi. Itu adalah akhir bagi mereka berdua.
Namun, terkadang hal-hal yang terjadi tidak selalu berjalan sesuai apa yang telah direncanakan.
Pada malam harinya, Melita sedang membelai rambut Benny dengan penuh kasih sayang sambil menonton kartun di televisi. Suasana damai yang menyelimuti mereka berdua tiba-tiba terputus ketika bel pintu berbunyi.
"Benny, tetaplah di sini dan tunggu Ibu kembali."
Melita meletakkan remote TV, bangkit berdiri, lalu berjalan menuju pintu depan.
Apartemen tempatnya tinggal sudah cukup tua dan ketinggalan zaman. Ketika mengintip melalui lubang intip di pintu, dia tidak bisa melihat siapa yang berdiri di luar karena kacanya sedikit buram.
Melita berjingkat dan berusaha untuk melihat lebih jelas. Wajah pria yang berdiri di depan pintu membuat bulu kuduknya merinding.
Orang yang dengan tenang menunggu di depan pintu tidak lain adalah Jordan.
Apa yang dilakukannya di sini?
Dalam hitungan detik, jantung Melita berdebar kencang. Dia mulai merasa gugup tanpa alasan.
Hal pertama yang dipikirkan Melita adalah Benny. Dia berbalik dan bergegas menuju sofa, menggendong anak laki-laki itu ke dalam pelukannya, dan membawanya langsung ke kamar tidur.
"Benny, dengarkan aku. Tetap di dalam kamar dan bermainlah dengan mainanmu dulu, oke? Kamu baru boleh keluar kamar saat aku memanggilmu."
"Kenapa?" tanya Benny dengan bingung. Hal berikutnya yang dia tahu, dia melihat pintu kamar tidur sudah dibanting tepat di hadapannya.
Kembali ke pintu utama, Melita merapikan pakaian dan menata rambutnya.
Setelah menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, Melita berusaha memasang wajah datar saat membuka pintu.
"Pak Jordan? Aku tidak menyangka kamu akan datang. Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" Dia memaksakan diri untuk tersenyum dan berdiri di pintu, berusaha menghalangi pintu masuk. Sikapnya itu menarik perhatian Jordan.
Dengan wajah sedikit cemberut, dia melirik piama kartun selutut yang dikenakan Melita dan berkata dengan suara pelan, "Aku ingin masuk ke dalam dan berbicara denganmu."
Napas Melita tersendat dan dia buru-buru menghalangi jalannya. "Pak Jordan, saat ini sudah sangat larut. Bukankah tidak pantas bagimu untuk memasuki rumah seorang wanita lajang?"
Mengangkat alisnya dengan heran dan memperhatikan senyum tipisnya, Jordan melirik ke dalam. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres.
"Oh, begitukah? Apakah benar-benar hanya karena itu? Atau mungkin akan merepotkan bagimu jika aku masuk karena di dalam sudah ada tamu?
Melita langsung tegang mendengar kata-kata Jordan. Terlepas dari ucapan Jordan yang sarkas, Melita berhasil memasang senyum lebar di wajahnya.
"Sama sekali bukan begitu! Kenapa kamu berpikir demikian? Hanya saja, saat ini sudah sangat larut. Kedatanganmu ini tidak baik untuk reputasiku, terutama apabila kamu sampai masuk ke dalam seperti ini. Soalnya, tetanggaku suka menyebarkan gosip. Bayangkan semua desas-desus buruk yang akan mereka buat begitu melihatmu memasuki apartemenku. Jadi, jika ada hal penting yang ingin kamu bicarakan, kita bisa bicara di sini."
Jordan terkejut oleh tindakannya. Dia tampak begitu acuh tak acuh padanya, seolah-olah bukan dia yang tidur dengannya kemarin.
Sesaat, keheningan menyelimuti mereka berdua. Jordan menatap wajah Melita dengan hati-hati, sangat ingin membaca pikirannya.
"Apa yang kamu pikirkan di dalam kepala kecilmu yang cantik itu? Apa kamu sengaja bermain kucing dan tikus denganku?" Dia berjalan lebih dekat dan menunduk memandangnya. "Aku harus mengakui bahwa trikmu telah bekerja dengan baik. Aku jadi sedikit tertarik padamu." Saat berbicara, Jordan menarik tangannya dan mengeluarkan sebuah amplop yang dia lambaikan ke arah Melita. Begitu wanita itu teralihkan perhatiannya, Jordan bergegas melewatinya dan masuk ke dalam apartemennya.
"Sebelum ini kamu bilang ingin menjadi wanitaku. Aku sudah memikirkannya, juga sudah mengambil keputusan. Sekarang, kamu adalah milikku."
Begitu Melita sadar, dia bergegas menyusulnya dan mengulurkan tangannya untuk menghentikan langkah Jordan.
"Apa yang sedang kamu lakukan? Aku tidak mengizinkanmu masuk. Dan kenapa kamu hanya mengatakan kata-kata ini sekarang, saat semuanya sudah terlambat?"
