egangan Pe
an santai menunggu di ujung lorong, seolah tahu bahwa Anna tidak akan bisa lari darinya. Sejak kejadian itu, ketegangan di dalam dirinya semakin tak terta
kelas, ada hal yang le
ka. Indah tampak sedikit gelisah, sementara Fira terlihat serius, matanya terfoku
gar lebih lembut dari bias
i, mencoba menghindari tatapan mereka. "Ada apa, Indah?" tanyanya,
. "Lo lupa naruh sesuatu di meja, ya?" Dia menunj
dari Rasya. Entah bagaimana, amplop itu bisa sampai ada di meja kelasnya. Hatinya la
uaranya terdengar gemetar. Ia mencoba untuk tetap tenan
awaban itu. "Gak ada nama lain di sini,
long, jangan bohong. Lo gak pernah
ah lebih jauh, dan dia sudah mulai menggunakan ancamannya untuk menghancurkan segalanya. Anna bisa merasakan wajahnya mem
ng, kini berubah menjadi cemas. Indah mendekat, menggenggam tangan Anna dengan lembut. "Kamu gak
aja, Anna. Rasya itu gak main-main. Ki
begitu berat, menambah beban di hatinya. "Gue gak mau bikin masalah makin parah," katanya pelan. "Rasya i
i, lo juga gak bisa terus-terusan diem. Lo g
kita harus tahu apa yang bakal kita lakuin selanjutnya. Jangan
ancaman yang sedang mereka hadapi. Rasya bukan sekadar anak konglomerat yang arogan-dia lebih dari itu. Dia tahu
em kita semua," lanjut Anna. "Mungkin yang terbaik ad
ran yakin bisa diem aja, Anna? Rasya itu bukan orang
erus-terusan ketakutan kayak gini. Kita harus ngelaw
, membuat hatinya semakin berat. Ia tahu bahwa keputusan yang ia ambil akan menentukan arah persahabatan mereka ke
pada sosok yang baru saja muncul-Evan, yang selalu menjadi pelindung kelompok mereka. "Ada apa? Kena
h dalam di dalam tasnya. "Evan, ini... bukan waktu
agi," katanya dengan nada serius. "Gue udah denger apa yang dia la
u lo pengen ngelawan dia, tapi situasinya lebih rumit d
ira! Kita gak bisa cuma diam aja! Gue gak akan biarin Rasya ngancem temen
gitu maksudnya. Anna cuma nggak mau nambah mas
beneran takut sama dia? Lo nggak percay
kan soal takut atau nggak takut, ini soal nyelamatin diri kita semua dari dia. Kalau kita
jenak, menatap Anna dengan pandangan yang penuh kebingungannya. "Anna, gue cuma p
i masalah ini. Ia tahu bahwa jika mereka terus bertahan pada pendapat masing-masing, hubungan mer
n ini semua merusak persahabatan kita," kata Anna, berusaha menenangkan dirin
engan cepat. "Kalau lo nggak mau ngelawan, gue akan ca
retak. Setiap langkah yang mereka ambil kini terasa seperti langkah yang membawa mereka semakin jauh
apa. Suasana kelas yang biasanya ramai kini terasa sepi. Anna menar
ita harus cari jalan keluar dari ini. Se
ai berkaca-kaca. "Aku tahu," jaw