jelaskan. Ayah pulang seminggu sekali, dan setiap kepulangannya selalu menjadi momen yang menyenangkan. Kami biasanya
hnya, kami sering kali berdebat seru soal siapa yang lebih unggul di Liga satu. Tapi j
i pergi untuk bekerja, s
nyepong penisku hingga muncrat di mulutnya dan ditelan semuanya. Tanpa sedikit pun memberi kesempatan padaku untuk meme
gat tanpa aku minta. Semua dilakukan dengan ringan, seolah itu hal biasa. Tapi bagiku, itu luar biasa. S
mastikan aku baik-baik saja dan memberikan kenikmatan yang tiada duanya. Walau belum terjadi sesuatu yang lebih dari itu, n
bih baik diisap dan ditelan oleh Bu Anhar. Selain aku mendapatkan kenikmatan yang tiada ta
ng selalu memulai dan meminta aku buka celana di depannya untuk
semua orang. Seolah tak ada yang berubah. Aku tetap mengormatinya, begitupun sebaliknya. Kami sama-sama nakal dan binal hanya p
lebih cair, tidak 'saya dan kamu' lagi tapi sudah 'lu dan gue' walau terbatas hanya saat kami benar-benar sedang ngobrol berdua. Aku
ue agak bingung mau ke mana dulu. Ada beberapa opsi. Lu bisa
gguk. "Bis
lu aja, ya? Tenang bensin dan
ifky. Tapi entah kenapa, aku merasa, perjalanan itu bakal membuka lebih dari sekadar peta l
i beberapa desa dan jalanan menanjak, Rifky
yuk. Lumayan capek juga," katanya
yan indah. Kami duduk di atas batu besar, dan tanpa banyak basa-basi, Rifky langsung membuka
at melir
juga sekara
ini. Tapi jangan bilang-
lebih santai. Semakin hilnga 'saya-kamu-'nya. Sekarang udah 'lu-gue'.
dan menyalakan rokok,
gue nanya soal ukuran kontol lu i
han senyum. "Ya elah, itu
nya itu gak iseng, Pras. Seriusan. Gue tuh... sampai se
h jujur, gak sekaku waktu itu. Seperti temen
ungkin gak nyadar, tapi banyak anak-anak kompleks yang ngomongin lu
ada yang bisa dipilih juga kan?" jawabku diplomatis, dalam hati aku, berkata 'Ya ialah, bukan cu
s. Di lingkungan harus pura-pura alim. Di masjid jadi panutan. Di kampus bawa
ia biasa. Bukan "Rifky Ustad," bukan anak Bu Haji Anhar. Tapi cuma Rif
aroma tanah dan daun kering. Suasananya tenang, tapi obrolan kami j
ntot belum?" tanyanya pelan
tapi karena dia menanyakannya seperti itu-lan
Tad. Lagian... gue ngerasa
l lu sudah kaya cowok u
pa, obrolan kami siang itu bikin
tertarik sama yang lebih dewasa. Wanita yang matang. Yang cara n
kan karena kaget. Just
. Kita ternyata
mastikan aku ga
ius
ah udah kebablasan. Gue tertari
tenang, seperti orang yang sudah lama meme
terkejutan, tapi semacam keterhubungan. Bahwa ternyata pera
ngerti. Lebih... ngebuat kita ngerasa k
awala. "Iya. Ada daya tari
u heningnya terasa lega. Seperti dua orang yang akhirnya menemuka
s. Dan mereka mengaku kurang puas karena kontol gue l
remaja masjid, anak baik-baik yang tutur katanya selalu sopan-mengakui hal itu. Suaranya tidak bergetar, t
, masih mencer
seperti seseorang yang akhirnya mengaku kalah,
ukan gue. Semua orang liat gue suci, lurus, religius. Pad
it yang mulai menguning. Aku masih tak tahu harus merespons apa.
, tersenyum kecut. "Tapi lu kayak... ngerti. Gak ngehakimin dan gue merasa lu memang sud
ngerti semuanya, Tad. Tapi gue tah
. Lalu menenggak sisa
dunia, dengan diri kami sendiri. Tapi setidaknya, saat itu, tak ada yang merasa sendiria
tiba-tiba berdiri. Dia tepuk-tepuk celananya, lalu menoleh padaku dengan e
satu tempat yang akan mengubah hidu
sambil berdiri mengik
ar. "Tempat di mana... semuanya berawal. Gue b
ertanya lagi. Rasa penasaran dalam dir
yusuri jalanan sempit yang s
a kali aku ingin bertanya, tapi urung. Rifky terlihat tenang, tapi fokus. S
*