Dengan alis berkerut, Jordan meletakkan amplop itu ke tangannya.
"Cukup. Jual mahal jangan lebih dari sekali. Jika kamu mengusir atau mempertanyakan otoritasku sekali lagi, aku akan bosan denganmu."
Mendengar ultimatumnya, tiba-tiba Melita merasa tidak berdaya. Dia melemparkan amplop itu ke atas meja dan menyilangkan kedua tangan di depan dadanya.
Pikirannya melayang ke semua yang terjadi lima tahun lalu, dan rasa bersalahnya terhadap Betran tiba-tiba muncul kembali. Sembari memasang wajah penuh tekad, dia menguatkan dirinya dan kembali menghadapi Jordan.
"Biar aku memberitahumu ini. Sebelumnya aku hanya bermain-main denganmu, dan aku tidak bermaksud menjadi wanitamu. Aku tidak menyangka kamu akan menanggapi kata-kataku dengan serius. Tapi tentu saja, menurutku tidur denganmu sangat menyenangkan. Malam itu adalah malam yang tidak akan aku lupakan."
Jordan mendengarkannya dengan saksama, dan wajahnya langsung menjadi suram. Dia menggertakkan gigi dan berkata, "Hati-hati dengan kata-katamu. Katakan sekali lagi, apa maksudmu?"
Terkejut oleh tatapannya yang dingin, Melita melangkah mundur dan menempelkan dirinya ke pintu kamar.
"Sudah kubilang, aku hanya mempermainkan perasaanmu. Lain kali, jangan terlalu serius."
Kemarahan dengan cepat menguasai hati Jordan. Dia mencubit dagu Melita dengan ujung jarinya dan berkata perlahan, "Kamu tidak bisa memutuskan kapan harus berhenti! Hal itu bukan terserah kamu."
Tidak ada orang yang bisa mempermainkannya, membuangnya seperti mainan yang sudah usang, dan lolos begitu saja.
Melita menelan ludah dengan gugup. Sama sekali tidak ada jalan keluar dari kekacauan ini. Karena ketakutan melihat pria yang berada di depannya, tanpa sadar dia melangkah mundur.
Dengan cicitan keras, pintu kamar terbuka tanpa sengaja.
Jantung Melita tiba-tiba berdetak kencang saat mengingat bahwa Benny ada di dalam.
Dia berdiri tegak sambil mengepalkan tinjunya dan menatap Jordan.
"Pembicaraan kita sudah selesai di sini. Aku telah memberitahumu semua yang perlu kamu ketahui. Tolong segera keluar dari apartemenku dan tinggalkan aku sendiri!"
Ledakan kemarahannya yang tiba-tiba menarik perhatian Jordan. Dengan mata menyipit, dia mendorongnya ke samping, dan melangkah memasuki kamar tidur.
"Kenapa kamu terus memintaku untuk pergi? Apakah kamu takut aku akan melihat sesuatu? Atau apakah ada seseorang yang sedang bersembunyi di kamar tidurmu?"
Melita bukan tandingan Jordan, dan dia didorong ke samping dengan mudah.
Dengan perasaan sangat cemas, Melita berdiri di belakang Jordan dan melihatnya berjalan menuju tempat tidur dan mengangkat selimut.
Pada saat yang sama, Melita menutup matanya rapat-rapat dan berteriak, "Ini adalah p ...."
Ng?
Setelah tertegun sejenak, dia membuka matanya dengan takjub. Di bawah selimut yang berantakan, hanya ada celana dalamnya yang tadi dia ganti dengan tergesa-gesa.
Apa yang sebetulnya sedang terjadi?
Ke mana Benny pergi?
Matanya segera melesat ke seberang ruangan, tetapi sosok bocah laki-laki itu tidak terlihat.
Setelah keadaan yang menegangkan itu, Melita akhirnya menghela napas lega. Dia berjalan ke tempat tidur, mengambil pakaiannya, lalu menyembunyikannya di belakangnya. Sambil memandang wajah Jordan dengan polos, dia bertanya, "Apakah kamu menemukan apa yang kamu cari?"
Kemarahan di hati Jordan dengan cepat mencair. Dia berbalik dan berkata, "Karena kamu tidak menyembunyikan apa pun dariku, lalu kenapa kamu begitu gugup?"
Melita berjalan ke arahnya dan berteriak dengan marah, "Kamu memasuki rumah seorang wanita lajang saat sudah larut malam dan melanggar privasinya. Sekarang kamu bahkan punya nyali untuk bertanya mengapa aku begitu gugup. Kamu sungguh tak tahu malu!"
"Oke, oke, tenanglah. Tidak perlu berteriak begitu. Apakah kamu sudah lupa apa yang kamu lakukan denganku tadi malam? Ini, mungkin ini akan membantu menyegarkan ingatanmu."
Jordan mengambil setumpuk foto dari dalam sakunya dan melemparkannya ke atas tempat tidur.
Melita melirik foto-foto itu dengan rasa ingin tahu sebelum wajahnya mendadak merona merah.
Ini foto-foto mesra dirinya dan Jordan.