na banjir besar. Air datang mendadak, menghanyutkan apa pun yang dilewatinya. Warga tak ada yang berani m
kembali
Aku langsung menoleh, bingung. Kostan? Bukankah rumah kami b
a dia mengatakan, jika itu bukan sekadar tempat kost, tapi rumah istri sirinya. Seorang w
rumahnya, atau kenyataan bahwa dia sudah punya istri siri yang juga masih mera
ukan tentang petualangan, tapi semacam tameng. Untuk menyembunyikan sesuatu. Entah luka,
ah rumah istri sirinya dengan naik angko
dalam kepalsuan. Bahkan Rifky, yang dijuluki 'Ustad' dari keluarga religius yang dihorm
aku harus mulai menjaga jarak dengan si pembual itu. Jangan-jangan dia sengaja me
ukup hidup kalau malam. Aku keliling naik motor tanpa arah jelas, sekadar menenangkan
sendirian di pinggir trotoar, di bawah cahaya lampu jalan yang
seperti Ta
usut, lusuh, dan lelah. Jauh dari citra Tante Widya yang dulu sering datang ke sek
kenal bandel dan sering bikin ulah. Tapi waktu itu, meski anaknya "berm
terlihat seperti
motor, pelan-
bukan? Saya Pras, temann
Matanya sembab, wa
mu udah gede banget sekarang," katanya pe
"Iya, Tante. Lama b
perti masih mencocokkan wajah dan diriku secara ke
anya, "Tommy gimana, Tante
ya berubah, lembut, tapi sayu
lalu. Setelah dikeluarkan dari sekolah, hidupnya makin hancur. Kena DO d
leh kenyataan masa lalu yang kelam. Sayang waktu itu belum ad
jatuh. Suami Tante ternyata selingkuh, gemar mabuk dan main ju
ng sepi. Mobil sesekali lewat,
lebih deket sama Tommy, mungkin
terbaik, Pras. Kamu satu-satunya yang pal
aku mendengarkan. Kadang diam, kadang hanya mengangguk. Tapi malam itu terasa
gin dan jam nyaris tengah
nginep aja di rumah saya. Gak m
rkaca-kaca lagi. "Kamu yakin? Tante
te orang baik, ibu d
bicara. Tapi entah kenapa, keheningan itu justru terasa hangat. Kadang, yang ki
rkejut. Matanya menyapu bangunan sederhana itu, sea
mu, Pras?" ta
a. Nggak mewah, tap
ih menatap rumah itu. "Le
pi rapi dan tenang. Aku segera membuatkan teh ha
ia bertanya, "Kemana
ngnya seminggu sekali. Mama dan dua adik sa
i orang tua k
aya masih SMP. Tommy
adi waktu kamu sering main ke rumah Tante itu, k
m kikuk. "Ya... kurang lebih begi
hkan nggak sanggup bertahan dalam badai rumah tangga. Kamu tinggal sendi
usaha tetap survive, Tante. Mungkin juga
a kamu masih remaja," katanya lagi. Tatapannya hangat. Ada air di sudut ma
sama hancur, tapi mungkin bedanya, aku masih punya sedikit pijakan un
elan, "Pras... maaf ya, boleh Tante numpang mandi
Tante. Tunggu sebentar ya, saya a
dan menemukan handuk baru dan satu daster pendek peninggalan mama, yang biasanya
ahkannya. "Maaf ya, Tante. Cuma ini
apa-apa, Pras. Ini udah lebih dari cukup. Daripada pa
lana kolor dan kaos oblong seperti biasa. Lalu ke dapur memas
i mandi. Lama. Mungkin karena sudah beberapa hari nggak sempat ma
idya selalu menyambut kami dengan ramah. Makanan yang dia sajikan pun bukan sekadar cem
nya di rumah, dia tetap tampil seperti sosialita. Kami, teman-teman Tommy yang masih polos tapi iseng-kadang
ekara
n pakian kusut dan wajah sembab ini, benaran Tante Widya? Wajahnya memang masih cantik, body
a menit terakhir. Rasa khawatir perlahan menyelinap-jangan-jangan sesuatu terjadi. Tante Wi
u melangkah, pintu k
kamar Prilia-bekas kamar adikku y
nculannya semata, tapi penampilannya yan
ekecilan. Belahan lehernya turun agak rendah, lengan dan perutnya pun tampak sempit seper
spose. Dan yang lebih parahnya lagi, ia tidak memakai daleman, sehingga puting susunya tercetak je
mendebarkan sek
*
aca juga cerita "PEMUAS PARA TETANGGA. A
*