celah-celah jendela yang tak sempurna, membuat tubuhnya menggigil. Matanya menatap kosong ke depan, seakan-akan mencoba mencari makna dalam seti
kesulitan yang tak pernah ia bayangkan. Dulu, ketika ia menikah dengan Damar, ia membayangkan kehidupan yang bahagia, penu
semakin larut. Namun, perutnya yang kosong seakan tak peduli dengan waktu. Anak kecilnya, Nadya, sudah t
anaknya. Damar, suaminya, seakan menutup mata terhadap kenyataan yang dihadapi istrinya. Ia bekerja, memang, namun lebih banyak menghabiskan waktunya untuk b
pahit. Di dapur, mertuanya, Nina, duduk dengan tenang, seolah tak peduli dengan kedatangannya. Liana bisa merasakan tatapan Nina yang dingin, seolah-olah ia bukan bagian dari keluarga ini. Ibu mertuanya itu tidak pernah
erung sinis. Liana hanya bisa menelan ludah, menahan amarah yan
banyak kata-kata tajam yang pernah keluar dari mulut ibu mertuanya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Rasa frusta
etiap kali ia merasa lapar atau lelah, Damar selalu mengabaikannya. Liana merasa dirinya semakin terasingkan, bahkan di rumahnya sendiri. Keberadaan Damar seakan tidak lebih dari bayang
ari ini?" tanya Damar tanpa menatapnya. Suaranya terdengar acuh tak acuh
nya aku mendapatkan makanan untuk kita? Kau pikir aku hanya bisa membeli bahan makanan dengan uang yang k
lnya. "Aku sudah memberi cukup uang untuk belanja.
semakin dalam. Apa lagi yang harus ia lakukan? Ia sudah berusaha semampunya. Tidak ada satu pun
duli. Ia mencoba menahan tangis yang hampir saja tumpah. Rasanya ia sudah tidak bisa lagi bertahan dalam
ang, tanpa mengetahui apa yang sedang dirasakan istrinya. Ia berbaring dengan tubuh yang kaku, menatap langit-langit yang gelap. Air mata perlahan mengalir di pipinya. Bukan karena d
tidak bisa terus hidup seperti ini. Ia harus keluar dari bayang-bayang yang membelenggu hidupnya. Suatu hari nanti, ia akan menemukan jalan, jalan untuk dirinya s
enghadapi dunia dengan cara yang berbeda. Ia akan menjadi lebih kuat, lebih berani. Meskipun